
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Meme, poster nyeleneh, dan video singkat di media sosial kini bukan lagi sekadar hiburan. Bagi generasi Z (Gen Z), semua itu bisa menjadi senjata tajam dalam menyuarakan keresahan dan menantang ketidakadilan.
Aksi demonstrasi belakangan ini membuktikan bahwa kreativitas anak muda mampu mengubah wajah protes. Dari jalanan hingga timeline media sosial, mereka mengemas kritik dengan cara segar, jenaka, sekaligus mengena.
Pakar Politik senior dari FISIP Universitas Airlangga, Aribowo, menegaskan bahwa peran generasi muda dalam gerakan sosial memang bukan barang baru. Sejak dulu, mereka selalu menjadi motor penggerak perubahan.
“Sejak zaman Hindia Belanda, yang melawan pemerintah itu generasi muda. Entah masih sekolah, kuliah, atau sudah bekerja, mereka selalu ada di garda depan melawan ketidakadilan,” ujar Aribowo dalam keterangannya, Sabtu (13/9/2025).
Seni Jadi Nafas Perlawanan
Aribowo menjelaskan bahwa seni sejak lama melekat dalam setiap bentuk gerakan sosial. Pada era 1950-an, muncul konsep happening art di Amerika Serikat yang kemudian menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
“Di Indonesia, pada 1980-1990-an, seni rupa, teater, dan sastra dipengaruhi posmodernisme. Dari situlah lahir ekspresi perlawanan yang turut mewarnai gerakan mahasiswa hingga reformasi 1998,” jelasnya.
Seni, kata Aribowo, menjadi medium untuk mengangkat realitas masyarakat, lalu mengusungnya sebagai simbol perlawanan.

Bagi Gen Z, media sosial bukan hanya tempat berbagi konten hiburan, tapi juga arena perjuangan politik. Meme dan satir yang mereka buat justru lebih mudah menyentuh hati masyarakat awam ketimbang jargon politik yang kaku.
“Media sosial jadi instrumen penting membicarakan keresahan, ketimpangan, hingga ketidakadilan. Di situlah perlawanan terhadap pejabat, pemerintah, bahkan negara dirumuskan,” tutur Aribowo.
Gen Z tak hanya turun ke jalan, tapi juga menyiapkan siaran pers, membangun jejaring komunikasi, hingga melakukan advokasi hukum. Demonstrasi mereka tampak lebih rapi, terorganisir, dan berdampak luas.
Namun, Aribowo mengingatkan, kreativitas dan teknologi tidak serta merta melahirkan gerakan besar. Harus ada masalah nyata yang dirasakan masyarakat: ketidakadilan, deprivasi, dan kesenjangan sosial.
“Gerakan sosial tidak tumbuh di ruang kosong. Ia lahir dari sistem sosial yang timpang. Basis sosial dan ideologi sangat menentukan agar sebuah gerakan bisa berkembang,” pungkasnya.
Jadi, jangan buru-buru menyepelekan meme Gen Z di demo. Di balik tawa dan kreativitasnya, tersimpan perlawanan yang serius dan pesan yang bisa menggetarkan kekuasaan. (*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi