Thursday, April 25, 2024
HomePolitikaPublik Khawatir Kampanye Hitam Hingga Isu SARA Terjadi Kembali Pada Pemilu 2024

Publik Khawatir Kampanye Hitam Hingga Isu SARA Terjadi Kembali Pada Pemilu 2024

JAKARTA – Direktur Eksekutif Lembaga Riset dan Konsultansi Politik ALGORITMA Aditya Perdana menyampaikan bahwa ekpektasi publik akan terselenggaranya Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 serentak dapat dilaksanakan dengan baik terlihat sangat tinggi. Data dan analisa tersebut disampaikan pada Seri Webinar ALGORITMA Research and Consulting dengan judul “Apa Kata Pemilih tentang Pemilu 2024?” yang merupakan bagian dari rilis hasil survei nasional yang telah dilakukan oleh ALGORITMA.

“Dalam survei yang kami lakukan terekam hingga 76,5% responden yang menyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum baik pusat maupun daerah akan mampu melaksanakan keseluruhan tahapan Pemilu Serentak tahun 2024 dengan baik. Hanya 18,7% responden yang tidak yakin serta 4,9% yang tidak menjawab atau tidak tahu,” terang Aditya.

Survei ALGORITMA ini dilakukan terhadap 1.206 responden di seluruh Indonesia mewakili pendapat pemilih secara nasional. Margin of error diperkirakan +/- 3% pada tingkat kepercayaan 95%. Pengumpulan data dilakukan pada 23 Juli s/d 05 Agustus 2022, melalui wawancara telepon menggunakan kuesioner.

Menurut Aditya ekpekstasi publik yang positif kepada KPU perlu dijaga dengan kerja yang baik mengacu pada peraturan yang ada dengan menjaga level independensi dan netralitas. Hal tersebut menurutnya berlaku tidak hanya untuk KPU saja, namun juga pada semua penyelenggara pemilu baik KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

“Keyakinan yang tinggi ini merupakan modal awal yang baik, karena dalam survei kami juga menemukan bahwa publik memiliki kekhawatiran yang tinggi terhadap beberapa hal yang bisa mengganggu tahapan pelaksanaan maupun substansi dari pelaksanaan Pemilu Serentak 2024. Beberapa hal tersebut seperti 92,6% responden khawatir dengan masalah hoax atau disinformasi akan mewarnai Pemilu Serentak 2024. Lalu 91,1% khawatir dengan masalah kampanye hitam, 89,9% juga khawatir dengan praktkik politik uang, serta 89,5% khawatir dengan pemanfaatan isu suku, ras, agama dan antar golongan atau SARA,” terang Aditya.

Komisioner KPU Idham Kholik yang turut serta menyampaikan paparan serta tanggapan pada diskusi tersebut menyampaikan apresiasinya pada survei yang dilakukan oleh ALGORITMA. Menurut Idham survei yang dilakukan ALGORITMA ini menjadi masukan besar sekaligus sumber motivasi bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu.

“Sangat menarik melihat sampai 76,5% responden yang merasa yakin terhadap performa KPU dalam melaksanakan berbagai tahapan Pemilu Serentak 2024. Kami berterimakasih pada ALGORITMA yang secara objektif merekam opini publik,” ujar Idham.

Idham yang menyatakan bahwa keyakinan publik yang tinggi akan menjadi pemicu sekaligus sumber motivasi bagi seluruh jajaran KPU untuk bekerja dengan baik menjaga gelaran Pemilu Serentak 2024. Mantan Komisioner KPUD Bekasi dan KPUD Jawa Barat ini juga menggarisbawahi pentingnya mendorong tingkat partisipasi politik dari publik maupun para peserta pemilu ke level yang lebih tinggi.

“Partisipasi politik itu bukan hanya saat ballot casting atau pada tahapan pemberian suara pada hari pemilu, tapi yang menjadi indikator demokrasi yang baik adalah bagaimana partisipasi rakyat dalam tiap tahapan pemilu,” terang Idham.

Idham menerangkan bahwa partisipasi itu dimulai dari fase pendaftaran para peserta pemilu hingga penetapan hasil pemilu. Dalam konteks itu menurutnya sudah saatnya semua pihak baik para penyelenggara pemilu yaitu KPU, Bawaslu dan DKPP serta para kandidat dan partai politik peserta pemilu berkomitmen dalam menjaga integritas elektoral.

Hasil Survei ALGORITMA soal kekhawatiran mereka pada Pemilu 2024. (gambar: istimewa)

Direktur Eksekutif Netfid Indonesia Dahliah Umar juga memberikan apreasiasi terhadap hasil Survei Algoritma. Menurutnya beberapa temuan ALGORITMA mengenai hal-hal oleh publik dikhawatirkan akan mengganggu tahapan pemilu perlu menjadi perhatian semua pihak. Menurutnya temuan survei ALGORITME ini senada dengan berbagai penilitian terkait sektor kepemiluan di Indonesia.

“Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dan juga muncul dalam survei ALGORITMA ini. Yaitu; melemahnya kaderisasi dalam partai politik, politik uang, polarisasi dukungan dalam dua kali pemilihan presiden terdahulu, pemenuhan hak dalam memperoleh akses pemberitaan yang faktual dan berimbang serta beberapa isu lain,” terang Dahliah.

Secara khusus Dahliah mewanti-wanti jika berkaca pada dua Pilpres terdahulu, kemungkinan besar polarisasi politik akan menguat jika hanya ada dua pasang calon presiden-wakil presiden pada Pemilu 2024.

“Kalau hanya ada dua pasang calon situasinya selalu kemudian cara mengenalkan dan mendiferensiasi calon selama ini lebih mengarah ke politik identitas. Itulah yang akhirnya akan menciptakan polarisasi politik,” ungkap Dahliah.

Dahliah juga berpesan pada KPU ada beberapa fase pelaksanaan pemilu yang berpotensi menjadi ruang meluasnya disinformasi atau berita bohong (hoax). Salah satunya adalah fase penghitungan faktual hasil pemilu.

“Penghitungan faktual yang relatif terlalu lama akan memberi ruang pada individu atau kelompok yang tidak bertanggung jawab memunculkan informasi-informasi hoax. Seperti pada Pemilu 2019 karena penghitungan faktual relatif lama, saat itu banyak beredar foto-foto plano rekap suara yang kebenarannya tak bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga saat KPU mengeluarkan hasil penghitungan faktual, masyarakat sudah terlanjur mempercayai berbagai foto-foto tersebut,” tambah Dahliah.

Kemungkinan terjadinya politisasi agama juga menjadi perhatian Dahliah. Menariknya Dahliah mengungkapkan bahwa politisasi agama bukanlah jaminan pelakunya mendapatkan kemenangan elektoral. Karena menurutnya dalam beberapa kali pemilu terbukti kelompok atau calon yang mempolitisasi agama cukup banyak juga yang kalah.

“Jadi partai juga perlu pikir-pikir ulang kalau main politisasi agama. Lebih baik perhatiannya diberikan ke sektor yang perlu digarap serius dan suaranya juga sangat potensial yaitu sektor pemilih muda. Anak muda sebagai segmen politik perlu secara khusus dipahami oleh partai politik dan peserta pemilu pada umumnya. Berdasarkan pengalaman, partisipasi anak muda ini memberikan pengaruh besar dalam mewarnai hasil pemilu,” jelas Dahliah.

(bm/bti)

RELATED ARTICLES

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular