SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Di balik senyapnya rak-rak perpustakaan, di antara lembar demi lembar buku yang tersusun rapi, ada sosok yang jarang mendapat sorotan: pustakawan. Bukan sekadar penjaga buku, mereka adalah jantung dari arus informasi, penuntun dalam labirin pengetahuan, dan kini, lebih dari sebelumnya, mereka ditantang untuk tetap relevan di tengah ledakan teknologi digital.
Tanggal 7 Juli setiap tahunnya, Indonesia memperingati Hari Pustakawan, bertepatan dengan berdirinya Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) pada tahun 1973. Namun, seberapa banyak dari kita yang benar-benar memahami peran strategis profesi ini?
Bagi Rahma Sugihartati, Guru Besar Ilmu Informasi dan Perpustakaan FISIP Universitas Airlangga, Hari Pustakawan bukan sekadar seremoni. Ia adalah pengingat bahwa pustakawan adalah garda depan dalam membangun literasi bangsa. Dalam wawancaranya melalui kanal FISIP Statement, Rahma mengungkapkan bahwa profesi pustakawan saat ini tengah berada di titik kritis antara harapan dan tantangan.
“Dulu semua dikerjakan secara manual. Sekarang dengan teknologi, peran pustakawan seharusnya makin luas, bukan menyempit,” ujar Rahma.
Antara Teknologi dan Stigma ‘Profesi Membosakan’
Zaman telah berubah. Di era kecerdasan buatan, di mana jawaban bisa dicari dalam hitungan detik lewat gawai pintar, peran pustakawan seolah kehilangan panggung. Namun Rahma membantah keras anggapan itu.
Menurutnya, justru di tengah derasnya arus informasi inilah, pustakawan dibutuhkan lebih dari sebelumnya. Mereka harus menjadi information navigator, penunjuk arah di tengah badai hoaks, misinformasi, dan kebingungan data.
Sayangnya, profesi ini masih kerap diremehkan. Stigma sebagai pekerjaan sepi, statis, dan kurang bergengsi masih melekat kuat. Sebuah ironi, di saat dunia sangat membutuhkan pengelola informasi yang andal.
“Tantangannya bukan hanya eksternal, tapi juga bagaimana pustakawan sendiri memosisikan dirinya sebagai aktor perubahan,” tambah Rahma.
Data Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat 70 dari 80 negara dalam hal literasi. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah cerminan dari krisis kultural yang dalam.
Rahma menyayangkan berbagai program yang hanya sekadar proyek, tanpa dampak jangka panjang. Program “membaca 15 menit sebelum kelas” misalnya, masih minim implementasi. Taman baca masyarakat sempat menggeliat, tapi kembali sunyi karena koleksi buku yang monoton dan kurang menggugah.

“Literasi itu bukan hanya soal bisa membaca. Tapi soal mengasah keterampilan, berpikir kritis, dan menjawab kebutuhan hidup nyata,” katanya menekankan.
TPBIS: Ketika Perpustakaan Menjadi Ruang Transformasi Sosial
Namun bukan berarti semua suram. Ada secercah harapan dari program TPBIS (Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial) yang digagas oleh Perpustakaan Nasional. Bukan lagi sekadar tempat membaca, perpustakaan kini menjadi ruang belajar keterampilan hidup.
Ada kelas menjahit, merajut, hingga meracik kopi. Ada ruang diskusi, pelatihan digital, bahkan pendampingan UMKM lokal. Dan semua inisiatif ini, lagi-lagi, tak akan berjalan tanpa kreativitas para pustakawan.
“Inovasi-inovasi ini menunjukkan bahwa pustakawan sudah dan harus terus beradaptasi dengan zaman. Mereka bukan profesi yang menunggu, tapi mencipta,” ujar Rahma bangga.
Menjelang akhir percakapan, Rahma menitipkan pesan yang dalam. Kepada para pustakawan, ia meminta untuk terus memperjuangkan eksistensi mereka di tengah gelombang teknologi. Bukan dengan menolaknya, tapi dengan menjadi pemandu dalam penggunaan yang bijak dan manusiawi.
Kepada mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan, ia menyerukan agar mereka tidak berhenti hanya pada keterampilan teknis katalogisasi atau klasifikasi. Dunia butuh pustakawan yang bisa menjadi fasilitator, edukator, bahkan advokat literasi.
“Jangan hanya jago teknis. Kembangkan kemampuan komunikasi, empati, kreativitas. Jadilah pustakawan yang menyala,” tuturnya.
Di era di mana segalanya terasa serba cepat, pustakawan hadir bukan untuk memperlambat, tapi untuk mengarahkan. Mereka bukan hanya pelindung buku, tapi penjaga peradaban.
Dan pada momen Hari Pustakawan, kita diingatkan, mungkin untuk kesekian kalinya, bahwa di balik setiap kemajuan intelektual sebuah bangsa, ada mereka yang bekerja dalam senyap, tapi berdampak dalam.
Karena pustakawan tak sekadar profesi. Ia adalah panggilan untuk menjaga nyala ilmu pengetahuan.(*)
Editor: Tommy dan Rafel