Tuesday, December 9, 2025
spot_img
HomeEkonomikaYLKI Curiga Skema Ponzi di Balik Kasus WO, Negara Dianggap Lalai Mengawasi...

YLKI Curiga Skema Ponzi di Balik Kasus WO, Negara Dianggap Lalai Mengawasi Sektor Jasa

ilustrasi. (gambar: cakrawarta)

JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Gelombang laporan pasangan pengantin yang gagal menikah sesuai rencana akibat ulah wedding organizer (WO) kembali mencuat dan memantik kemarahan publik. Pada banyak kasus, pesta yang sudah dibayar lunas mendadak berantakan dimana dekorasi tak terpasang, vendor tak muncul, hingga catering hilang jejak pada hari-H.

Namun bagi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), kisah memilukan itu bukan sekadar kelalaian bisnis melainkan indikasi kejahatan yang jauh lebih sistematis.

“Patut diduga, praktik ini sudah menyerupai skema ponzi. Ada pola berulang, korban yang terus bertambah, dan tak ada mekanisme kontrol yang bekerja,” ujar Rio Priambodo, Sekretaris Eksekutif YLKI dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (9/12/2025).

YLKI menilai rangkaian kasus WO ini adalah indikasi keruntuhan perlindungan konsumen di sektor jasa. Minimnya kanal aduan, lemahnya sanksi, serta ketiadaan standar operasional membuat konsumen berada dalam ruang gelap menjadi sasaran empuk bagi pelaku kecurangan yang terorganisasi.

“Ini bukan satu dua kasus. Ini systemic failure. Ketika negara gagal menyediakan mekanisme pengaduan, pelaku kriminal mendapatkan ruang bebas untuk mengulang kejahatan,” kata Rio.

YLKI menduga model bisnis sejumlah WO yang kini disorot memiliki pola serupa yakni mengambil pembayaran penuh jauh hari, memutar dana untuk klien lain, lalu gagal memenuhi kewajiban saat arus kas kolaps. Persis seperti ponzi klasik, hanya kemasannya adalah pesta pernikahan.

Karena itulah, YLKI mendorong pemerintah segera membuka posko pengaduan nasional, tidak hanya untuk mendata korban, tetapi juga mengidentifikasi pola kejahatan, relasi antar WO, dan kemungkinan jejaring yang lebih besar.

“Banyak korban masih bingung harus melapor ke mana. Negara tidak boleh membiarkan korban berjuang sendirian,” kata Rio.

YLKI meminta proses inventarisasi korban dijadikan landasan untuk menilai besarnya kerugian dan memetakan apakah kasus ini melibatkan kelompok pelaku yang sama atau berbeda.

YLKI menilai pemerintah dan DPR tidak bisa lagi menunda Amandemen Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dinilai sudah tertinggal dari perkembangan industri jasa modern. Ketiadaan perlindungan khusus sektor jasa menyebabkan banyak celah manipulasi.

“Amandemen harus menguatkan tanggung jawab pelaku usaha jasa, termasuk mekanisme pengembalian kerugian, pengawasan premanen, dan sanksi untuk kegagalan layanan,” ujar Rio.

Sekretaris Eksekutif YLKI, Rio Priambodo. (foto: dokumen pribadi)

YLKI juga meminta aparat penegak hukum tidak berhenti pada jerat pidana umum. Audit forensik terhadap arus dana WO disebut penting untuk mengungkap apakah ada praktik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

“Kasus ini tidak boleh berhenti sebagai ‘penipuan biasa’. Jika ada TPPU, sanksinya harus maksimal. Transparansi penyidikan wajib agar publik tidak menuduh aparat melindungi pihak tertentu,” tegas Rio.

YLKI meminta penyidik membuka data aliran dana secara publik setidaknya sebagian apabila tidak bisa semuanya, untuk menunjukkan bahwa investigasi berjalan objektif.

Kasus WO ini menjadi sinyal keras bahwa Indonesia masih belum aman bagi konsumen jasa mulai dari pernikahan, perbaikan rumah, pendidikan, hingga perjalanan wisata.
Jika pembenahan menyeluruh tidak dilakukan, YLKI memperkirakan kasus serupa akan terus muncul dengan skala lebih besar.

“Ini bukan soal pesta gagal. Ini soal negara yang absen. Konsumen tidak boleh terus menjadi korban,” tegas Rio, mengakhiri keterangannya.(*)

Editor: Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular