Wednesday, October 8, 2025
spot_img
HomeSosokRani Jambak dan “Kincia Aia”, Suara Peringatan dari Minangkabau Menggema di Kanada

Rani Jambak dan “Kincia Aia”, Suara Peringatan dari Minangkabau Menggema di Kanada

Salah satu momen penampilan Rani Jambak di Kanada. (foto: Green Yang)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Musim gugur di Kanada tahun ini diwarnai denting suara yang tidak biasa, gema kincir air tradisional Minangkabau yang dihidupkan kembali dalam bentuk instrumen musik. Seniman suara sekaligus komposer asal Indonesia, Rani Jambak, membawanya ke enam kota di Kanada dalam rangkaian tur internasional yang padat, menjadikan panggung seni sebagai ruang perjumpaan budaya sekaligus kritik ekologis.

Perempuan berdarah Minangkabau kelahiran Medan ini memperkenalkan “Kincia Aia: A Living Heritage”, kincir air tradisional yang biasa digunakan untuk mengairi sawah, ia modifikasi menjadi alat musik elektronik interaktif. Dari situ lahirlah pertunjukan sonik yang memadukan lanskap suara Minangkabau dengan komposisi eksperimental, menyatukan warisan Nusantara dengan isu krisis lingkungan global.

“Air adalah kunci bagi Minangkabau; ia pengarsip memori. Tapi kini sungai-sungai kita mulai kering, bahkan penuh mikroplastik. Kincia Aia ini saya hadirkan sebagai suara peringatan,” ujar Rani dalam salah satu sesi diskusinya.

Secara historis, Kincia Aia merupakan teknologi lokal Minangkabau yang berfungsi ganda: mengairi sawah dan menumbuk padi. Sifat kepemilikannya yang komunal menjadikannya simbol hubungan harmonis manusia dengan alam. Namun, teknologi mekanis modern dan perubahan lingkungan membuatnya kian langka.

Rani menjawab situasi ini dengan “futurisasi” Kincia Aia. Ia menciptakan replika kincir dengan sepuluh alu kayu berlapis sensor yang memicu suara elektronik berbeda. Hasilnya bukan sekadar instrumen, melainkan jembatan lintas zaman: suara leluhur yang diolah kembali sebagai peringatan ekologis kontemporer.

Selain sebagai seniman, Rani kini menempuh studi doktoral di Universitas Gadjah Mada, mendalami warisan suara Nusantara melalui program Re:Sound yang bekerja sama dengan Universiteit van Amsterdam. Kajian akademis ini memperkuat praktik artistiknya di panggung global.

Dalam kesehariannya, Rani juga seorang ibu bagi putrinya yang berusia dua tahun, Asha Nusa Ardhana, dan istri dari seniman M. Hario Efenur, yang turut mendukung lahirnya karya berbasis manuskrip abad ke-19 Tambo Alam Minangkabau. “Saya ingin karya ini menjadi warisan bagi Asha. Pertanyaannya, nenek moyang seperti apa yang kita ingin tinggalkan untuk generasi mendatang?” kata Rani.

Tur dibuka di Guelph Jazz Festival pertengahan September, dengan puncak pertunjukan tunggal Kincia Aia pada 14 September 2025. Diskusi Wet Sounds Series yang mendahuluinya menyoroti bagaimana seniman melihat karya mereka dalam lanskap krisis iklim.

Selanjutnya di Toronto, Rani tampil di festival SOUNDplay yang secara khusus mengangkat isu air dan perubahan iklim. Penampilannya yang memadukan soundscape Indonesia dengan musik elektronik menghadirkan bunyi-bunyian seperti alarm ekologis.

Tak hanya di panggung, Rani juga hadir di ruang akademik. Di OCAD University Toronto, ia berbagi gagasan dengan mahasiswa seni, mempertemukan kritik ekologi dengan perspektif diaspora. “Sangat penting bagi mahasiswa seni Kanada mendengar suara-suara seperti Rani. Seni adalah alat melawan amnesia sejarah dan ekologis,” kata Esery Mondesir, dosen tamu yang menggandeng Rani di kelasnya.

Tur berlanjut hingga Montreal, Ottawa, dan Hamilton. Di setiap kota, Rani tidak hanya tampil, tetapi juga berdialog, menjadi mentor, bahkan menghadirkan instalasi interaktif Kincia Aia. Pertemuan dengan aktivis air asal Six Nations, Cody Lookinghorse, di Hamilton menambah lapisan simbolik: dua suara pribumi dari dua benua bertemu dalam satu ruang bunyi.

“Ketika Cody berbicara tentang tanah dan air, saya mendengar Minangkabau. Ada energi yang sama, kepedulian yang sama. Musik kami menjadi cara untuk berbagi kekuatan itu,” ucap Rani.

Usai menutup tur Kanada, Rani kembali ke Indonesia untuk melanjutkan studi doktoralnya di Yogyakarta. Kincia Aia kini hadir sebagai instalasi seni dalam Biennale Jogja 18: Kawruh Lelaku (5 Oktober-20 November 2025), dipamerkan di The Ratan, Desa Panggungharjo, Bantul.

Bagi Rani, Kincia Aia adalah warisan hidup yang tak berhenti berputar. Ia menghubungkan memori leluhur, krisis ekologis, dan harapan generasi baru. “Seni,” kata Rani, “bisa menjadi ruang perlawanan sekaligus jembatan budaya.”

Suara Kincia Aia yang berputar di aliran sungai Minangkabau kini menggema jauh hingga Kanada dan menjadi sebuah pengingat bahwa warisan Nusantara masih relevan, dan bahkan dibutuhkan, dalam percakapan dunia hari ini. (*)

Kontributor: Bachtiar Dj

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular