Sunday, September 8, 2024
spot_img
HomeGagasanTekanan KIM Plus: Fakta atau Narasi Politik Iba Megawati?

Tekanan KIM Plus: Fakta atau Narasi Politik Iba Megawati?

Presiden kelima RI sekaligus Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri adalah politisi yang dikenal menggunakan bahasa politik level tinggi atau high-level political language. Meskipun terkesan sederhana, bahasa politik yang digunakan Mega kerap memiliki makna bercabang dan penuh pesan simbolik.

Pidato Mega banyak ditafsirkan kalau PDIP sedang dikebiri. Mereka kalah di Pilpres 2024, suaranya turun di Pileg 2024, dan sekarang dikucilkan di koalisi Pilkada Serentak 2024 oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.

Presiden Joko Widodo atau kerap disapa Jokowi disebut-sebut sedang mengebiri PDIP. Karena merasa dikhianati, PDIP pasti memukul balik setelah Jokowi turun takhta. Untuk mencegah itu, atau bahkan menghilangkan daya pukul PDIP, Jokowi melakukan berbagai operasi untuk mengebiri PDIP.

Pengucilan PDIP di Pilkada Serentak 2024, sebenarnya terjadi akibat operasi langsung dan tidak langsung. Secara langsung, di berbagai daerah strategis, seperti Jakarta dan Jawa Barat, KIM Plus memang mendominasi dengan merangkul banyak partai.

Tapi ini juga efek tidak langsung. Karena bagaimanapun juga, karakter politisi adalah pragmatis. Ada banyak kasus dimana kandidat lebih memilih dukungan KIM karena KIM sekarang adalah pemenangnya. Begitu juga dengan bohir politik, mereka akan mendukung kandidat yang didukung partai berkuasa.

Ini siklus aja, ketika PDIP berkuasa kemarin, kandidat dan bohir mendekat ke PDIP. Tapi sekarang roda berputar.

Yang artinya, ada kemungkinan Mega ingin membangun narasi politik rasa iba. Ini seperti gaya politik Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dan ini menjadi unik karena Mega justru meniru gaya orang yang tidak disukainya.

Dengan gaya politik rasa iba tersebut, publik ingin dibuat simpati ke PDIP dengan narasi mereka sedang dikebiri, sedang didzolimi. Padahal, kalau bicara soal siklus kekuasaan, ya ini konsekuensi kekalahan PDIP. Politik kita sangat pragmatis, partai yang kalah sangat berpeluang ditinggalkan.

Selain itu, kita sering lupa kalau besok bukan pemerintahan Jokowi, tapi pemerintahan Prabowo Subianto. Mega tidak punya masalah personal dengan Prabowo. Mega bahkan punya jasa besar ke karier politik Prabowo ketika memilihnya jadi wakil pada Pilpres 2009. Pemain kunci di orkestra politik nantinya adalah Prabowo, dan bukannya Jokowi.

 

MUSFI ROMDONI

Pengamat Sosio-Politik Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terbaru

Most Popular