Saturday, September 6, 2025
spot_img
HomeSosokTambang untuk Kehidupan: Perjalanan 26 Tahun Gus Lilur

Tambang untuk Kehidupan: Perjalanan 26 Tahun Gus Lilur

Gus Lilur dengan balutan bisnisnya di dunia tambang. (foto: dokumen pribadi)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Tidak banyak orang yang melihat tambang sebagai jalan pengabdian. Bagi sebagian besar, tambang identik dengan kerusakan alam, perebutan lahan, dan konflik sosial. Namun, bagi HRM Khalilur R Abdullah Sahlawiy, atau akrab disapa Gus Lilur, tambang justru menjadi ladang kebaikan. Sejak 1999, ia menekuni dunia tambang, dan kini, 26 tahun kemudian, ia menyebut perjalanannya sebagai bagian dari ibadah dan amanah kemanusiaan.

“Penyempurnaan pilihan menjadi keniscayaan. Perjalanan panjang sudah ditempuh. Maka penyempurnaan untuk menjadi yang terbaik, bukan lagi pilihan, melainkan kemutlakan,” tutur Gus Lilur, menegaskan arah langkahnya, Kamis (4/9/2025) pagi di Surabaya.

Jejak Panjang di Dunia Tambang

Dalam kurun lebih dari seperempat abad, Gus Lilur membangun fondasi besar: tujuh induk perusahaan, ratusan anak perusahaan, hingga ratusan lokasi tambang dengan klasifikasi berbeda mulai dari tipe Galian A, B, dan hingga galian C.

Ia juga mencatat rekor yang tak kecil. Ribuan alat berat dan truk ia hadirkan. Pabrik alat berat didirikannya untuk menopang kemandirian industri. Lahan reklamasi ia sulap menjadi perkebunan bernilai ekonomi global. Bahkan, keuntungan tambang ia alirkan kembali menjadi gerakan pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan.

“Tambang itu bukan musuh. Yang berbahaya adalah tambang ilegal dan tambang yang merusak. Kalau dikelola dengan benar, tambang justru bisa menjadi rahmat,” ujarnya.

Menjawab Stigma

Pertanyaan besar sering menghampiri: bukankah tambang itu dibenci? Gus Lilur menanggapi dengan tenang. Baginya, dunia tanpa tambang justru tidak mungkin berdiri.

“Coba bayangkan, tanpa tambang kita tidak akan punya besi, semen, pupuk, kaca, ponsel, televisi, hingga kendaraan. Tidak akan ada gedung tinggi, jalan, atau jembatan. Bahkan kacamata pun berasal dari hasil tambang pasir silika,” katanya.

Karena itu, ia menekankan, kuncinya adalah siapa yang mengelola. Tambang harus dijalankan oleh orang yang berkomitmen menjaga keseimbangan alam, bukan yang mengeksploitasi tanpa aturan.

Lebih jauh, Gus Lilur memaknai tambang sebagai jalan spiritual. Ia mengutip ayat Al-Qur’an, Surat Al-Qashash ayat 77: “Carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”

“Menambang dengan kaidah, lalu menghaturkan faedahnya bagi kemanusiaan adalah peribadatan. Itu jalan syukur yang kelak hanya kalah indahnya dengan perjumpaan bersama Tuhan dan Rasul-Nya,” tutur Gus Lilur.

Bagi Gus Lilur, menambang bukan sekadar menggali perut bumi. Menambang adalah menggali harapan, menambang kehidupan, dan menambang amal jariyah yang kelak dibawa pulang. Ia percaya, kesempurnaan seorang hamba adalah saat bisa berpulang dengan bekal kemanfaatan yang nyata.

“Dari pertambangan menuju pertemuan dengan Tuhan melalui faedah kemanusiaan,” katanya, lirih namun penuh keyakinan.

Di tengah stigma negatif, Gus Lilur ingin menunjukkan bahwa tambang bisa hadir sebagai berkah. Sebuah ikhtiar panjang untuk membuktikan, bahwa kekayaan alam sejatinya dititipkan Tuhan agar manusia menjaga, mengelola, dan mengembalikannya menjadi manfaat untuk sesama. (*)

Kontributor: Tommy

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular