Friday, April 19, 2024
HomeGagasanTernyata Buku Manai Sophiaan Ini Pernah Dilarang Beredar

Ternyata Buku Manai Sophiaan Ini Pernah Dilarang Beredar

 

Hari ini, Minggu, 7 Juni 2020, saya merasa berbahagia, karena di meja tergeletak sebuah buku yang ditulis Manai Sophiaan berjudul: “Kehormatan Bagi yang Berhak, Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI” (Jakarta: Visimedia, 2008).

Buku ini dikirim oleh putra Manai Sophiaan, yaitu Victor Sophiaan. Ia sahabat saya ketika sama-sama bergabung di Biro Jakarta Pers Daerah (Persda) “Kompas, ” tahun 1989.

Buku ini sangat menarik, karena memang masih ada opini yang mengatakan bahwa Bung Karno terseret ke dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh karena itulah, buku setebal 226 halaman ini, mampu membantah pendapat demikian dengan argumentasi secara ilmiah sebagaimana diungkapan putri Manai Sophiaan, “Fadjari Iriani Sophiaan” atas nama keluarga di Kata Pengantar buku ini halaman xix-xxii.

Buku yang sedang saya baca ini adalah terbitan kedua. Terbitan pertama tahun 1994, sejumlah 3.000 eksemplar habis terjual dalam waktu tidak lebih dari dua bulan. Diselingi adanya telepon dari jajaran penguasa yang meminta agar penulis menghentikan peredaran buku ini, tetapi buku ini tetap dijual (tepatnya dengan harga hanya berupa penggantian biaya produksi) secara sembunyi-sembunyi. Itulah ungkap Fadjari Iriani Sophiaan, putri Manai Sophiaan.

Sementara pengamat politik Mochtar Pabottingi mengatakan “Jika yang diupayakan secara cerdas oleh Manai Sophiaan dalam bukunya adalah berlakunya keadilan/kebajikan kepada Soekarno, itu lantaran tokoh pendiri bangsa paling terkemuka ini hingga sekarang, dalam perspektif beliau, tidak atau belum ditempatkan secara adil menurut yang patut didapatkannya.

Ya, ujar Bung Karno ketika berpidato pada tanggal 17 Agustus 1966 bahwa tahun 1966, kata mereka, ha, “eindielijk, eindielijk at long last,” Presiden Soekarno telah dijambret oleh rakyatnya sendiri; Presiden Soekarno telah dikup; Presiden Soekarno telah dipreteli segala kekuasaannya; Presiden Soekarno telah ditelikung oleh satu “triumvirat” yang terdiri dari Jenderal Soeharto, Sultan Hamengku Buwono, dan Adam Malik. Dan, “Perintah 11 Maret” kata mereka, “Bukanlah itu penyerahan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto?”

Bung Karno di depan rapat Panglima TNI-AD seluruh Indonesia, Senayan, 28 Mei 1965 mengatakan: “Mereka mencoba hendak membunuh Sukarno, Yani, dan Subandrio. Mereka akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka mempunyai teman-teman di sini.”

Sedangkan penulis buku ini Manai Sophiaan mengungkapkan pada tahun 1994, praktik-praktik “machiavellisme”, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok, maupun kekuasaan. Akibat kemenangan “machiavellisme” pada berbagai kasus, maka sejarah pun mencatat terjadinya tragedi yang mengguncangkan rasa keadilan.

Bagaimanapun untuk mengetahui lebih rinci isi buku ini perlu membacanya. Manai Sophiaan lahir pada 5 September 1915, di Kabupaten Takalar dan meninggal dunia pada tahun 2003. Ia adalah politikus dari Partai Nasional Indonesia. Ia juga adalah ayah dari artis Sophan Sophiaan. Ia adalah orang yang menyerukan mosi yang menyebabkan Peristiwa 17 Oktober 1952. Manai Sophiaan hidup dalam suasana penjajahan Belanda.

Sahabat Dekat B.M. Diah

Ketika saya menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Topik (Grup Harian “Merdeka”) tahun 1985 pimpinan Burhanudin Mohamad (B.M) Diah, saya sering berpapasan dengan Manai Sophiaan, karena beliau selalu datang ke kantor memberikan naskah yang sudah ditulisnya.

Ketika saya menulis buku: “Butir-Butir Padi B.M. Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman” (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992) saya tidak lupa kepada sahabat B.M. Diah, yaitu Manai Sophiaan. Di halaman 341-344 buku itu, ia menulis persahabatannya dengan B.M. Diah berjudul: “Limapuluh Tahun Bersahabat.”

Ternyata perkenalan mereka sudah berusia lebih dari 50 tahun pada tahun 1992 tersebut. Mulanya kedua sahabat ini merantau ke Pulau Jawa untuk sekolah lanjutan. Manai Sophiaan masuk sekolah Taman Guru, Taman Siswa asuhan Ki Hajar Dewantara, sedangkan B.M. Diah berguru di Ksatrian Instituut, pimpinan Douwes Dekker yang anggota Tiga Serangkai dan pernah menggoncang pemerintah Hindia Belanda.

Ketika Manai Sophiaan pindah ke Jakarta, hubungan kedua sahabat itu bertambah erat. Beberapa peristiwa yang berkesan dan akan tetap terus dikenang, ujar Manai Sophiaan adalah ketika terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952. Waktu itu Parlemen diserbu dan diporakporandakan, sedangkan Istana Presiden telah digelar dengan meriam-meriam.

Saat ini B.M. Diah ikut mengambil bagian dengan mencela tindakan perusakan tersebut dan sebaliknya dengan sekuat tenaga membela Kepala Negara (Bung Karno). Akhirnya Harian “Merdeka,” dibreidel (dilarang terbit) oleh Angkatan Darat.

Selanjutnya diceritakan oleh Manai Sophiaan, “Kami berdua menjadi buronan dan dituduh mengacaukan negara. Lalu kami pun berkelana dan lari ke Surabaya, Makassar, Palembang, semata-mata untuk mempertahankan Bung Karno dan Parlemen dari tindak kekerasan. Dalam keadaan seperti ini, yang sepenuhnya membantu kami adalah Kolonel Zulkifli Lubis, orang yang sangat berperan dalam peristiwa tersebut. Demikian ujar Manai Sophiaan.

Juga, tambah Manai Sophiaan, yaitu ketika sedang berlangsung Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Palembang. Waktu itu terjadi kekacauan dan berakhir dengan dua kepengurusan. Waktu ini, ujar Manai Sophiaan, “Saudara Diah menjalankan peran yang sangat menentukan dan mengingatkan kita ke usaha-usaha patriotik B.M. Diah di permulaan revolusi ini, yaitu ingin mempercepat Proklamasi Republik Indonesia.

Itulah beberapa kenangan persahabatan Manai Sophiaan dengan B.M. Diah. “Kami tidak pernah bertentangan, meskipun B.M. Diah selama ini banyak mempunyai lawan. Kami tetap seiring dan sejalan dalam bidang politik.”

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Sejarawan dan Jurnalis Senior

RELATED ARTICLES

Most Popular