JAKARTA – Pro dan kontra terkait mega proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang pada 21 Januari 2016 lalu telah dilakukan groundbreaking oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) makin meluas. Setelah di kalangan internal kabinet terjadi perbedaan sikap makin banyak pakar dan pengamat yang menilai perlunya kehati-hatian terhadap proyek yang statusnya makin tak jelas itu.
Pengamat kebencanaan, Rissalwan Habdy Lubis juga memberikan catatan penting mengenai proyek yang dibiayai oleh China tersebut. Menurut pendiri Disaster Renponse and Research Center (DRRC) Universitas Indonesia itu ada sejumlah catatan penting yang perlu menjadi perhatian semua pihak khususnya dari aspek kerentanan lingkungan dan juga sosial budaya.
Rissalwan berpendapat bahwa kondisi topografis dan geografis jalur yang ditentukan untuk jalur kereta cepat tersebut memang berada dalam kawasan yang memiliki kerentanan fisik yang tinggi. Data dari Badan Geologi menyebutkan jalur kereta cepat tersebut memang berada di antara patahan dan juga beberapa episentrum gempa yang terjadi dalam rentang 100 tahun terakhir.
“Ini artinya, pembangunan jalur kereta api cepat tersebut tidak hanya membahayakan pengguna jasa kereta api cepat, tetapi juga bisa menjadi pemicu aktifitas pergerakan tanah yang dapat merugikan masyarak dalam radius tertentu dari jalur kereta cepat tersebut,” ujar Rissalwan dalam keterangan yang diterima redaksi, Minggu (31/1/2016) sore.
Kandidat doktor Universitas Indonesia itu menambahkan, terlepas kontroversi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk proyek tersebut yang menurut sebagian pihak belum tuntas, menurutnya belum ada pula pemetaan dampak sosial (social impact assessment) untuk mengetahui dampak sosial budaya dari pembangunan mega proyek ini.
“Kerentanan masyarakat atas terjadinya perubahan yang cepat (rapid change) akibat proyek ini harusnya tidak diabaikan begitu saja, karena modifikasi bentang alam di sepanjang jalur kereta cepat ini tentunya akan mempengaruhi pola kehidupan masyarakat yang selama ini masih berpola masyarakat pedesaan (rural society),” imbuh Rissalwan.
Dengan adanya sejumlah stasiun baru di kawasan pedesaan seperti Karawang dan Walini, tentunya menjadi “undangan” bagi para investor properti untuk membangun kawasan properti baru di sekitar stasiun tersebut. “Proses ini tentunya akan berpotensi mengakibatkan terjadinya gesekan sosial antara masyarakat setempat dengan para pengembang dan juga para pendatang nantinya, yang perlu diantisipasi dengan baik,” paparnya.
Yang tak kalah pentingnya menurut catatan Rissalwan adalah kerentanan dalam konteks fisik dan sosial budaya di sekitar proyek kereta api cepat tersebut yang mana perlu mendapatkan mitigasi yang tepat. Rissalwan menegaskan bahwa hingga hari ini, belum ada rancangan kajian yang berkelanjutan dan juga sistem pengawasan serta partisipasi publik. Padahal hal tersebut dinilai sebagai hal yang mutlak untuk dilakukan agar dapat memastikan ketenteraman dan keselamatan warga di sekitar lokasi proyek dan tentunya pengguna jasa kereta api cepat nantinya.
“Jangan sampai proyek ini mengorbankan masyarakat nantinya,” tutupnya.
(bti)