Friday, March 29, 2024
HomeGagasanPasca Putusan MK, Bagaimana Nasib Program JKP?

Pasca Putusan MK, Bagaimana Nasib Program JKP?

 

Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, bagi buruh atau pekerja yang melakukan perjanjian kerja dengan pemberi kerja, diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun2020 Tentang Cipta Kerja, pada pasal 182 dan 185 ayat b.

Sebagai tindak lanjutnya dengan cepat, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), dikeluarkan 2 Februari 2021.

Pihak Kemenaker merencanakan akan meluncurkan Program JKP pada tahun 2022, dan jika putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah dan DPR dalam jangka waktu 24 bulan, maka sudah dapat dipastikan program JKP akan gugur dengan sendirinya.

Pada saat ini, Program JKP sangat dibutuhkan oleh pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) karena merosotnya pertumbuhan ekonomi padat karya, karena pandemi Covid-19. Program JKP adalah program yang diharapkan sustein yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan, sebagai katup pengaman bagi mereka terkena PHK dalam jangka waktu tertentu dapat mempertahankan hidup yang layak, sebelum mendapatkan pekerjaan atau masuk lagi bekerja sejalan dengan semakin menggeliatnya dunia usaha.

Dalam Program JKP yang diatur dalam PP 37/2021, sudah mengatur dengan jelas apa yang menjadi kewajiban pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah mengalokasikan 0,22% dari gaji/upah perbulan sebagai bentuk PBI ( Pemberian Bantuan Iuran). Dan 0,24% dari gaji/upah sebulan dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan, yang bersumber dari rekomposisi JKK 0,14% dari upah/gaji sebu;lan, dan JKm 0,10% dari upah/gaji sebulan. Total iuran program JKP 0,46% dari upah/gaji sebulan. Ditanggung secara renteng antara pemerintah pusat dan BPJS ketenagakerjaan.

Kenapa rekomposisi BPJS Ketenagakerjaan, diambil dari JKK dan JKm? Jawabannya adalah dalam rezim UU SJSN, dana JKK dan JKm jika surplus tidak boleh digunakan untuk program Jaminan Sosial lainnya. Selama ini, sisa iurannya setiap tahun surplus, dengan pemberian manfaat bagi peserta cukup baik, Bahkan lebih baik dari yang dikelola PT Taspen untuk ASN.

Sayanganya, dalam PP 37/2021 itu, manfaat JKP yang diberikan kepada mereka itu waktunya relatif singkat, maksimum 6 bulan. Jika lewat 6 bulan, belum dapat pekerjaan, langsung bisa jadi “gepeng”.

Demkian juga halnya, besarnya manfaat uang tunai program JKP, hanya 45% dari gaji/upah terakhir, untuk tiga bulan pertama, dan 25% dari gaji/upah terakhir, untuk 3 bulan berikutnya.

Untuk mensiasati agar tidak langsung jadi “gepeng” Kemenaker melanggengkan Permenaker 19/2015, yang bertentangan dengan UU SJSN. Dalam Permenaker itu, pekerja setelah masa tunggu satu bulan, dapat mengambil JHT nya, yang seharusnya minimal 10 tahun masa iur, dapat diambil sebagian (30%).

Jangan heran, selama pandemi ini, pengambilan dana JHT tren meningkat terus, karena kebutuhan mendesak bagi mereka yang terkena PHK. Di pihak lain, program JKP baru akan diluncurkan tahun 2022.

Apakah setelah keluarnya putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, pemerintah konsisten dan mengalokasikan APBN 2022 untuk JKP? Seharusnya konsisten, karena Keputusan MK memberikan interval waktu 2 tahun.

Tetapi mungkin saja pemerintah ragu untuk meluncurkan program JKP pada tahun 2022 pasca keputusan MK itu, karena terkait Amar Putusan poin 7 yaitu: “Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta.”

Perintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, apakah termasuk didalam nya “mengalokasikan APBN Sektor Ketenagakerjaan 2022, untuk membayar premi program JKP yang menjadi kewajiban Pemerintah Pusat?”

Jika Kemenkeu tidak berani mengalokasikan APBN untuk program JKP, bukan tidak mungkin beban itu dilimpahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Bola panas itu tentu akan menyulitkan lembaga jaminan sosial itu. Dari mana uangnya mau diambil? melakukan Re-Rekomposisi JKK dan JKm? mengambil dana JHT? dana JP? Semuanya itu bisa menjadi jebakan batman yang membawa BPJS Ketenagakerjaan ke ranah hukum, karena menabrak UU SJSN dan UU BPJS.

Kalau tidak dilaksanakan program JKP tersebut, karena pertimbangan Keputusan MK, boleh jadi Kemenaker akan berhadapan dengan buruh, terutama mereka yang terkena PHK dan akan menjadi isu sensi yang semakin menambah meningkatkan suhu konflik sosial dan ekonomi di masyarakat.

Solusinya, pertama; mengikuti langkah keputusan Mahkamah Kompromi. Pembayaran program JKP tetap dilaksanakan, tetapi besarannya hanya 0,24% dari upah/gaji terakhir, yang dananya bersumber dari rekomposisi JKK dan JKm BPJS Ketenagakerjaan dan kedua; mempercepat proses pembahasan perubahan UU SJSN/BPJS yang sudah ada di Baleg DPR, dengan memasukan program JKP dan perubahan pasal-pasal yang diperintahkan Keputusan MK yang terkait kedua UU itu.

Semoga revisi UU Omnibus Law Cipta Kerja berjalan dengan cepat, walaupun bus sarat dengan penumpang untuk mencapai terminal yang diperintahkan MK. Hal itu hanya mungkin terjadi jika kemampuan pemerintah me-remote Ketua-Ketua Partai dan anggota DPR energy nya masih sama seperti menyusun RUU Cipta Kerja. Jika low bat, program JKP juga akan kehilangan signal.

Cibubur, 29 November 2021

 

Dr. CHAZALI H. SITUMORANG

Pemerhati Kebijakan Publik

Dosen FISIP UNAS

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular