Saturday, December 6, 2025
spot_img
HomeGagasanKolomTrans 7 dan Amplop Kiai: Investigasi atau Insinuasi?

Trans 7 dan Amplop Kiai: Investigasi atau Insinuasi?

Layar kaca telah sekali lagi mempertontonkan jurang pemisah yang dalam antara Indonesia yang urban-modern dengan Indonesia yang tradisional-religius. Pemberitaan Trans 7 tentang Kiai Anwar Iskandar dari Lirboyo, yang menyoroti praktik pemberian amplop oleh santri, bukanlah sebuah slip jurnalistik biasa. Ini adalah sebuah “kesalahan terjemahan budaya” (cultural mistranslation) yang berbahaya. Pemberitaan Trans 7 tentang Kiai Anwar Manshur bukan sekadar soal hitam-putih hukum pencemaran nama baik. Ini adalah sebuah kasus klasik tentang kegagalan jurnalisme memahami kosakata budaya, yang berubah menjadi peluru politik.
Di ruang redaksi yang dingin, “amplop” mungkin hanya dimaknai sebagai selembar uang dalam sampul, sebuah transaksi finansial yang bau aib. Tetapi, di dalam ekosistem pesantren seperti Lirboyo, kata itu memiliki kamusnya sendiri, yang berakar pada etika relasi guru-murid yang dijabarkan dalam Kitab Ta’līm al-Muta’allim. Dalam kitab tersebut, fondasi menuntut ilmu bukanlah kontrak material, tetapi adab. Dan adab paling utama adalah menghormati guru (al-ikrām li al-ustādz). Syeikh Az-Zarnūjī, pengarang kitab ini, menegaskan bahwa kesuksesan ilmu sangat bergantung pada bakti seorang murid kepada gurunya. Lantas, bagaimana bentuk bakti itu?

Dalam kosmos pesantren, amplop sama sekali bukan sekadar transaksi material belaka. Praktik yang telah berlangsung turun-temurun ini justru mengandung makna spiritual yang dalam, menyentuh hakikat relasi antara murid dan guru dalam perspektif Islam. Amplop menjadi manifestasi nyata dari nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi pendidikan pesantren.
Pemberian amplop dari santri kepada kiai merupakan perwujudan konkret dari sikap at-ta’dzīm – sebuah penghormatan dan pemuliaan terhadap sang guru. Dalam pandangan pesantren, guru bukan hanya pengajar biasa, melainkan wasilah (perantara) yang melalui dirinya mengalir ilmu-ilmu Allah yang mulia. Kiai dipandang sebagai penerus estafet kenabian dalam menyebarkan ilmu, sehingga memuliakannya sama dengan memuliakan ilmu itu sendiri. Konsep ini sejalan dengan ajaran Az-Zarnūjī dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim yang menempatkan penghormatan kepada guru setara dengan penghormatan kepada orang tua.
Lebih dari sekadar ritual formal, pemberian amplop ini dilandasi oleh semangat keikhlasan (al-ikhlāṣ) dan pencarian keberkahan (al-barakah). Santri memberikan dengan tulus tanpa paksaan atau pamrih duniawi, semata-mata sebagai bentuk bakti dan upaya mencari keberkahan ilmu. Di sisi lain, kiai menerima pemberian tersebut dengan penuh tawadhu’, tidak sebagai tujuan, melainkan sebagai bentuk penerimaan atas ketulusan bakti sang murid. Sebagaimana ditegaskan Az-Zarnūjī, ilmu adalah cahaya Ilahi yang hanya akan bersemayam di hati yang ikhlas.

Dalam perspektif yang lebih luas, tradisi amplop berfungsi sebagai mekanisme komunitas untuk menjaga martabat ilmu dan guru. Sistem ini memastikan terpenuhinya kebutuhan hidup kiai, sehingga beliau dapat fokus sepenuhnya pada tugas mulianya dalam membagikan ilmu dan keteladanan. Dengan terjaminnya kesejahteraan guru, perhatiannya tidak akan teralihkan oleh urusan-urusan duniawi yang dapat mengganggu konsentrasi dalam mengajar. Ini merupakan bentuk investasi kolektif untuk keberlangsungan mata air ilmu itu sendiri.
Oleh karena itu, memandang praktik pemberian amplop semata sebagai sebuah aib merupakan kesalahan epistemologis yang fatal. Pendekatan seperti ini mencabut sebuah tradisi yang hidup dari akar filsafat pendidikannya yang dalam. Dalam kosakata Ta’līm al-Muta’allim, amplop sesungguhnya adalah hādiyah (hadiah) yang penuh adab, infāq (belanja di jalan Allah) yang dilandasi keikhlasan, dan wasīlah (sarana) untuk meraih barakah.
Tradisi amplop pada hakikatnya adalah bahasa nonverbal dari sebuah relasi sakral yang telah dijalin berabad-abad dalam tradisi pesantren. Ia merupakan bagian dari sistem nilai yang menjadi penjaga rantai keilmuan Islam di Nusantara. Mereduksi makna mulia ini sekadar “transaksi finansial” sama halnya dengan menyamakan mutiara dengan kerikil, hanya karena keduanya sama-sama berbentuk bulat. Padahal, nilai dan makna yang dikandungnya sama sekali berbeda bagaikan langit dan bumi. Dengan mereduksi seluruh kosakata budaya ini menjadi sekadar “sering menerima amplop”, pemberitaan itu melakukan apa yang oleh ahli sosiologi disebut “reduksionisme kultural”. Ia mengambil sebuah praktik yang hidup, bernuansa, dan penuh makna, lalu memampatkannya menjadi sebuah headline yang sensasional dan datar.

