Hampir setiap politikus ingin agar dirinya dikenal sebagai Good Cop. Tapi Tom Ashley tidak.
Istilah Good Cop dan Bad Cop berasal dari teknik interogasi. Dua petugas mengambil posisi berseberangan. Yang satu berperan sebagai penekan untuk menjatuhkan mental. Sedang yang satu sebaliknya. Pendeknya, Good Cop adalah “Sang Polisi Baik”. Sementara Bad Cop adalah “Polisi Jahat”.
Sebagai Deputy Secretary General di Partai Buruh, Tom, 39 tahun, ikhlas namanya “cemar” di mata para kader. Dijuluki Hippo — ‘Si Kuda Nil’ saking tambun tubuhnya — Tom sadar betul bahwa dirinya diharamkan melebihi kecemerlangan Bob Mitchell, atasannya.
Di Partai Buruh ia dikenal sebagai killer. Setiap kader yang pernah mengikuti pelatihan niscaya tak akan melupakan tangan besi Tom.
Syahdan, pada sebuah acara pelatihan, Tom menjatuhkan sanksi serius. Seluruh peserta yang jumlahnya ratusan itu harus berlari memutari kompleks seluas dua lapangan bola. Hukuman itu ia jatuhkan karena tak satu kader pun mengaku bersalah atas kacaunya simulasi sidang. Pengusutan dilakukan untuk menemukan biang keroknya. Tak membuahkan hasil. Akhirnya, Tom menjatuhkan vonis massal itu.
Merasa keberatan, serentak ratusan kader itu melakukan protes.
Dengan bengis Tom berusaha meredam gejolak itu. Namun mereka tetap merangsek maju. Ujung-ujungnya, mereka minta keadilan kepada Bob Mitchell, atasan Tom, yang dianggap bisa menghakimi secara fair.
Berbeda dengan Tom Ashley, Bob Mitchell bukan hanya tak pernah terlihat merengut. Ia juga tampan. Senyumnya selalu merekah di ujung setiap kalimat. Banyak wanita mengaku bahwa Bob adalah alasan mereka mencoblos partainya, bukan visi misinya yang berbunga-bunga itu.
Para kader tak menyangka bahwa begitu gampang minta keadilan kepada Sekjen Partai ini. Alih-alih menyalahkan, Bob justru bangga karena para kader berani menyatakan sikap. Dan yang luar biasa, justru Tom-lah yang dijatuhi sanksi oleh Bob: dua puluh lima kali push-up yang sangat menyakitkan bagi seonggok daging seberat 76 ponds!
Bagaimana dengan Tom Ashley? Kecewakah ia lantaran bosnya menghukumnya? Sama sekali tidak!
Di dalam kamar seusai masa pelatihan, Bob menepuk pundak wakilnya dengan hangat.
“Good job!” pujinya.
Untuk Deputy andalannya itu, Bob Mitchell menyeduhkan dengan tangannya sendiri secangkir Capuccino. Tom menyambutnya dengan khidmat. Berdua mereka mereguk sukses sembari mendengarkan chorusnya Queen, “We Are The Champion, My Friend...”
Tom Ashley tak pernah menyesali nasibnya sebagai Bad Cop, dan tak pernah mencemburui posisi Bob Mitchell, atasannya, sebagai Good Cop. Tom bahkan rela menjadi martir dengan dikenal sebagai “Si Jahat” agar Bob melenggang bak burung merak sebagai “Si Baik”.
Alasan apa sesungguhnya yang melatarbelakangi Tom sehingga mau menyandang peran buruk itu? Loyalitas? Bukan semata itu, Bung!
Tom tahu betul bahwa Bob Mitchell meniti karirnya dari bawah. Ia seorang pekerja partai yang basah oleh keringat. Bukan tipikal politisi yang berselancar di atas gulungan ombak ciptaannya sendiri. Bukan tukang adu domba yang mereguk lezatnya madu dari huru-hara internal.
Tom Ashley kagum. Ia bersumpah akan mendukung atasannya itu agar bisa meraih karier tertinggi di partai.
Apa imbal balik yang diperoleh Tom atas kesetiaannya itu?
Menjelang libur musim panas tahun lalu, tiba-tiba Bob memanggil Deputy-nya itu ke ruang kerjanya.
“Saya mendengar info,” Bob membuka percakapan. “bahwa you mengincar jabatan ini.” Bob menunjuk kursi yang tengah didudukinya.
“Sorry, Chief,” sergah Tom gugup “dari siapa Anda mendengar fitnah itu?” ia merasa bagai terpidana terorisme yang duduk di kursi listrik menjelang eksekusi.
Dengan gerakan anggun Bob Mitchell berdiri. Berjalan perlahan sambil menyalakan cerutunya.
“Take it easy, Tom!” Bob menepuk pundaknya.
Sedetik Tom merasa tenteram. Tapi, kalimat lanjutannya membuat jantungnya kembali berguncang. “Saya berharap bahwa info itu benar,” tandas Bob menuding.
“Chief… saya…” terbata-bata Tom memohon.
Tapi Bob malah membuat isyarat dengan telunjuk ke bibirnya. Sekjen partai itu berjalan memutar dan berhenti persis di belakang kursinya.
“Saya yakin bahwa you desperate ingin menggantikan posisi saya sebagai Sekjen”.
Hidung Tom membaui wangi rempah yang memancar dari jas Bob Mitchell. Tapi, persetan dengan aroma Armani itu! Inikah Armageddon, hari akhir karier politiknya?
Tiba-tiba secepat kilat posisi Bob bergeser merunduk ke hadapannya. “Saya bangga sama you!” sorot mata kharismatik itu menghunjam ke dalam bola mata Tom. Tubuh Kuda Nil itu gemetar ketika tangan Bob menjulur membetulkan dasinya.
“You harus punya mimpi suatu saat menggantikanku sebagai Sekjen Partai” ia menonjok lengan Bob. Tonjokan sayang. “Mereka yang loyal berhak untuk itu!”.
Tom merasa hampir semaput. Bukan oleh pukulan di lengannya, melainkan oleh kalimat terakhir politisi idolanya itu.
Sejak awal pembicaraan tadi, ia pasrah menerima sanksi apapun atas kelancangan mengincar kursi empuk bosnya. Tapi, ternyata, malah pujian yang didapatnya.
Seorang Bad Cop tak ditakdirkan selalu bernasib buruk. Ia juga berhak atas nasib baik.
Apalagi Bad Cop yang good.
—–
*Untuk para sahabat politisi. Adakah suasana seperti itu di partai Anda?
JOKO SANTOSO HANDIPANINGRAT
Penulis dan Alumnus DPR RI 2004-2009