Friday, March 29, 2024
HomeGagasanPost-Truth: Bahasa, Kebohongan dan Politik

Post-Truth: Bahasa, Kebohongan dan Politik

picture: istimewa

 

Ini catatan belajar saya yang bukan ahli komunikasi (hanya pernah jadi wartawan beberapa tahun, itu pun sudah sangat lama berlalu), mengenai post-truth dan elemen paling dasar dari post-truth, yakni bohong dan kebohongan. Pertama, mari diakui bahwa bohong sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam cara kita berkomunikasi dengan orang lain. Izin tidak masuk sekolah atau kuliah karena sakit padahal belum buat PR. Atau orangtua yang bilang ke anaknya bahwa toko mainan masih tutup padahal sudah buka. Atau mengiyakan ajakan untuk bertemu teman padahal tidak niat (sekadar tak enak menolak) dan pada waktunya cari-cari alasan untuk mangkir. Atau mengatakan “Bagus artikelmu” padahal sesungguhnya hambar atau malah belum baca.

Meski baru dinobatkan sebagai Word of the Year 2016 oleh Oxford Dictionary, istilah post-truth sesungguhnya memiliki akar yang panjang dalam sejarah. Istilah post-truth sudah digunakan sejak tahun 1992 untuk menganalisis skandal Watergate, Iran Contra, dan fenomena perekaman pembicaraan oleh lawan-lawan politik. Post-truth diterjemahkan oleh Oxford Dictionary sebagai “Kata sifat yang berkaitan dengan, atau menunjukkan keadaan, di mana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding tarikan emosi dan kepercayaan pribadi.”

Lebih mundur lagi, filsuf politik Hannah Arendt sudah menggunakan istilah defactualization (defaktualisasi) untuk menjelaskan ketidakmampuan membedakan antara fakta dengan fiksi, dalam esainya “Lying in Politics” (1972). Dalam esai tersebut Hannah Arendt berbicara penipuan politik menyeluruh yang diungkapkan dengan bocornya The Pentagon Papers pada tahun 1971. Ia membedakan antara defaktualisasi dari kepalsuan yang disengaja dan kebohongan. Istilah defaktualisasi inilah yang sangat dekat dengan pemahaman kita tentang post-truth hari ini.

Lengkapnya, sebagaimana dikutip dari Wikipedia, defaktualisasi adalah “Kepalsuan yang disengaja berkaitan dengan fakta-fakta yang tidak pasti; yaitu, dengan hal-hal yang tidak membawa kebenaran yang melekat dalam dirinya sendiri, tidak ada keharusan untuk menjadi sebagaimana adanya (to be as they are). Kebenaran faktual tidak pernah benar-benar meyakinkan. Sejarawan tahu betapa rapuhnya seluruh penampakan fakta yang sehari-hari kita hadapi; fakta selalu berisiko diruntuhkan oleh kebohongan tunggal, dicabik-cabik oleh kebohongan yang diorganisir oleh kelompok, bangsa, atau kelas-kelas tertentu, ditolak dan didistorsi, atau secara cermat ditutupi oleh kepalsuan, atau hanya dibiarkan begitu saja sampai akhirnya terlupakan.”

Jika sebagai fenomena, post-truth sudah dikenal sejak hampir setengah abad, lalu di mana letak kebaruannya sekarang? Pertama, post-truth kian berkembang pesat di masyarakat berkelimpahan informasi yang tidak puas terhadap situasi politik. Jika dulu sensor adalah pembatasan informasi, maka “jaman now” sensor adalah menggelontorkan sebanyak mungkin informasi sehingga orang bingung mana yang benar dan mana yang salah. Tidak tahu bagaimana menafsirkan realitas. Dan ini bahayanya post-truth. Media sosial dan teknologi digital menjadi alat yang andal dalam hal ini. Akibat banjir informasi, orang tak sempat lagi mengembangkan pemikiran kritis terhadap situasi politik, misalnya.

Kedua, post-truth dibentuk oleh iklim politik yang dipengaruhi oleh hasrat kekuasaan dan emosi, yang lebih diutamakan dibanding fakta. Yang penting adalah keyakinan dan ideologi. Kebenaran tidak dibantah, tetapi dinomorduakan. Dalam sebuah kuliah di UGM tahun 2017, RM Haryatmoko SJ mencontohkan, ketika Presiden Trump mengatakan ingin membangun tembok sepanjang 3200 km untuk membendung imigran dari selatan, tidak penting apakah inisiatif tersebut mampu-laksana atau tidak. Yang penting pernyataan itu memuaskan emosi warga AS yang tidak suka pada imigran, dan Trump mendulang dukungan dari masyarakat yang sependapat dengannya perihal imigran. Dan ini yang ketiga: demi kekuasaan prasangka diintensifkan.

Tetapi dari awal kita perlu mengingat bahwa post-truth bukan dominasi politik dan politisi saja. Dunia digital berdampak semua orang dengan akses internet bisa bicara apa saja, mengunggah apa saja, ke laman media sosialnya. Photoshop dan mashup (memotong dan menggabungkan beberapa bagian video, audio, untuk menjadi satu materi utuh – biasanya wujudnya interface — yang bisa jadi pesannya berbeda sama sekali dengan bahan-bahan aslinya), meme, lebih banyak dibuat oleh orang biasa seperti kita ini.
Di ranah laring, post-truth sangat dekat dengan pelintiran kebencian (hate spin). Kita ingat kasus pembakaran kelenteng dan vihara di Tanjung Balai, Sumatera Utara, tahun 2016. Peristiwa ini bermula dari “rasan-rasan” di warung tentang suara adzan yang terlalu keras, berujung pada kerusuhan besar dan akhirnya pemenjaraan Meilina, perempuan yang mengeluh tersebut, karena didakwa melanggar Pasal 156 KUHP tentang penodaan agama. Masyarakat berperan besar dalam peristiwa ini.

Ketiga, seperti dikatakan Ralph Keyes dalam bukunya The Post Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (terbit 2004), kalau dulu kebohongan dibicarakan dengan rasa bersalah, cemas, dan mungkin malu, maka sekarang kita gampang sekali menemukan pembenaran bagi kebohongan yang kita buat dan bebas dari rasa bersalah. Dan inilah definisi Keyes tentang istilah post-truth.

Herd Behaviour: Relativisme Kebenaran

Jika keyakinan, ideologi, dan emosi lebih diutamakan, maka kebenaran menjadi relatif. Kriteria kebenaran tidak lagi dipedulikan. Macam-macam kebenaran dikesampingkan dan asumsi kebenaran diabaikan. Fakta obyektif kalah dibanding emosi dalam membangun opini publik, dan narasi mengalahkan fakta. Ini yang terjadi selama masa Pilpres 2019 dan Pilkada DKI 2017.

Ketika dukungan dan opini publik diupayakan melalui intensifikasi emosi dan prasangka, maka yang terjadi adalah banalisasi kebohongan. Bohong menjadi hal biasa, hanya masalah pemilihan kata. Tidak ada lagi arti tanggungjawab moral. Mengutip Romo Haryatmoko, Trump diketahui pernah 69 kali berbohong dalam waktu setengah jam, bisa jadi tanpa sadar. Repetisi dan dramatisasi pesan adalah kunci. Repetisi membuat pembohong percaya pada kebohongannya. “Yang penting saya yakin” (percaya diri). Yang mendengar percaya, yang menipu pun percaya bahwa itu benar.

Dengan kata lain, post-truth sebagai praktik dianggap keren karena mempertanyakan dominasi kebenaran. Data valid justru dipakai untuk menyerang balik. Seolah-olah kritis namun sebenarnya menggiring orang-orang yang seideologi ke dalam ruang gema (echo chamber) yang sama. Dan, seperti telah disebutkan, keberlimpahan informasi, tidak membuat daya kritis bertambah. Hanya kebingungan yang makin menjadi-jadi. Ini yang disinyalir Romo Haryatmoko bahwa post-truth memicu perilaku kawanan (herd behaviour): saya melakukannya karena orang lain juga melakukannya.

Dari perspektif psikologi, nilai moral dan etika di era post-truth juga dipengaruhi oleh perilaku kawanan ini karena, antara lain, memberi dan meneguhkan identitas. Akibatnya, pembelaan terhadap kebohongan bertambah sophisticated dengan argumen-argumen bernuansa agama yang sulit dilawan oleh “orang awam.” Dalam situasi seperti itu post-truth menjadi ancaman karena ia membangkitkan tribalisme (dalam politik Islam dikenal istilah ashobiyah) model baru, kekerasan, ketegangan, nafsu marah dan permusuhan. Media sosial dan jurnalisme warga menjadi sarana pengungkap kebencian di satu sisi, dan menyingkirkan yang berbeda serta hanya mendengarkan yang sealiran di sisi lain. Intoleransi pun menajam. Mereka yang berpendidikan tinggi, asal mereka memegang atau berafliasi pada ideologi tertentu, akan mudah ditipu dan terpengaruh. Pertanyaannya, kenapa kebohongan memikat? Masih menurut filsuf Hannah Arendt, “Karena yang digunakan (dimanipulasi) adalah logika dan harapan yang dibohongi.” Akibatnya kita tidak lagi sensitif terhadap dampak kebohongan.

Monitory Democracy

Bahasa adalah alat utama dalam memahami post-truth dan kebohongan. Menurut Ralpf Keyes, di era post-truth kategori benar atau bohong yang jernih dan distingtif tidak lagi mencukupi. Kita membutuhkan kategori ketiga berupa pernyataan-pernyataan yang ambigu, tidak sepenuhnya benar tetapi juga tidak dapat disebut bohong. Pernyataan yang batasan benar-salahnya kabur karena di era post-truth urusan tipu-tipu menjadi lebih menantang selain semakin menjadi kebiasaan dan perilaku sehari-hari. Ketika seorang pejabat mengatakan “Ini adalah problem sistem, yaitu sistem digital yang tidak smart … ini sistem digital tetapi masih mengandalkan manual (pengecekannya),” orang tahu bahwa pernyataan itu ada benarnya, tapi tidak berhubungan dengan problem mark-up anggaran yang ditemukan oleh politisi lawan. Seperti jawaban B dalam pilihan ganda di sekolah. Yang terjadi adalah pengaburan. Nyelamur, dalam istilah Jawa yang saya kenal.

Dalam hidup sehari-hari kita juga kerap melakukan “kebohongan putih”, seperti dikutipkan cotohnya di awal. Kalau ditanya alasannya, hampir pasti jawabannya klise: tidak ingin menyakiti hati lawan bicara. Dan seperti dikutipkan oleh Ralph Keyes, “berbohong bukan hanya makin dimungkinkan, tetapi makin diinginkan.” Kita makin terampil dan makin rutin, dalam berbohong. Mengapa demikian, karena kebohongan tidak diganjar sanksi. Malah sebaliknya. Kejujuran lempang model Ahok “menghadiahi” penjara, sementara koruptor atau pelaku video porno (tak usah disebutkanlah) yang jelas tidak jujur diterima kembali oleh masyarakat dengan tangan terbuka.

Dalam berbahasa, kebohongan di era post-truth juga mengalami eufemisme. Keyes memberikan definisi baru mengenai bohong (lies) dan berbohong (to lie) yang menunjukkan betapa kebohongan makin didekatkan dengan kebohongan.

Lies:
Poetic truth
Parallel truth
Nuanced truth
Imaginative truth
Virtual truth
Alternative reality
Strategic misrepresentations
Creative enhancement
Non-full disclosure
Augmented reality (realitas berimbuh)
Nearly true
Almost true
Counterfactual statements
Fact-based information

To Lie:
Enrich the truth
Enhance the truth
Embroider the truth
Massage the truth
Tamper with the truth
Tell more than the truth
Bend the truth
Soften the truth
Shade the truth
Shave the truth
Stretch the truth
Stray from the truth
Withhold the truth
Tell the truth improved

Instrumen terpenting dalam post-truth adalah bahasa. Dengan bahasa –baik diucapkan atau tidak– kekuasaan diraih dan dipertahankan. Melalui bahasa konstituen dimanipulasi dan emosi mereka dijaga di level yang menguntungkan penguasa, sementara lawan politik atau non-pendukung didiskriminasi dan distigma. Karena itu bahasa adalah pilihan ideologis. Ia tidak pernah netral.

Tetapi apakah lawan dari post-truth adalah “truth” atau kebenaran? Tampaknya tidak (cukup) demikian, karena istilah post-truth sendiri juga terlalu rumit untuk didefinisikan secara tunggal. Jadi lawan katanya juga demikian. Post-truth adalah istilah “salmagundi” (campuran macam-macam penjelasan yang saling berhubungan satu sama lain) yang membutuhkan lawan kata dengan elemen yang sama banyaknya. Post-truth bisa berupa (1) kebohongan konvensional (yang tujuannya membentuk impresi tertentu dari pengutaranya), (2) bertujuan agar pendengar mengambil kesimpulan tertentu yang diinginkan si pembicara, (3) “kembang-kembang”, lucu-lucuan, pelesetan, yang dikatakan oleh seseorang tapi sebenarnya bertujuan untuk mendistraksi pendengar dari topik inti yang sedang dibahas. Ada artikel bagus, https://theconversation.com/post-truth-politics-and-why-the-antidote-isnt-simply-fact-checking-and-truth-87364, yang saya ingin menyarankan teman-teman untuk membacanya, jika belum.

Dalam kuliahnya di UGM yang sudah saya sebut sebelumnya, Romo Haryatmoko mengatakan bahwa lawan dari post-truth adalah cek fakta. Jika post-truth diterjemahkan sebagai kebohongan atau bullshit, cek fakta memang jawabannya. Masalahnya, selain definisi yang “salmagundi”, ketika saya coba lihat cek fakta yang mulai banyak dilakukan media massa kita, pertanyaan saya justru: kebenaran fakta menurut siapa? Memang sudah banyak aplikasi dan piranti lunak yang membantu orang melakukan pengecekan. Masalahnya, the man behind the facts itu juga penting. Ini contoh relativisme kebenaran seperti yang disinggung sebelumnya.

Kedua, kebenaran juga berbeda dan berubah, tergantung ruang dan waktu. Ilmu antropologi dan kedokteran menyajikan contoh melimpah mengenai kebenaran relatif terhadap ruang dan waktu ini. Vitamin E, misalnya, bagus untuk pertumbuhan tulang dan kulit mereka yang sehat, tetapi kini diketahui buruk untuk pasien kanker paru.

Profesor dari Australia, John Keane, dalam artikel dari yang sudah dikutipkan sebelumnya, “Post-truth politics and why the antidote isn’t simply ‘fact-checking’ and truth”, menggunakan istilah monitory democracy yang kurang lebih berarti tahapan demokrasi yang ditandai dengan berjalannya instrumen monitoring oleh publik untuk mengawasi bagaimana kekuasaan dijalankan. Monitory democracy membutuhkan kedewasaan masyarakat dan media, karena mensyaratkan dibukanya ruang bagi tumbuhnya ketidakpastian, keraguan, skeptisisme, ironi, kerendahan hati untuk menerima pendapat orang lain mungkin mengandung kebenaran, bahwa kebenaran memiliki banyak wajah, bahwa realitas tidak tunggal, dan bahwa kekuasaan tidak mutlak.  (Bersambung)

 

NURUL AGUSTINA

Alumnus AMMA (Amsterdam Master in Medical Anthropology) Universiteit van Amsterdam, Belanda

RELATED ARTICLES

Most Popular