Thursday, November 13, 2025
spot_img
HomeSosokSiapa Sangka Limbah Sapi Bisa Bikin Desa Naik Kelas? Ini Sosok di...

Siapa Sangka Limbah Sapi Bisa Bikin Desa Naik Kelas? Ini Sosok di Baliknya

Hilda Sukmawati Wahyuning Tyas saat memberikan training terkait pengelolaan limbah kotoran sapi pada warga Desa Sumbersari, Kabupaten Lamongan beberapa waktu lalu. (foto: dokumen pribadi)

LAMONGAN, CAKRAWARTA.com – Tak ada yang menyangka, tumpukan kotoran sapi yang dulu jadi sumber bau tak sedap di Desa Sumbersari, Lamongan, kini justru menjadi sumber energi, pupuk, dan kesejahteraan warga. Di balik perubahan itu, ada sosok muda bernama Hilda Sukmawati Wahyuning Tyas, alumnus Antropologi Universitas Airlangga, yang menjadikan limbah ternak sebagai pintu menuju desa mandiri.

Beberapa tahun lalu, Sumbersari dikenal sebagai desa agraris yang menghadapi dua masalah klasik yaitu limbah kotoran ternak yang mencemari lingkungan, dan hasil samping pertanian yang cepat membusuk. Hilda, yang lahir dan besar di desa itu, melihat tumpukan masalah sebagai peluang.

“Desa kami punya banyak hasil panen yang bisa dijadikan pakan, tapi cepat rusak. Di sisi lain, limbah ternak melimpah tanpa dikelola,” ujarnya mengenang awal mula ide itu muncul, Kamis (13/11/2025).

Dari keresahan itulah Hilda menggagas Program Literasi atau Lingkungan Peternakan Sapi Terintegrasi, sebuah sistem pertanian terpadu yang menghubungkan peternakan, pertanian, dan energi ramah lingkungan.

Lewat program ini, Hilda memperkenalkan teknologi silase, yakni pakan fermentasi berbasis limbah pertanian yang lebih tahan lama dan bergizi tinggi. Tak berhenti di situ, ia juga mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik, sementara urin ternak diubah menjadi biogas untuk kebutuhan energi warga.

“Kami berdayakan ibu-ibu untuk mengelola produksi pupuk organik dan kebun percobaan. Sedangkan para pemuda kami latih menjadi trainer yang bisa melatih masyarakat umum dan sekolah-sekolah lewat program Integrated Farming dan outing class,” tutur Hilda.

Dampaknya langsung terasa. Selain menekan pencemaran lingkungan, pendapatan warga meningkat. Limbah yang dulu tak bernilai kini menjadi produk ekonomi baru.

Tantangan dan Terobosan

Meski kini panen pujian, langkah awal Hilda tidak selalu mudah. Sebagian warga sempat meragukan gagasannya yang dianggap “tidak masuk akal” karena mengusung ide untuk mengubah mengubah kotoran jadi sumber energi. Namun, Hilda tak menyerah. Ia terus melakukan edukasi, pelatihan, dan membangun kepercayaan lewat hasil nyata.

Salah satu inovasi sosial yang berhasil menarik perhatian adalah asuransi ternak warga. “Kami menampung kotoran ternak mereka, dan sebagai gantinya, warga mendapat iuran asuransi ternak. Jika hewan mati atau dipotong paksa, asuransinya bisa langsung dicairkan,” jelas Hilda. Skema ini membuat warga merasa aman sekaligus termotivasi menjaga kebersihan kandang dan berpartisipasi aktif dalam program.

Hilda Sukmawati Wahyuning Tyas saat menerima penghargaan Juara 3 Pemuda Pelopor Jawa Timur bidang Pemanfaatan Sumber Daya Alam, Lingkungan, dan Pariwisata dair Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa beberapa waktu lalu. (foto: dokumen pribadi)

Perlahan tapi pasti, Sumbersari bertransformasi. Desa yang dulu tertinggal kini naik status menjadi desa maju dan mandiri energi. Limbah tak lagi dianggap masalah, melainkan sumber daya berkelanjutan. Inovasi Hilda juga menuai pengakuan di berbagai tingkat. Ia berhasil meraih:

  1. Juara 1 Pemuda Pelopor Kabupaten Lamongan

  2. Juara 3 Pemuda Pelopor Jawa Timur bidang Pemanfaatan Sumber Daya Alam, Lingkungan, dan Pariwisata

  3. Juara 3 Local Hero Award Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2024

  4. serta Pemuda Utama Jawa Timur 2024 di bidang lingkungan hidup.

“Bagi saya, bisa memberi manfaat bagi banyak orang adalah anugerah luar biasa. Melihat desa saya berubah jadi lebih baik adalah kebahagiaan tersendiri,” kata Hilda menutup perbincangan. Ia percaya, perubahan besar bisa dimulai dari hal kecil bahkan dari seonggok kotoran sapi.

Kisah Hilda Sukmawati menjadi bukti bahwa inovasi tidak selalu lahir di laboratorium besar atau kota megapolitan. Dari kandang sapi di Lamongan, ia menunjukkan bahwa ketika ilmu dan empati berpadu, limbah pun bisa menjadi berkah, dan desa bisa naik kelas.(*)

Kontributor: PKIP

Editor: Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular