JAKARTA – Guru Besar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa bagi Presiden yang menjadi petahana tidak ada kewajiban untuk cuti atau mengundurkan diri. Pengaturan tentang keharusan mundur atau cuti itu tidak ada di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya dalam Bab yang mengatur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
“Ini tidak saja berlaku bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan berlaga di Pilpres 2019 mendatang, tetapi juga bagi siapa saja yang menjadi Presiden petahana di negara kita,” ujar Yusril melalui keterangan persnya, Sabtu (8/9/2018).
Yusril menambahkan bahwa dalam Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, memang diatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai calon Presiden wajib mundur dari jabatannya.
Namun ketentuan itu, menurutnya tidak berlaku bagi Presiden dan Wakil Presiden sebagai petahana. Hal yang sama diatur juga dalam pasal 170 UU Nomor 7 Tahun 2017.
Penjelasan Yusril itu tak lepas dari viralnya copy Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2008 di media sosial yang disertai kata-kata “Jokowi Sudah Sah Bukan Presiden Indonesia dan Harus Mundur Sekarang Juga”.
Padahal UU Nomor 42 Tahun 2008 itu menurut Yusril sudah resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf a UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diberlakukan sejak tanggal 16 Agustus 2017.
Yusril menegaskan bahwa tidak adanya ketentuan Presiden dan Wapres petahana untuk berhenti atau cuti itu adalah aturan yang benar dilihat dari sudut Hukum Tata Negara. Sebab, jika diatur demikian akan terjadi kerumitan yang membawa implikasi kepada stabilitas politik dan pemerintahan di negara ini.
Dia memberi contoh, jika Presiden petahana berhenti setahun sebelum masa jabatannya berakhir, maka Presiden wajib digantikan oleh Wakil Presiden sampai akhir masa jabatannya. Untuk itu diperlukan Sidang Istimewa MPR untuk melantik Wapres menjadi Presiden.
“Bagaimana jika wapres sama-sama menjadi petahana bersama dengan Presiden, atau Wapres maju sebagai Capres, maka keduanya harus berhenti secara bersamaan,” tanyanya retoris.
Kalau hal tersebut terjadi, menurut pria asal Bangka Belitunh itu, maka Menhan, Mendagri dan Menlu (triumvirat) akan membentuk Presidium Pemerintahan Sementara.
“Dalam waktu 30 hari triumvirat wajib mempersiapkan SI MPR untuk memilih Presiden dan Wapres yang baru,” imbuhnya.
Kalau hal tersebut terjadi setiap lima tahun, menurut Yusril bukan mustahil akan terjadi kerawanan politik. Kerawanan itu bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara.
“Negara itu tidak boleh vakum kepemimpinan karena bisa menimbulkan keadaan kritis yang sulit diatasi,” tegasnya.
Yusril menekankan, ketika jabatan Presiden vakum, terjadi keadaan darurat atau keadaan bahaya, maka akan terjadi problem besar yakni siapa yang berwenang menyatakan negara dalam keadaan bahaya.
“Hanya Presiden yang bisa melakukan itu. Wakil Presiden apalagi Triumvirat, tidak punya kewenangan melakukannya,” paparnya.
Karena itu, Yusril berpendapat bahwa Presiden petahana, Jokowi atau siapapun, demi kepentingan bangsa dan negara, tidak perlu berhenti atau cuti.
“Berbagai meme yang hanya mengutip sepotong UU Nomor 42 Tahun 2008, padahal UU tersebut sudah tidak berlaku lagi, adalah meme yang menyesatkan dan berbahaya bagi keselamatan bangsa dan negara, khususnya dalam menyongsong Pemilu serentak tahun 2019 yang akan datang,” tandasnya.
(bti)