Kegagalan Epistemologis Rubrik “Expose”

Kegagalan memahami kosakata budaya pesantren dalam pemberitaan ini bukan sekadar kesalahan teknis jurnalistik, melainkan sebuah kegagalan epistemologis yang fundamental. Ketika rubrik “Expose” mengusung label investigasi mendalam, sebenarnya ia mengemban amanah akademis untuk menyajikan pemahaman utuh tentang suatu realitas sosial. Namun yang terjadi justru reduksi besar-besaran terhadap kompleksitas budaya.

Sebuah “expose” yang bertanggung jawab atas subjek budaya seperti pesantren semestinya menerapkan pendekatan etnografis yang memahami dari dalam (emic perspective), bersifat holistik, dan menghormati subjek. Sayangnya, rubrik ini memilih jalur infotainment dengan mereduksi Kiai, sebagai ikon budaya dan intelektual publik, menjadi sekadar selebritas yang pantas disoroti kehidupannya untuk konsumsi massa. Pergeseran dari pendekatan kultural ke sensasional inilah yang melahirkan malpraktik jurnalistik.

Pelanggaran pertama dan paling mendasar terjadi terhadap prinsip akurasi. Akurasi jurnalistik sejati bukan sekadar memastikan fakta bahwa amplop berpindah tangan, melainkan akurasi kontekstual yang mampu merekonstruksi makna di balik sebuah tradisi. Pemberitaan ini gagal menjawab pertanyaan mendasar yaitu apa makna pemberian itu dalam kosmos pesantren? Bagaimana emosi dan nilai-nilai yang menyertai ritual tersebut? Kegagalan menangkap nuansa inilah yang melahirkan ketidakakuratan paling berbahaya, yang tampak seperti kebenaran tetapi sesungguhnya adalah distorsi.

Pelanggaran terhadap Prinsip

Meminimalkan bahaya dalam kasus ini bersifat sistemik. Bahaya yang ditimbulkan bukan hanya pada satu orang kiai, tetapi menggerogoti fondasi kepercayaan publik terhadap seluruh ekosistem pesantren. Lebih dari itu, terjadi apa yang disebut sebagai kekerasan epistemologis  di mana satu sistem pengetahuan (budaya pesantren) dipinggirkan oleh logika sistem pengetahuan lain (jurnalisme infotainment). Narasi yang kaya dan bernuansa dipaksa tunduk pada narasi yang sederhana dan sensasional.

Pemberitaan semacam ini pada akhirnya mematikan nuansa. Tradisi yang hidup dan bernafas dalam dialektika makna yang terus berkembang, dibekukan dalam bingkai hitam-putih yang kaku. Amplop yang dalam realitanya bisa bermakna ganda, sekaligus sebagai simbol bakti, mekanisme sumbangan, dan jaring pengaman sosial,  direduksi menjadi sekadar transaksi finansial yang bau aib. Inilah bentuk pengkhianatan terhadap kompleksitas realitas sosial.

Karena itu, kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi dunia jurnalistik untuk berefleksi. Membuka ruang redaksi untuk perspektif antropologis, melatih sensitivitas kultural, dan yang terpenting – mengakui bahwa ada realitas yang tidak bisa dipahami hanya dengan logika ruang redaksi metropolitan. Sebuah “expose” yang sejati haruslah lahir dari kerendahan hati untuk belajar sebelum menilai, memahami sebelum memproduksi berita.
Desakan untuk memberikan sanksi yang tegas, baik melalui jalur jurnalistik maupun pidana, terhadap Trans 7 dalam kasus pemberitaan tentang Kiai Anwar Iskandar bukanlah sekadar upaya pembalasan. Tindakan ini harus dipahami sebagai sebuah langkah korektif yang imperatif untuk menegakkan kedaulatan budaya dan membangun deterrent effect (efek jera) yang sistemik. Tanpa konsekuensi yang nyata, pelanggaran serupa akan terus terulang, karena ruang redaksi akan selalu menganggap enteng kompleksitas budaya pesantren. Sanksi jurnalistik dari Dewan Pers, misalnya, bukan hanya soal teguran tertulis, melainkan pengakuan institusional bahwa telah terjadi malpractice budaya yang merusak sendi-sendi trust dalam masyarakat.

