Friday, December 19, 2025
spot_img
HomeHiburanRelief Borobudur sebagai Jejak Musik Dunia Diperkenalkan kepada Anak-Anak

Relief Borobudur sebagai Jejak Musik Dunia Diperkenalkan kepada Anak-Anak

Trie Utami dan latar peluncuran program edukasi Spund of Borobudur for Kids. (foto: Bachtiar Dj)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Candi Borobudur tidak hanya menyimpan warisan arsitektur dan spiritual, tetapi juga jejak peradaban musik dunia. Fakta itu diperkenalkan kepada anak-anak melalui program edukasi Sound of Borobudur for Kids, yang diluncurkan oleh gerakan Sound of Borobudur melalui penayangan video edukasi perdana di kanal YouTube mereka, Kamis (18/12/2025).

Video yang dirancang khusus untuk anak-anak ini menggunakan pendekatan narasi imajinatif, visual ramah anak, serta dukungan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Melalui medium tersebut, anak-anak diajak memahami bahwa relief-relief Borobudur bukan sekadar hiasan batu, melainkan rekaman visual tentang kehidupan masa lalu, termasuk aktivitas bermusik.

Dalam video tersebut, dinding Candi Borobudur digambarkan sebagai “buku cerita raksasa” yang memuat ribuan relief, di antaranya relief manusia yang sedang memainkan alat musik. Relief-relief itu menunjukkan bahwa musik telah menjadi bagian penting dari peradaban Nusantara lebih dari 1.300 tahun lalu.

Penelitian yang dilakukan Sound of Borobudur mencatat sedikitnya terdapat lebih dari 200 relief alat musik di Candi Borobudur. Jumlah itu menjadikan Borobudur sebagai situs dengan dokumentasi visual alat musik terbanyak di dunia.

Menariknya, sebagian besar alat musik yang terpahat pada relief tersebut hingga kini masih dapat ditemukan dan dimainkan, baik di 38 provinsi di Indonesia maupun di lebih dari 40 negara di berbagai benua, dengan tingkat kemiripan yang tinggi. Temuan ini menguatkan pandangan bahwa Borobudur pada masanya merupakan simpul penting peradaban musik dunia.

“Borobudur bukan monumen yang bisu,” ujar Trie Utami, artis sekaligus budayawan yang menjadi salah satu inisiator Sound of Borobudur. “Relief-relief itu menyimpan memori bunyi yang menunjukkan betapa maju peradaban musikal leluhur kita.”

Gerakan Sound of Borobudur sendiri lahir pada 2016. Inisiatif ini diprakarsai oleh Trie Utami bersama Rully Fabrian, Dr Redy Eko Prastyo, Bachtiar Djanan, serta almarhum KRMT Indro Kimpling Suseno. Dalam perkembangannya, gerakan ini berada di bawah naungan Yayasan Padma Sada Svargantara yang diketuai Purwa Tjaraka.

Langkah awal gerakan ini dimulai dari rekonstruksi tiga alat musik dawai yang tergambar pada relief Karmawibhangga. Dari rekonstruksi tersebut, riset kemudian berkembang ke berbagai panel relief alat musik lainnya di Candi Borobudur.

Relief-relief itu ditafsirkan secara ikonografis dan organologis untuk diwujudkan kembali menjadi alat musik nyata. Kayu dipilih, bentuk disesuaikan dengan pahatan, dan senar dipasang hingga alat-alat musik yang “tertidur” selama berabad-abad kembali menghasilkan bunyi.

Alat-alat musik hasil rekonstruksi kemudian dimainkan oleh para musisi dari berbagai latar belakang. Sejumlah seniman terlibat, di antaranya gitaris Dewa Budjana, yang mengeksplorasi bunyi alat-alat musik tersebut bersama musisi lintas generasi dan genre.

“Kami tidak sedang menghidupkan nostalgia,” kata Dr Redy Eko Prastyo, dosen Universitas Brawijaya yang juga seniman dan budayawan. “Yang kami lakukan adalah membangun jembatan pengetahuan antara peradaban lama dan generasi sekarang.”

Hasil riset Sound of Borobudur telah dipresentasikan dalam berbagai seminar nasional dan konferensi internasional sejak 2021. Dari forum-forum tersebut muncul gagasan untuk memperluas edukasi kepada anak-anak sebagai generasi penerus, yang kemudian diwujudkan dalam program Sound of Borobudur for Kids.

Dalam program ini, teknologi AI dimanfaatkan untuk mengolah visual, suara, dan narasi agar lebih mudah dipahami anak-anak tanpa menghilangkan kedalaman makna kebudayaan. Program ini dikembangkan dengan melibatkan civitas akademika Fakultas Vokasi Universitas Brawijaya.

“Anak-anak hari ini hidup di dunia teknologi. Karena itu, warisan budaya perlu disampaikan dengan bahasa zamannya,” ujar Dr Redy, yang juga Ketua Kompartemen Kebudayaan Ikatan Alumni Universitas Brawijaya.

Selain video edukasi, Sound of Borobudur juga tengah menyiapkan peluncuran buku Sound of Borobudur yang disusun bersama Universitas Brawijaya dan akan diterbitkan oleh Intrans Publishing. Buku ini dirancang sebagai rujukan akademik sekaligus bacaan populer tentang riset relief, rekonstruksi alat musik, dan refleksi kebudayaan Borobudur dalam konteks global.

Trie Utami menegaskan pentingnya mengenalkan warisan budaya tersebut sejak dini. “Jika sejak kecil anak-anak mengetahui bahwa leluhurnya adalah bagian dari sejarah musik dunia, rasa bangga itu akan tumbuh dengan sendirinya,” ujarnya.

Melalui Sound of Borobudur for Kids, Borobudur tidak hanya hadir sebagai monumen sejarah, tetapi juga sebagai ruang belajar yang mempertemukan masa lalu dan masa depan melalui bunyi dan pengetahuan.(*)

Kontributor: Bachtiar Dj 

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular