Hasil sejumlah Pilkada Serentak di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan beberapa kejutan. Salah satu kejutan tersebut adalah “tergelincir”nya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di sejumlah daerah berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, salah satunya di Kota Blitar, Jawa Timur.
Tergelincirnya PDIP di Kota Blitar, jika benar terjadi bukan sekedar hasil pilkada biasa. Blitar, kota yang sangat erat dengan simbolis perjuangan Soekarno, telah lama menjadi benteng kokoh PDIP. Dominasi partai ini tidak hanya dibangun oleh kerja politik, tetapi juga oleh narasi emosional yang menghubungkan masyarakat dengan nilai-nilai nasionalisme. Namun, politik simbolis ternyata tidak cukup untuk mempertahankan dukungan masyarakat ketika harapan akan perubahan tidak terpenuhi. Blitar sebagai simbol nasionalisme dan benteng PDIP, kini memberikan sebuah signal perubahan politik yang lebih dalam.
Kejatuhan dan kekalahan PDIP di Pilkada Kota Blitar 2024 tidak bisa dilihat sebagai peristiwa yang berdiri sendiri, mengingat PDIP telah berkuasa di Kota Blitar selama lebih dari dua dekade yang dimulai dari terpilihnya Djarot Saiful Hidayat (2000-2010), Samanhudi Anwar (2010-2019), Santoso (2020-2024). Namun, hasil quick count yang mengejutkan, Paslon 1 Bambang Rianto – Bayu Setyo Kuncoro meraih 46,4% yang diusung partai koalisi PDIP, Gerindra, Golkar dan PPP. Sementara Paslon 2 Syauqul Muhibbin – Elim Tyu Samba maraup 53,6% yang diusung partai koalisi PKB, PAN, Demokrat, Nasdem, PKN, dan PSI. Hal ini tampaknya berkaitan erat dengan dinamika politik sebelumnya. Kekalahan ini bukan sekedar dampak kampanye atau figur kandidat pilkada, tetapi mencerminkan efek domino dari dinamika yang terjadi di Pileg 2024, keputusan tersebut tidak hanya memunculkan ketidakpuasan, tetapi juga berdampak langsung pada persepsi dan secara perlahan merusak kepercayaan masyarakat Kota Blitar hingga mencapai puncaknya tercermin dalam pilkada 2024.
Masyarakat Blitar Berbicara
Hasil quick count menunjukkan bahwa masyarakat Kota Blitar menginginkan perubahan. Kekalahan PDIP dalam Pilkada 2024 ini adalah pesan jelas bahwa romantisme sejarah, seperti simbol Soekarno, tidak lagi cukup untuk mempertahankan dominasi politik partai di Kota Blitar.
Dinamika politik yang terjadi di pileg 2024 mengakibatkan beberapa konsekwensi yang berdampak pada pilkada. Pertama, Hilangnya sebuah kepercayaan. Pemilih tradisional yang kecewa dengan keputusan partai di pileg, terutama masyarakat merasa dikhianati sehingga kekecewaan ini berlanjut ke Pilkada, Dimana mereka memilih untuk mendukung kandidat lain sebagai bentuk protes. Kedua, erosi mesin partai. Keputusan yang diambil oleh partai saat pileg mengakibatkan banyak pendukung/simpatisan menarik diri dari aktivitas politik partai. Hal ini yang merugikan hingga melemahkan kekuatan mesin politik PDIP dalam pilkada. Ketiga, narasi oposisi. Partai-partai diluar koalisi memanfaatkan isu yang sedang melanda tersebut untuk menyerang PDIP, mengangkat narasi bahwa partai ini mengabaikan aspirasi masyarakat. Strategi ini terbukti berhasil menggerus dukungan masyarakat.
Di tengah dinamika ini, masyarakat Kota Blitar memberi pesan bahwa mereka menginginkan figur yang mampu hadir secara nyata, memahami kebutuhan lokal, dan membawa kebijakan yang berdampak langsung. Pilihan ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin kritis, tidak mudah digiring oleh narasi lama, dan tidak ragu untuk memberikan kepercayaan kepada kekuatan baru yang dianggap lebih menjanjikan.
Blitar telah berbicara, dan suara itu menggema ke seluruh penjuru. Pesan mereka adalah pengingat bagi siapapun yang ingin memimpin bahwa kepercayaan tidak bisa di anggap remeh. Ia harus terus menerus dirawat melalui kerja nyata, dialog yang jujur, dan keberpihakan pada rakyat. Kekalahan di Blitar bukan sekedar akhir bagi satu pihak, tetapi juga awal bagi pembelajaran tentang pentingnya mendengar dan merespon suara rakyat dengan tidak main-main.
Belajar Dari Kekalahan
Kekalahan partai penguasa di Kota Blitar bukan sekedar hasil kompetisi politik biasa; ini adalah peringatan keras yang membawa banyak pelajaran penting. Kota Blitar ini, yang selama bertahun-tahun menjadi simbol loyalitas dan kekuatan sebuah partai, akhirnya menunjukkan bahwa perubahan adalah hal yang tak terhindarkan dalam demokrasi.
Masyarakat telah berbicara, dan pesan mereka jelas: kekuasaan tidak hanya soal simbol, tatapi juga kinerja nyata. Blitar adalah kota yang sarat akan nilai sejarah, tetapi dalam politik modern, masyarakat membutuhkan lebih dari sekedar romantisme masa lalu. Mereka menginginkan pemimpin yang hadir untuk menjawab kebutuhan lokal, dari ekonomi hingga pelayanan publik. Kekalahan ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin kritis terhadap partai yang terlalu lama berada di zona nyaman, ketika kepercayaan mulai terkikis, terutama karena keputusan-keputusan yang dianggap mengabaikan aspirasi mereka, maka suara rakyat tidak lagi bisa dimonopoli.
Hal ini mengungkapkan perlunya mendengar lebih dalam suara dari lapisan masyarakat yang merasa diabaikan. Konflik internal, penanganan yang kurang transparan, atau keputusan kontroversial dapat mempercepat keretakan antara partai dan konstituennya. Ketika masyarakat kehilangan rasa memiliki terhadap partai, peluang kekuatan alternatif akan semakin besar. Namun, kekalahan ini tidak hanya berbicara soal kesalahan, tetapi juga memberikan kesempatan untuk introspeksi. Partai yang bijak akan memanfaatkan momen ini untuk merangkul kembali konstituennya, memahami aspirasi mereka, dan mereformasi diri. Demokrasi adalah ruang untuk terus belajar, dan Kota Blitar telah memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya adaptasi dan respons terhadap perubahan.
Dinamika kali ini menunjukkan bahwa di Kota Blitar, suara rakyat selalu dinamis. Partai politik, sekuat apapun, hanya akan bertahan jika mampu menghidupkan kembali hubungan emosional dan konkret dengan masyarakat. Kekalahan ini bukan akhir, tetapi sebuah panggilan untuk bangkit dan bekerja lebih baik, tidak hanya memenangkan suara tetapi memenangkan hati rakyat kembali.
Hasil quick count pilkada Kota Blitar 2024 adalah tamparan keras bagi PDIP. Kekalahan ini tidak hanya mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah lokal, tetapi juga efek domino dari dinamika di pileg 2024 lalu. Jika PDIP tidak segera mengambil langkah korektif, kekalahan Pilwali di Kota Blitar bisa menjadi awal runtuhnya dominasi partai di daerah lain.
Masyarakat Kota Blitar telah menunjukkan bahwa suara mereka tidak bisa diabaikan, dan politik simbolis tidak cukup untuk mempertahankan kepercayaan. Kini saatnya PDIP mendengarkan dan bertindak, atau bersiap menghadapi tantangan yang lebih besar di masa depan.
ACHMAD ZAMZAMI
Ketua Forum Jaringan Putra Patria (Forjap Patria)