Pada tulisan saya berjudul “#GantiPresiden Sudah Benar Itu!” saya coba paparkan kegagalan Joko Widodo (Jokowi) dalam membangun kesejahteraan rakyat Indonesia. Indikatornya, antara lain jebloknya prestasi di bidang pengentasan kemiskinan (rakyat makin miskin), ketimpangan yang ekstrim dan pembangunan indeks manusia (IPM) yang justru merosot.
Dari sisi makro, kegagalan Jokowi juga ditandai dengan meroketnya utang luar negeri. Pada Oktober 2014 utang Pemerintah berjumlah Rp 2.608 triliun. Lalu membengkak jadi Rp 4.253 triliun pada Juli 2018. Artinya, ada kenaikan Rp 1.645 triliun atau 63%. Sebaliknya, pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada periode yang sama hanya naik sekitar 32%. Dengan kata lain, utang pemerintah melonjak hampir 2 kali lipat dibandingkan peningkatan PDB. Angka ini juga jauh melampaui kenaikan pendapatan pajak dan pertumbuhan PDB. Yang membuat miris, para menteri ekonomi bagai tidak peduli, bahwa utang ribuan triliun tadi menjadi beban rakyat hari ini dan anak cucunya di masa depan.
Bukti lain kegagalan Jokowi adalah, dalam empat tahun kekuasaannya, Jokowi ‘sukses’ membawa Indonesia menjadi salah satu negara paling oligarkis. Jeffrey Winters (2017) dan Arif Budimanta (2018) menyebut, setiap 1 dari 40 orang terkaya memiliki aset 584.478 kali lipat dari rata-rata pendapatan per orang. Mereka bukan cuma memonopoli penguasaan aset ekonomi, tapi juga merambah struktur politik di pelbagai tingkat, baik di eksekutif maupun legislatif. Akibiatnya, korupsi merajalela dan ketimpangan semakin parah.
Pada tulisan kedua kali ini, pembahasan akan ditekankan pada utang yang jumlahnya sudah amat mengkhawatirkan. Para ekonom yang masih punya nurani sudah lama berteriak utang Indonesia sudah memasuki fase berbahaya. Rizal Ramli, ekonom senior yang juga Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, setidaknya sejak setahun silam menyatakan utang Indonesia sudah lampu kuning.
Kendati demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani selalu abai dengan berbagai peringatan itu. Dia bahkan berkali-kali mengklaim utang Indonesia masih aman karena rasionya masih jauh dari 60% PDB. Dengan enteng, dia juga menyatakan mampu mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan prudent.
Padahal sepanjang periode 2014-2017, rasio utang luar negeri terhadap PDB mengalami tren naik. Pada 2014, rasionya 32,95% dan menjadi 34,79% pada 2017. Bahkan pada 2015, angkanya melonjak jadi 36,09%.
Pemerintah selalu saja menjadikan rasio utang dengan PDB sebagai dalih bahwa negeri ini baik-baik saja. Undang-Undanf (UU) Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 memang memberi batas maksimal rasio utang dan PDB sebesar 60%. Jadi, kalau hari ini rasionya masih di kisaran 30%, wajar jika Pemerintah merasa masih aman.
Tanggung Utang Rp 20 Juta/Orang
Buat negeri yang pengelolaan ekonominya berada di tangan orang-orang yang tidak kompeten, meledaknya utang luar negeri ini sungguh amat mengkhawatirkan. Faktanya, kapasitas dan kapabilitas menteri-menteri ekonomi Jokowi dibawah banderol. Ditambah dengan madzhab neolib yang jadi ideologi mereka, maka masa dengan Indonesia benar-benar berada di tubir kehancuran.
Batasan rasio utang terhadap PDB yang 60% itu benar-benar menjadi area super lega bagi Pemerintah untuk bermanuver menangguk utang, lagi dan lagi. Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia (BI) pada Desemnber 2018, menyebut jumlah utang luar negeri (ULN) kita sampai akhir Oktober 2018 tercatat US$ 360,5. Dengan kurs BI hari ini (Rabu, 2/1) yang Rp 14.465, total utang itu setara dengan Rp 5.215 triliun.
Rp 5.215 triliun tentu bukan angka yang kecil. Ini adalah jumlah yang teramat besar. Dengan populasi penduduk yang sekitar 260 jiwa, maka tiap Warga Negara Indonesia (WNI) menanggung utang tidak kurang dari 20 juta!
Padahal, ada nisbah lain yang lebih masuk akal guna mengerem nafsu berutang yang tak terkendali. Ekonom Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) sepakat menggunakan debt to service ratio (DSR) sebagai patokan mereka dalam menangani pengelolaan beban utang di negara-negara berkembang.
DSR mencerminkan kemampuan suatu negara untuk menyelesaikan kewajibannya dalam membayar utang luar negeri. Rasio ini membandingkan beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dengan jumlah penerimaan ekspor. Kian besarnya DSR menunjukkan utang tidak dikelola secara hati-hati. Serunya lagi, Sri justru bolak-balik mengklaim utang dikelola secara prudent.
Para ekonom Bank Dunia dan IMF membuat tiga kategori batasan rasio utang dan DSR. Pertama, batas atas beban utang untuk DSR sebesar 25% untuk negara dengan kebijakan yang kuat. Kedua, DSR 20% untuk negara dengan kebijakan menengah. Ketiga, DSR 15% untuk negara dengan kebijakan lemah.
Pembayaran bunga dan cicilan pokok utang pada APBN kita cenderung naik dari tahun ke tahun. Ditambah adanya risiko eksternal berupa kebijakan moneter negara-negara maju plus pengelolaan ULN Indonesia yang belum optimal, diperkirakan bakal bisa mendongkrak angka DSR jadi 35%-38%. Tentu saja, angka ini telah melampaui batas maksimal DSR yang ditetapkan IMF sebesar 25%. Artinya, utang sudah lampu merah.
Bila indikator DSR belum masuk dalam perundangan Indonesia, seharusnya sudah mulai dipertimbangkan untuk dimasukkan. Agak mengherankan, bagaimana mungkin Sri yang pernah menjadi petinggi di IMF dan Bank Dunia terus saja mengabaikan perkara DSR ini. Sampeyan bisa jelaskan, Sri?
Tapi dasar Sri pejuang neolib yang gigih, dia malah sudah ancang-ancang bakal membuat utang lagi untuk tahun ini. Rencananya, Sri bakal menerbitkan Surat Berharga Negara ( SBN) sebesar Rp 826 triliun untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN 2019. Ini namanya gali lubang tutup empang. Ampun, deh!
‘Loan to Owned’
Dalam perkara utang, Rizal Ramli berpendapat pinjam-meminjam dalam bisnis hal biasa sekali. Untuk berkembang memang perlu mengoptimalkan leverage. Tapi, lanjut pria yang akrab disapa RR ini, jika negara meminjam dari lembaga multilateral (IMF dan Bank Dunia) dengan banyak syarat tentu harus diwaspadai. Pasalnya, pengalaman menunjukkan berbagai persyaratan tadi ternyata sarat jebakan-jebakan neoliberalisme. Bahkan belakangan ada juga pinjaman antarnegara yang dirancang sebagai “loan-to-owned”. Caranya, di-mark up agar macet sehingga dalam jangka panjang bisa dimiliki/dikuasai.
Yang paling bagus, saran Menteri Keuangan era Gus Dur ini, tentu meningkatkan pembiayaan dalam negeri, termasuk dengan menaikkan tax ratio. Itulah yang dilakukan Jepang dan China. Kebangkitan ekonomi keduanya dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan domestik.
“Maka, mulailah dengan melahirkan kebijakan-kebijakan terobosan. Kebijakan kreatif, out the box, cepat dan tepat. Selanjutnya, finance will follow,” tukas RR.
Apa boleh buat, rekam jejak tim ekonomi Jokowi memang telah gagal. Indikatornya, tax ratio mandeg di 10,5%. Memang, penerimaan APBN seolah-olah tercapai. Tapi itu terjadi karena asumsi yang dibuat sengaja rendah, seperti harga minyak mentah dan lainnya.
Rizal Ramli sudah lama mengkritisi model permbangunan berlandaskan utang. Cara seperti ini tidak akan pernah membuat Indonesia tumbuh tinggi seperti Jepang dan China yang pernah di atas 10%. Selama Indonesia menerapkan neoliberalisme dan mengandalkan utang, begitu tumbuh di atas 6,5% pasti terjadi overheating. Akibatnya, utang harus dikurangi. Utang telah menjadi automatic brake untuk mengerem pertumbuhan ekonomi sehingga tidak bisa terlalu tinggi.
“Jika Indonesia ingin tumbuh double-digit, jadi negara kuat dan hebat, segera tinggalkan model pembangunan ekonomi neoliberal ala Bank Dunia. Tidak ada negara yang berhasil mengikuti model Bank Dunia. Tidak di Amerika Latin, tidak di Asia apalagi di Afrika,” ujarnya.
Dengan rekam jejak amburadul begini kok Jokowi minta dua periode. Apa ga kasihan rakyat? Sadar, eling… !!!
JAKARTA, 2 Januari 2019
EDY MULYADI
Wartawan Senior