
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Penyegelan sejumlah minimarket di Kota Surabaya akibat pelanggaran parkir menjadi sorotan publik. Langkah yang diklaim sebagai wujud ketegasan terhadap parkir liar ini justru menimbulkan perdebatan: apakah ini benar-benar bentuk penataan kota, atau justru wujud penindasan terhadap pelaku usaha kecil dan menengah?
Kritik keras datang dari kalangan akademisi. Salah satunya, Prof. Rossanto Dwi Handoyo, S.E., M.Si., Ph.D., Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, yang menilai kebijakan tersebut bukan hanya tidak proporsional, tetapi juga mengabaikan akar persoalan tata kelola parkir di kota besar.
“Masalah utamanya di parkiran, tapi yang dihukum justru pemilik minimarket. Ini bukan penegakan hukum yang adil, melainkan kegagalan sistemik yang dialihkan bebannya ke pihak yang salah,” tegasnya, Kamis (18/6/2025).
Penyegelan minimarket karena dianggap melanggar aturan parkir dinilai Rossanto sebagai kebijakan yang hanya menyentuh permukaan persoalan. Ia menyebut pendekatan semacam itu memang bisa menimbulkan efek jera, tetapi tidak akan pernah menyelesaikan masalah selama sistem parkir di kota tetap semrawut dan tanpa basis akuntabilitas.
“Minimarket hanya korban dari sistem yang lemah. Apalagi banyak di antaranya bukan bagian dari jaringan besar, melainkan milik warga biasa yang usahanya dibangun susah payah,” ujarnya.
Ia mengingatkan, tidak semua minimarket memiliki kekuatan modal atau sistem manajemen yang sama. Ketika pemerintah menerapkan kebijakan secara seragam tanpa mempertimbangkan skala usaha, maka UMKM akan menjadi pihak paling terdampak.
Lebih lanjut, Rossanto menyoroti celah besar dalam tata kelola pajak parkir yang hingga kini belum mampu menjawab pertanyaan paling mendasar: berapa sebenarnya kendaraan yang parkir, dan berapa rupiah yang dipungut setiap harinya?
“Selama ini pemerintah kota memungut pajak parkir, tetapi tanpa sistem yang bisa menghitung jumlah kendaraan dan nilai transaksi secara akurat. Ini bukan hanya tidak transparan, tapi membuka ruang kebocoran,” ungkapnya.
Dengan sistem yang lemah, pemberian sanksi hanya akan menjadi simbol kekuasaan yang tidak menyentuh akar permasalahan.
Alih-alih menindak pelaku usaha, Rossanto menawarkan tiga alternatif solusi yang menurutnya lebih adil dan aplikatif:
- Kerja sama dengan penyedia layanan parkir profesional berbasis teknologi, di mana parkir tetap gratis untuk masyarakat, sementara pemerintah memungut pajak berdasarkan data aktual yang tercatat secara digital.
- Sistem retribusi resmi melalui juru parkir yang ditunjuk dan diatur oleh pemerintah, dengan tarif yang wajar serta pelaporan pendapatan yang transparan.
- Retribusi dibayar oleh minimarket, bukan pengunjung. Namun ia menyebut skema ini tidak ideal karena berpotensi membebani pelaku usaha dan meningkatkan harga barang di masyarakat.

“Dengan pendekatan ini, parkir tetap gratis bagi masyarakat. Pemerintah mendapat pendapatan, dan pelaku usaha tidak dirugikan secara sepihak. Semua diuntungkan,” tegasnya.
Kebijakan publik, menurut Rossanto, seharusnya tidak hanya mengedepankan respons cepat, tapi juga mengandung kejelasan arah dan keadilan. Terutama di kota seperti Surabaya yang mengandalkan sektor perdagangan dan jasa, ketidakpastian kebijakan bisa menghambat iklim usaha dan memukul pelaku ekonomi lokal.
“Kalau ingin parkir gratis, beri insentif dan sistem teknis ke pelaku usaha. Kalau ingin menarik penerimaan, bangun sistem pelaporan yang transparan. Jangan seperti sekarang: salah satu ditindak, yang lain dibiarkan,” tandasnya.
Penyegelan minimarket mungkin terlihat tegas, tapi apakah ia adil? Apakah ia menyelesaikan masalah? Atau justru menciptakan ketakutan dan ketidakpastian baru bagi para pengusaha kecil?
Surabaya kini berada di persimpangan: akan terus mempertahankan gaya penindakan simbolik yang merugikan pelaku usaha kecil, atau mulai membangun sistem tata kelola perkotaan yang lebih cerdas, transparan, dan berkeadilan?
Kebijakan publik yang sehat tidak bisa hanya reaktif. Ia harus mampu menjawab pertanyaan: siapa yang benar-benar salah, dan siapa yang selama ini menanggung akibat dari ketidakteraturan sistemik?
Jika tidak dijawab dengan cermat, penyegelan demi penyegelan hanya akan jadi parade kekuasaan, bukan solusi berkelanjutan. Surabaya tak butuh pertunjukan ketegasan. Yang dibutuhkan adalah sistem yang berpihak pada rakyat, bukan yang menindas mereka dalam diam.(*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi



