
NIAS SELATAN, CAKRAWARTA.com – Setelah nyaris seabad terpisah, suara-suara leluhur dari Tanah Nias akhirnya pulang ke rumahnya. Rekaman musik dan nyanyian adat yang pernah diabadikan oleh etnomusikolog Belanda Jaap Kunst pada 1930, kini kembali ke pelukan masyarakat adat di Desa Hilisimaetano, Nias Selatan.
Kepulangan suara-suara bersejarah ini difasilitasi oleh Dr. Barbara Titus, etnomusikolog dari Universitas Amsterdam, yang datang langsung ke Nias sejak 25 Juni 2025 lalu hingga 9 Juli 2025 mendatang. Ia tak hanya membawa arsip berharga, berupa rekaman suara, foto, dan film bisu, tetapi juga membawa misi dekolonisasi pengetahuan dan pemulihan identitas budaya.
“Ini bukan sekadar kunjungan akademik. Ini adalah pengembalian narasi, makna, dan agen kepada pemilik aslinya,” ujar Barbara dalam Kuliah Umum bertajuk Suara yang Pulang, pada Minggu (29/6/2025).
Jaap Kunst bersama istrinya, Katy Kunst van Wely, mengunjungi Nias pada 1930 sebagai bagian dari ekspedisi etnomusikologi di Hindia Belanda. Menggunakan silinder lilin, mereka merekam hoho, nyanyian komunal khas Nias, dan mendokumentasikannya dalam buku Music in Nias (1939), yang kini menjadi salah satu referensi penting musik etnik dunia.
Namun, selama 95 tahun, rekaman ini mengendap di arsip Universitas Amsterdam. Baru pada 2024, seorang peneliti muda asal Nias, Doni Kristian Dachi, menemukan jejaknya. Ia menjalin komunikasi langsung dengan Barbara Titus dan memulai perjalanan repatriasi budaya yang bersejarah.
Kepulangan arsip ini merupakan bagian dari gerakan global repatriasi warisan budaya, di mana negara-negara bekas jajahan menuntut kembali artefak dan pengetahuan mereka yang tersimpan di institusi Eropa.
“Ini bukan hanya transfer data. Ini adalah dekolonisasi memori,” tegas Barbara.
Bersama Barbara, turut hadir Rani Jambak, musisi dan peneliti asal Medan yang dikenal dengan karya-karya soundscape berbasis warisan budaya lokal. Rani tengah menjalani studi doktoral di UGM dan Universitas Amsterdam, mengkaji arsip rekaman Jaap Kunst untuk proyek Re:Sound.
Keduanya tinggal di rumah adat yang difungsikan sebagai homestay di Hilisimaetano, menyelami langsung kehidupan masyarakat dan membangun dialog kultural antar generasi.
Selama kunjungan, Barbara dan Rani menyaksikan langsung kekayaan budaya Nias: dari musyawarah adat Orahu, hingga upacara pengukuhan tokoh adat Fa’asi’ulu dan Fa’asi’ila, lengkap dengan tarian dan nyanyian tradisional.
Namun malam paling menggetarkan adalah ketika masyarakat desa berlatih Hoho, nyanyian yang sama seperti yang direkam Jaap Kunst 95 tahun silam.
“Saya merinding ketika mendengar suara rekaman kuno diputar, lalu disambung dengan nyanyian Hoho dari cucu-cucu para penyanyi aslinya. Seakan waktu berhenti,” tutur Rani Jambak dengan mata berkaca-kaca.
Dari Arsip ke Aksi
Dalam diskusi ilmiah di Universitas Nias Raya, Sabtu (28/6/2025), para akademisi dan tokoh budaya membahas pentingnya membuka kembali akses terhadap warisan budaya tak benda yang tersimpan di Eropa.

“Banyak yang tidak tahu bahwa suara-suara leluhur kita justru tersimpan rapi di benua lain, bukan di sini,” ujar Rektor Universitas Nias Raya, Dr. Martiman Suaizisiwa.
Rani menggarisbawahi pentingnya program dokumentasi, perlindungan hak komunitas, hingga kolaborasi seniman tradisi dengan seniman muda. Warisan suara bukan hanya untuk disimpan, tapi juga untuk dihidupkan kembali dalam bentuk karya, pendidikan, hingga pariwisata budaya.
Puncak dari seluruh perjalanan emosional ini terjadi saat Dr. Barbara Titus menyerahkan flashdisk berisi arsip suara Jaap Kunst kepada keturunan langsung para pelantun Hoho.
Tak hanya menyerahkan fisik data, Barbara sebelumnya juga melakukan restorasi suara berbasis artificial intelligence atau Akal Imitasi (AI) untuk meminimalisir noise dan distorsi, sekaligus mempertahankan karakter orisinal rekaman silinder.
“Inilah inti dari repatriasi. Mengembalikan suara kepada mereka yang memilikinya, bukan hanya secara historis, tapi secara batiniah,” ujar Barbara penuh haru.

Acara ditutup dengan penampilan Hoho dari Sanggar Hoho Hilisimaetano, dipimpin oleh Rawatan Dachi, cucu dari Duada Jofu, salah satu penyanyi yang suaranya direkam Jaap Kunst. Mereka menyanyi di tempat yang sama, di depan rumah Duada Barani, yang menjadi lokasi rekaman pada tahun 1930 yang lalu.
Satu abad kemudian, suara itu kembali menggema. Tapi kali ini, bukan sebagai koleksi museum. Melainkan sebagai milik yang hidup, menyatu dengan denyut kehidupan masyarakatnya.
“Suara yang Pulang” bukan hanya tentang rekaman lama yang kembali. Ini adalah narasi kebangkitan budaya, tentang bagaimana komunitas mengambil kembali ceritanya, dan menyanyikannya untuk masa depan.(*)
Kontributor: Bachtiar Dj
Editor: Abdel Rafi