Namun, kita harus jujur mengakui bahwa akar masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar kesalahan teknis jurnalistik. Dalam iklim politik Indonesia yang terus memanas, terutama dalam menuju kontestasi elektoral, segala hal, termasuk wibawa kiai dan otoritas pesantren, dapat dengan mudah dijadikan alat perang wacana. Pesantren, dengan basis massa yang luas, jaringan yang terstruktur, dan pengaruh kharismatik kiainya yang mampu menggerakkan opini publik, telah lama menjadi lahan rebutan politik yang subur. Dalam pertarungan ini, citra adalah senjata.

Oleh karena itu, pemberitaan yang melekatkan stigma “amplop” pada figur sebesar Kiai Anwar Manshur tidak bisa lagi dilihat sebagai reportase yang naif. Tindakan itu harus dibaca sebagai sebuah operasi wacana yang halus namun powerful: sebuah upaya delegitimasi atau penurunan derajat kharisma. Kharisma seorang kiai, yang dibangun melalui puluhan tahun pengabdian, integritas, dan kedalaman ilmu, coba dirobohkan dengan menyodorkan narasi yang menyederhanakan dan meragukan moralitasnya. Ketika kharisma itu goyah, pengaruhnya di mata publik juga diharapkan akan luntur.

Dalam konteks pertarungan wacana yang lebih besar ini, “amplop” telah berubah wujud. Ia bukan lagi sekadar sebuah benda atau tradisi, melainkan telah menjadi sebuah “tanda” atau sign dalam teori semiotika. Amplop menjadi simbol yang diproyeksikan untuk mewakili pertentangan-pertentangan ideologis yang lebih luas: tradisi versus modernitas, di mana pesantren digambarkan sebagai dunia usang yang tidak transparan; agama versus negara, di mana otoritas keagamaan dicurigai sebagai pesaing kekuasaan; serta pengaruh kultural versus kekuasaan politik, di mana kiai dilihat sebagai penghalang bagi konsolidasi kekuasaan politik tertentu.

Dengan demikian, menuntut pertanggungjawaban Trans7 adalah bagian dari upaya mempertahankan kedaulatan makna. Ini adalah perlawanan terhadap upaya political framing yang menggunakan institusi jurnalistik sebagai alatnya. Jika tidak ada konsekuensi yang jelas, kita tidak hanya membiarkan kejahatan jurnalistik terjadi, tetapi juga membiarkan ruang publik Indonesia semakin diracuni oleh pertarungan narasi yang tidak jujur, yang mengorbankan institusi-institusi budaya demi kepentingan politik jangka pendek.
Akhirnya, kasus Trans7 dan Lirboyo ini harus menjadi cambuk yang menyadarkan dunia jurnalisme Indonesia akan tanggung jawab budayanya yang terabaikan. Liputan tentang komunitas tradisional yang hidup dan bernapas dalam sistem nilai yang kompleks seperti pesantren, mustahil bisa ditangkap dengan pendekatan jurnalisme “hit and run”. Apa yang dibutuhkan adalah transformasi menuju jurnalisme antropologis yakni sebuah paradigma pemberitaan yang dengan rendah hati meluangkan waktu tidak hanya untuk mengobservasi, tetapi untuk menghayati; yang tidak sekadar mewawancarai, tetapi berusaha memahami struktur makna, kekuatan simbol, dan jalinan hubungan sosial yang menjadi pondasi sebuah komunitas. Tanpa pendekatan ini, yang lahir bukanlah pencerahan, melainkan katalog prasangka.

Memang, jalur hukum pidana atas dasar pencemaran nama baik penting untuk ditegakkan. Ini adalah pesan tegas bahwa tidak ada ruang bagi pemberitaan yang ceroboh dan merendahkan martabat. Namun, sanksi hukum hanyalah perban di atas luka. Penyembuhan yang sesungguhnya, yang akan mencegah luka serupa terulang di masa depan, terletak pada komitmen media untuk melakukan “rekonsiliasi budaya”. Sebuah pengakuan jujur bahwa Indonesia bukanlah satu monolit, melainkan mosaik peradaban yang beragam, dan bahwa “kebenaran” versi ruang redaksi metropolitan sering kali tuli terhadap “makna” yang hidup dalam ruang-ruang kultural seperti pesantren.

Oleh karena itu, langkah pertama sebelum mikrofon dan kamera diarahkan, sebelum narasi ditulis, adalah dengan membuka kamus budaya komunitas yang akan diliput. Tanpa upaya penerjemahan kultural ini, pemberitaan yang bertujuan menerangi justru akan berubah menjadi api yang membakar. Dan dalam kasus Trans7 dan Lirboyo ini, yang terbakar bukan hanya nama baik seorang Kiai Anwar Manshur tetapi juga jembatan kepercayaan yang telah lama rentan antara dua Indonesia, yang satu bergerak dalam logika digital dan sensasi, yang lain berpijak pada tradisi dan kearifan. Membakar jembatan ini berarti memupuk keterasingan, dan pada akhirnya, mengubur potensi kita sebagai bangsa yang utuh untuk saling memahami.

 

AHMAD ZAINUL IHSAN ARIF

Pengurus Ansor University PW GP Ansor Jawa Timur dan Alumnus Program Doktoral FISIP UNAIR 

RELATED ARTICLES

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular