Sungguh sangat disayangkan bangsa yang besar ini harus dipimpin oleh elit-elit yang sesat pikir. Hanya Bung Karno yang pada masanya menjadi satu-satunya pemimpin yang paham tentang kesejahteraan rakyat, meski tidak terwujud pada masa kepemimpinan beliau, setidaknya gagasan dan pemikiran Bung Karno tentang ekonomi, kesejahteraan dan sumber daya alam tidak sesat. Dan karena gagasan dan pemikiran tentang kesejahteraan itulah Bung Karno harus diakhiri kepemimpinannya secara paksa oleh pihak-pihak yang ingin kuasai bangsa ini dan menjadi neo-kolonialisme. Terbukti, pasca lengsernya Bung Karno lah Freeport berhasil masuk Papua dan mengeruk sumber daya alam dari Papua tanpa peri kemanusian dan tidak berkeadilan sosial.
Besarnya sumber daya alam di Papua yang bernilai ribuan trilliun ternyata tidak mampu sekedar sejahterakan rakyat Papua yang hingga kini berjumlah sekitar 5 juta jiwa. Inilah salah satu bukti sesat pikir pemimpin bangsa di zaman Soeharto yang menganggap sumber daya alam dikuasai asing bisa sejahterakan rakyat. Fakta nyata, Papua tidak sejahtera, meski pada saat masuknya Freeport ke Papua diawali dengan janji kesejahteraan bagi rakyat.
Sesat pikir itu hingga kini tumbuh subur bagi para elit bangsa, dan bukannya berubah waras tapi makin hari makin sesat. Saat ini tercatat 85% sumber daya alam kita dikuasai oleh asing yang masuk dengan janji yang sama dari pemerintah akan mensejahterakan rakyat, tapi fakta yang terjadi tidak satupun investasi asing itu yang sejahterakan rakyat, tapi cuma memperkaya asing, karyawannya dan elit sesat pikir itu. Coba kita simak beberapa wilayah dengan sumber daya alam melimpah tapi miskin, pertama Papua dengan kekayaan alam ribuan trilliun, tapi untuk sekedar pakai baju saja rakyat papua masih susah. Kedua Kalimantan, ada Mahakam dan batu bara dimana mana, tapi sayang jalanan saja rusak parah, listrik mati hidup, penduduk miskin tak terhitung. Ketiga Sumatera, Riau dengan Cevron, Aceh dengan Arun dan lain-lain. Kekayaan alam ribuan trilliun tapi di Riau masih ada suku miskin tak terpelihara, Sumatera Selatan juga demikian. Cukup itu saja kita berikan contohnya, terus dimana kesejahteraan rakyat yang dijanjikan itu? Dimana Pasal 33 UUD 1945 itu berada?
Hari ini, sesat pikir itu kembali terjadi pada pengelolaan Blok Masela dengan cadangan gas diperkirakan hingga 70 tahun lamanya. Para elit pemerintah kita masih berkutat pada hal teknis dengan segala macam janji manis yang tidak lebih dari sebuah dongeng yang menipu. Simaklah perseteruan antara Sudirman Said di blok offshore dengan Rizal Ramli di blok onshore. Kedua pejabat ini termasuk yang sesat pikir karena faktanya masih berkutat pada hal teknis. Keduanya berargumen dengan janji-janji kesejahteraan rakyat, sementara mereka lupa bahwa janji kesejahteraan yang mereka janjikan itu tidak lebih dari dongeng yang menipu demi ekspektasi dan ego pribadi. Ternyata kedua pejabat ini tidak juga mengerti kunci kesejahteraan rakyat sesuai pasal 33 UUD 1945, mereka ini hanya mengerti bagaimana caranya mewujudkan ego personal.
Rakyat disuguhi cerita dongeng yang membodohi, onshore atau offshore di Masela tetap tidak bisa sejahterakan rakyat karena sahamnya dikuasai asing 100%. Mengapa kedua pejabat ini tidak memperjuangkan kepemilikan nasional pada Blok Masela? Bukankah dengan kepemilikan nasional itu baru bisa sejahterakan rakyat? Huh. Memang sesat pikir yang sangat mengherankan dari elit bangsa kita. Cobalah Sudirman Said maupun Rizal Ramli tunjukkan satu saja SDA yang dikuasai asing yang terbukti sejahterakan rakyat lokalnya, pasti tidak ada. Jadi mengapa sesat pikir itu masih dipelihara? Rakyat jangan tertipu oleh citra komunikasi yang dibangun oleh Sudirman Said maupun Rizal Ramli karena logika mereka masih kategori sesat pikir.
Seharusnya kedua pejabat di atas dan elit nasional kita berfikir lebih Pancasilais dan berdasar pada Pasal 33 UUD 1945, berperi kemanusiaan, berkeadilan sosial dan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Bagaimana supaya 3 hal itu terwujud? Tidak ada cara lain kecuali menguasai Sumber Daya Alam (SDA) tersebut secara utuh dan bukan dikuasai asing. Lebih baik elit kita ini memperjuangkan secara maksimal kepemilikan nasional pada setiap blok atau wilayah kerja sumber daya alam daripada terus sesat pikir dengan janji manis dongeng yang menipu.
FERDINAND HUTAHAEAN
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI)