Friday, April 26, 2024
HomeGagasanRelasi Turki-Rusia dan Masa Depan Suriah

Relasi Turki-Rusia dan Masa Depan Suriah

 

 

 

 

Konflik Suriah yang terjadi belakangan ini telah menyeret sejumlah aktor negara untuk menunjukkan superioritas dan dukungan terhadap sekutunya, seperti pemerintah Rusia yang selama ini menjadi partner setia pemerintah Suriah, sangat getol dalam memerangi oposisi Suriah (FSA) demi menjaga eksistensi pemerintahan Bashar Al-Ashad.

Namun, peta konflik Suriah belakangan ini berubah sesaat, setelah kehadiran Teroris Daesh (ISIS) yang kemudian berhasil dipukul mundur oleh banyak state actor maupun non-state actor seperti milisi Kurdi (YPG) yang didukung oleh Amerika Serikat (AS) dan oposisi Suriah (FSA) yang didukung militer Turki.

Pasca kekalahan Teroris Daesh di sejumlah wilayah Suriah, pada 20 Januari 2018 lalu Presiden Turki, Recep Tayyib Erdogan mengumumkan perang terhadap kelompok YPG yang sejatinya adalah milisi suku Kurdi yang diklaim sebagai teroris oleh pemerintah Turki. Klaim tersebut kemudian diikuti dengan dimulainya operasi Olive Branch oleh militer Turki yang dibantu oposisi Suriah (FSA) dengan tujuan menciptakan safe zone pada radius 30 km sepanjang garis perbatasan Turki-Suriah.

Berdasar media lokal Turki, Yeni Safak, operasi Olive Branch yang digagas Turki dan dibantu milisi oposisi Suriah (FSA), sejatinya merupakan pembalasan Turki atas jatuhnya ratusan korban jiwa warga sipil akibat bom bunuh diri (suicide bomb) yang dilakukan oleh kelompok YPG di beberapa kota di Turki selama beberapa tahun terakhir dan penindasan terhadap warga sipil di wilayah Afrin dan Manbij Suriah.

Dari sinilah kompleksitas konflik di Suriah menjadi semakin rumit, Pemerintah Turki yang selama ini merupakan anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) harus berseberangan dengan AS dalam dukungan dan sekutu. Di satu pihak, AS mendukung milisi Kurdi (YPG) dalam pemberantasan Teroris Daesh di Irak dan Suriah, sementara itu di pihak lain Turki memilih membantu perlawanan FSA terhadap milisi Kurdi (YPG) pada operasi Olive Branch dan Teroris Daesh pada operasi Euphrates Shield akhir tahun 2017 di kota Al-Bab Suriah.

Belum lagi Turki yang baru-baru ini cenderung condong dengan Rusia sebagai mitra kerjasama pasca insiden jatuhnya jet tempurSu-24 Rusia akibat ditembak jatuh oleh angkatan udara Turki yang kemudian kedua negara memilih mengakhiri ketegangan dan sepakat menjalin kontrak pembelian penangkal rudal Triump S-400 milik Rusia. Tetapi pada konflik di Suriah antara Turki dan Rusia harus berseberangan dukungan dan sekutu karena Rusia telah sejak lama mendukung pemerintahan Bahsar Al Assad. Sementara Turki tetap pada pendiriannya memberantas Teroris Daesh yang bersama milisi oposisi Suriah (FSA), dimana FSA merupakan musuh utama pemerintah Suriah.

Berdasarkan data dari Yeni Safak, pada operasi Olive Branch yang dipimpin militer Turki dan dibantu milisi oposisi Suriah di wilayah Afrin-Suriah telah berhasil membebaskan beberapa wilayah dari YPG, dan Turki besarta FSA memilih untuk masuk lebih dalam ke kota Al-Eis yang berada di selatan Idlib-Suriah untuk memberantas Teroris YPG. Di Kota Al-Eis inilah kemudian terjadi tembakan artileri oleh militer pemerintah Suriah (FAA) yang menargetkan konvoi pasukan Turki di Al Ais-Suriah, kemudian dibalas oleh Turki dengan mengirim bantuan udara berupa 2 buah Jet F-15 untuk mengamankan pasukan Turki di kota Al-Eis.

Dari eskalasi dan intensitas konflik dan banyaknya aktor yang terlibat, secara geopolitik di Suriah ke depan, setidaknya ada beberapa kemungkinan yamg dapat diprediksi yaitu: pertama, pasca dipukul mundurnya milisi Kurdi (YPG) ada kemungkinan militer Turki beserta milisi oposisi Suriah (FSA) akan berkonfrontasi dengan militer pemerintah Suriah (FAA) yang selama ini didukung oleh Rusia dan Iran untuk membombardir milisi FSA. Analisis ini didasarkan pada fakta bahwa selama ini pemerintah Suriah yang dibantu angkatan udara Rusia secara intens membombardir warga sipil dan milisi oposisi Suriah (FSA).

Kedua, jika konflik militer Turki dan militer Suriah tak terelakkan, Rusia sebagai aktor state dengan militer terkuat setelah AS, harus memutuskan guna memberikan dukungan kepada Pemerintah Suriah. Bisa pula kemungkinan pilihan untuk memilih sikap abstain dari keduanya. Hal ini karena kedua negara (antara Turki dan Suriah) sama-sama memiliki hubungan bilateral dengan Rusia, dan ini merupakan keputusan yang sulit bagi Rusia, karena selama ini operasi militer yang dilakukan Turki di Suriah karena mendapatkan persetujuan dari Rusia.

Ketiga, kemungkinan terburuk ketika Rusia tetap mendukung pemerintah Suriah dan harus berkonfrontasi dengan militer Turki beserta milisi oposisi Suriah (FSA), Turki akan banyak menanggung biaya perang yang lebih berat, karena Rusia berdasar Global Fire Power dengan segala kekuatan militernya tidak sebanding dengan Turki dan merupakan negara terkuat kedua setelah Amerika Serikat. Sementara Turki sendiri justru menduduki urutan kedelapan dalam kekuatan militer dunia.

Terakhir, sebagai jalan tengah bagi selesainya konflik Suriah adalah menerapkan kebijakan seperti bangsa-bangsa Eropa abad-16, yaitu kebijakan Satu Negara Satu Keyakinan (One State One Faith) dengan membagi Suriah menjadi tiga bagian yaitu, Suriah milik Pemerintah Assad yang mayoritas Syiah, Suriah milik oposisi yang beraliran Sunni dan Suriah milik YPG dari suku Kurdi dimana Kurdi sendiri merupakan etnis yang selama ini berusaha menguasai wilayah untuk menciptakan kedaulatan sendiri.

 

NASRUDIN, M.Sc

Analis Geopolitik dan Magister Ketahanan UGM

RELATED ARTICLES

Most Popular