SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Putusan majelis hakim yang menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dalam kasus impor gula memantik kontroversi luas. Vonis tersebut dinilai menyisakan banyak tanda tanya, terutama karena selama 23 kali persidangan, tidak satu pun bukti menunjukkan bahwa Lembong menerima keuntungan pribadi dari kebijakan yang ia ambil.
Majelis hakim menyatakan Lembong melanggar Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ia dinilai bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp578,1 miliar karena mengizinkan impor gula tanpa prosedur koordinasi lintas sektor.
Namun di balik putusan itu, muncul pertanyaan krusial yaitu di mana unsur niat jahatnya?
Dalam pembelaannya, Tom Lembong menegaskan bahwa ia tidak memiliki mens rea atau unsur niat jahat yang secara klasik menjadi fondasi utama dalam penetapan tanggung jawab pidana.
Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Riza Alifianto Kurniawan, mengingatkan bahwa tindakan pejabat publik seharusnya dinilai dalam kerangka diskresi administratif, bukan serta-merta ditarik ke ranah pidana.
“Ini bisa dilihat sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kebijakan publik. Padahal, pejabat negara memiliki ruang diskresi, terutama dalam kondisi mendesak atau ketika peraturan belum sepenuhnya adaptif. Tanpa bukti keuntungan pribadi atau niat jahat, sulit mengatakan ada korupsi di sini,” ujar Riza.
Majelis hakim berpendapat bahwa tindakan Tom Lembong memenuhi unsur delik korupsi karena menyebabkan kerugian negara. Namun Riza menyatakan, kerugian negara bukan satu-satunya unsur pidana, melainkan harus disertai dengan niat jahat dan tindakan melawan hukum secara aktif.
“Kalau tindakan itu tidak digunakan untuk memperkaya diri sendiri, dan tidak ada motif jahat, maka seharusnya itu masuk ranah pelanggaran administratif, bukan pidana. Ini titik lemah dalam ratio decidendi hakim,” tegasnya.
Ia juga menyebut bahwa putusan ini bisa menjadi preseden berbahaya. Tafsir “melawan hukum” dalam konteks administratif yang dipakai hakim, menurutnya, membuka celah besar bagi kriminalisasi kebijakan di masa depan.
Antara Hukum dan Ketakutan Membuat Keputusan
Bagi Riza, yang justru dipertaruhkan dalam kasus ini bukan hanya nasib pribadi Tom Lembong, tetapi juga iklim pengambilan keputusan di sektor publik. Bila kebijakan yang tak terbukti menguntungkan pelakunya tetap dapat dipidana, maka pejabat publik bisa terjebak dalam ketakutan saat harus mengambil langkah strategis.

“Ini bisa menciptakan efek jera yang keliru dimana para pengambil kebijakan akan memilih untuk tidak bertindak karena takut diseret ke pengadilan. Padahal, pengambilan keputusan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan dalam tata kelola negara,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa vonis ini bertentangan dengan prinsip Business Judgement Rule (BJR) yang telah menjadi standar dalam tata kelola pemerintahan dan korporasi modern, di mana pengambil kebijakan tidak dapat dihukum jika keputusan yang diambil didasarkan pada niat baik dan informasi yang memadai, meskipun hasil akhirnya merugikan.
Putusan terhadap Tom Lembong membuka kembali perdebatan klasik antara niat dan akibat, antara diskresi dan pidana, antara kebijakan dan kriminalisasi. Apakah ini bentuk penegakan hukum yang tegas, atau justru menciptakan ketakutan dalam pemerintahan yang memerlukan keberanian?
Satu hal yang jelas: tanpa mens rea yang terbukti, vonis ini patut dikritisi. Karena ketika hukum tak lagi memberi ruang untuk niat baik, maka yang lahir bukan keadilan, melainkan kekeliruan yang dilegalkan. (*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi