Friday, March 29, 2024
HomeSains TeknologiResensiResensi: What Is China?

Resensi: What Is China?

WHAT IS CHINA - WEB

 

 

Judul Buku: What Is China? 
Penulis : Ge Zhaoguang 
Penerbit : The Belknap Press of Harvard University Press, USA
Tebal : xv + 201 halaman 
Cetakan : Pertama, 2018

 

Membedah China tentu tidak mudah. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Kata ‘China’ itu sendiri sesungguhnya merujuk pada wilayah RRC, tapi dalam pembedahan terhadap kata tersebut justru bisa menyangkut hubungan antara RRC dengan warga Cina diaspora. Bahkan sejarawan China pun sulit terhindar dari kerumitan ini. Karena, sumber-sumber sejarah Dinasti Qing yang berkuasa di China daratan beberapa abad silam ternyata tak mau memakai kata ‘China’ atau ‘Zhungguo’ jika merujuk ke wilayah yang dikuasainya. Penguasa dari dinasti ini lebih akrab dengan kata ‘Da Qing guo’ untuk menunjuk wilayahnya.

Oleh karena itu, para sejarawan China sendiri sering berdebat soal pemakaian kata ‘China’ serta batas-batas teritorinya. Dan Ge, penulis buku ini, adalah sejarawan mutakhir yang tak sungkan mengangkat persoalan tersebut untuk diperdebatkan. Baginya, sejarah China daratan serta penguasa wilayah sering menjadi perhatian para sejarawan tapi dari situ pula sering timbul bibit pertengkaran. Misalnya, apakah batas wilayah RRC saat ini punya dasar kesejarahan sahih atau sekadar klaim? Dalam sejarah para penguasa China masa klasik, batas-batas wilayah tersebut tidak seperti yang ada saat ini. Bisa lebih luas, bisa menyempit, sebab berhubungan dengan pengaruh kaisar. Manakala sang kaisar rajin ekspansi, maka wilayahnya bisa meluas, tapi pengganti kaisar yang berwatak pasif malah bisa mempersempit wilayah kekaisaran.

Salah-satu rujukan kajian sejarah tersebut mengacu pada kekuasaan Dinasti Song yang bertengger mulai abad ke-10 sampai abad ke-14 di China. Song menjadi patokan sebab pada masa dinasti inilah terbentuknya formasi kesadaran ‘China’. Sedangkan Dinasti Tang yang berkuasa sebelumnya masih dianggap sebagai dinasti yang mengutamakan tradisi, bukan berorientasi pada pembentukan kesadaran. Argumen ini diajukan sejumlah sarjana China beberapa dekade silam, semisal Fu Sinian, Chen Yinke, Qian Mu dan Fu Lecheng.

Para penguasa dinasti Song berhasil mengubah negeri berjuluk ”Di bawah nirwana” ini dari carut-marut menjadi ketertiban. Penataan dilakukan disana-sini, termasuk menata wilayah perbatasan. Wibawa otoritas politik pelan-pelan tumbuh, sehingga kehadiran Dinasti Song dipandang beda dari dinasti-dinasti sebelumnya. Walau demikian, pembacaan terhadap sejarah ini tetap menyisakan sejumlah dilema.

Pertama, dari sudut-pandang negara-negara tetangga tatkala China mengalami kemerosotan daya tarik budaya. China tak lagi memikat bagi penguasa negeri di sekitar perbatasan, seperti Jepang, Korea dan bahkan Vietnam. Kemerosotan ini terjadi selama Dinasti Han dan Dinasti Tang. Dampaknya, wilayah-wilayah pinggiran tersebut tak lagi bisa disebut barbar, sebab kenyataannya mereka juga mengembangkan khazanah budaya sendiri.

Kedua, setelah kedatangan orang Barat pertama ke daratan China. Dia adalah Rafael Perestrello, orang Portugis yang masuk ke daratan China memakai perahu kecil. Rafael disambut raja Wuzong dari Dinasti Ming pada tahun 1516. Kedatangan Rafael segera merombak cara pikir penguasa China. Jika semula para elit Dinasti Ming beranggapan bahwa negerinya di bawah surga, maka begitu melihat peralatan yang dibawa Rafael, spontan anggapan mereka buyar. Mereka mulai realistis dan melihat kembali batas-batas wilayah negerinya, serta membangun komunikasi intensif dengan para pelaut Barat.

Ketiga, ekspansi ke wilayah etnik Hui di Xinjiang terus berlangsung. Etnik ini pelan-pelan masuk ke dalam rangkaian etnik lain di bawah kekaisaran Dinasti Qing pada abad ke-18, meski etnik Han tetap dianggap dominan serta superior. Pencaplokan demi pencaplokan terjadi sistematis sehingga wilayah Dinasti Qing kian meluas. Untuk menguasai Tibet, Kaisar Qianlong mengirim utusan ke negeri tersebut, lalu membentuk sistem pemilihan Dalai Lama pada abad ke-18. Sejak itu, wilayah China kian meluas dan meliputi bangsa Manchu, Mongol, Hui, Han, Tibetan dan Miao. Keenam bangsa inilah yang kelak ditulis dalam sejarah China sebagai ‘enam bangsa’ di wilayah China. Akan tetapi, sentimen anti-Manchu pelan-pelan naik seiring keterpikatan warga terhadap gerakan kaum nasionalis yang dipelopori Sun Yat Sen, Zhang Taiyan dan Chen Tianhua. Belakangan, kecurigaan antar-etnis juga meningkat. Persoalan ini bermula dari Dinasti Qing yang tak piawai mengelola keanekaragaman, lalu menurun pada elit gerakan nasionalis China di abad ke-19 sampai awal abad 20.

Ge super serius menulis buku ini. Enam bab pembahasan yang disodorkannya, penuh dengan rujukan serta riuh perdebatan. Ia membandingkan satu rujukan dari rujukan lainnya. Kajian sejarah China memang mempunyai berbagai sudut-pandang. Beda rujukan, beda pula sudut pandangnya. Ge mengurainya pada bab pendahuluan, sebelum masuk ke dalam bab pertama yang mengulas pandangan dunia China. Ada lima kajian sejarah China yang kerap dirujuk, yang pada gilirannya menghasilkan lima pandangan berbeda. Pertama, studi kawasan China yang diawali pada tahun 1982 melalui karya Robert Hartwell. Hartwell kemudian diikuti kajian geografis Robert Hymes, Richard Davis, Paul Smith dan Peter Bol pada wilayah Fuzhou, Sichuan, Mingzhou dan Wuzhou. Ge mengkritik kajian ini karena sejarah wilayah tidak bisa menunjukkan wajah tunggal sejarah China. Kedua, kajian Asia atau Asia Timur.

Dalam kajian ini yang menonjol adalah karya-karya sejarawan Jepang tentang China. Sesudah perang Jepang-China pada tahun 1894, posisi China benar-benar di bawah Jepang sebab sejarawan periode Meiji melihat China bukanlah kesatuan utuh, melainkan wilayah sporadis sejak dulu. Bahkan pada tahun 1923, sarjana kenamaan Jepang Yano Jin’ichi beralasan, China bukanlah sebuah negara-bangsa sebab wilayah Manchuria, Tibet, Mongolia serta wilayah lain tak pernah menjadi bagian dari teritori China. Ge mengkritik kajian ini terlalu meremehkan peran China di Asia. Seolah-olah hanya Jepang yang telah berperan penting dalam perkembangan sejarah Asia.

Ketiga, pendekatan konsentrik Taiwan. Dalam pendekatan ini China diposisikan hanyalah bagian dari Taiwan. Sejarawan Taiwan, Tu Cheng-seng, berusaha melawan hegemoni China daratan. Bagi Cheng-sen, keterpecahan wilayah China daratan bisa ditunjukkan dari keanekaragaman budaya yang tak mungkin disatukan. Sejarah China daratan sangat lekat juga pada pelestarian sekaligus perkembangan budaya masing-masing wilayah. Ketiadaan penyatuan budaya menunjukkan, China daratan bukan pusat identitas China. Justru Taiwan yang layak disebut beridentitas China.

Bagi Ge, pendekatan konsentrik ini jelas bernuansa politis ketimbang murni kesejarahan. Keempat, adanya perhatian para sarjana terhadap era Mongol dan tafsir baru sejarah Dinasti Qing. Adalah sejarawan Jepang, Honda Miyobu serta Sugiyama Masaki yang beralasan, dokumen-dokumen klasik China sebagai pusat dunia justru ditulis oleh para kaisar Mongol yang berkuasa di China. Kejadian serupa juga tampak pada masa Dinasti Qing, dimana para penguasa dalam dinasti ini bergelar ‘Khan’. Namun, Ge menolak klaim Miyobu serta Masaki tersebut. Menurut Ge, sejarah naratif dari kedua era itu merupakan identitas nasional, selain juga kenyataan sejarah tersebut hanya memperlihatkan pengaruh minoritas Mongol pada mayoritas etnis Han saja.

Kelima, pendekatan historiografi pasca-modern atas China. Pendekatan ini dikembangkan dari konsep ‘komunitas terbayang’ Benedict Anderson. Maka, China itu merupakan ‘komunitas terbayang’. Walau dekat pada pendekatan ini, namun Ge beranggapan konsep Ben Anderson itu cermin respon nasionalisme masyarakat terjajah, sedangkan sejarah penjajahan di China hanya meliputi beberapa wilayah saja.

Ge benar-benar berada dalam kegalauan untuk menentukan apa itu China. Dalam buku ini, ia menjabarkan pandangan dunia China yang juga tidak tunggal, lalu batas-batas teritori China yang masih selalu diperdebatkan. Tak ketinggalan, Ge juga membahas aneka ragam etnis yang tinggal di China dalam lintasan sejarah. Suatu hari di musim dingin 2001 Ge menghadiri pameran benda-benda sejarah perjalanan misionaris ke Cina di Kedubes Italia di Beijing. Mata Ge terpaku pada peta lama buatan misionaris Italia. Peta itu menggambarkan begitu banyak negara dalam kawasan China. Pikiran Ge segera melayang ke masa lampau, ketika masyarakat China yang meyakini diri mereka berada di pusat dunia karena China ‘di bawah nirwana’, pelan-pelan diubah oleh peta tersebut. Bahwa pusat dunia tersebar dimana-mana di wilayah China.

Oleh karena itu, China hidup dalam banyak negara, warga masing-masing negara berinteraksi dalam bahasa dan budaya berbeda. Terjadi saling kontak, saling temu, saling berinteraksi. Bagi Ge, peta misionaris Italia itu telah menunjukkan bahwa masyarakat China telah masuk ke dalam globalisasi jauh sebelum peta itu dibuat. Bisa saja, itulah klaim Ge dalam bab dua buku ini, walau tak bisa dipungkiri di dalam wilayah China hingga saat ini, tidaklah monolitik. Ada banyak etnik, ada banyak aksen bahasa dan ada beragam variasi budaya. China memang sulit diidentifikasi secara tunggal.

 

ROSDIANSYAH

Alumnus Fakultas Hukum Unair

Master Studi Pembangunan ISS, Den Haag, Belanda

Periset pada the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)

Periset pada Pusat Kajian Islam dan Peradaban (Puskip) Surabaya

RELATED ARTICLES

Most Popular