Reshuffle (perombakan) kedua Kabinet Kerja akhirnya terjadi juga. Itu semua terjadi pada saat kepercayaan publik tentang jadi tidaknya reshuffle kabinet kedua sudah sampai pada titik jenuh. Reshuffle kali ini betul-betul menjadi paradoks bagi Presiden Jokowi, apakah akan menjadi seperti pemimpin lainnya yang peragu dan selalu lambat mengambil sikap, atau sebaliknya menjadi pemimpin yang penuh percaya diri, bisa cepat dan tepat mengambil keputusan.
Sesuai bakat dan karunia yang saya miliki, saya bisa membaca dan memahami perang batin, pergolakan pemikiran, strategi dan siasat yang dijalankan oleh Presiden Jokowi. Saya akan uraikan disini beberapa aspek penting dan strategis, tapi tetap banyak yang saya simpan karena sangat sensitif, bisa menjadi senjata dan amunisi untuk menyerang Presiden Jokowi dan pemerintahannya. Dalam kehidupan, sudah kodratnya kita selalu dihadapkan pada pilihan. Paradoks saat kita memilih ini terjadi pada semua orang. Bagi saya paradoksnya adalah jika berada dalam pemerintahan, maka saya harus ikut bertanggung jawab memperbaiki semua kekurangan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Jokowi. Sebaliknya jika berada di luar pemerintahan, karena kecintaan saya pada bangsa dan negara ini, mau tidak mau, suka tidak suka, saya akan selalu membantu memberikan kritik konstruktif dengan berbagai alternatif solusinya.
Secara objektif, ada berbagai kelebihan dan kekurangan dari reshuffle kabinet kedua ini. Kelebihannya, umumnya menteri yang diganti memang memiliki ‘kelemahan’ dan ‘kontroversi’ sejak dipercaya menjadi pembantu Presiden Jokowi. Kelemahannya sekaligus menjadi paradoks pilihan Presiden Jokowi adalah karena menteri baru yang menggantikan juga memiliki berbagai ‘kelemahan’ dan ‘kontroversi’ juga. Satu hal yang sudah terbukti, berbahaya sekali jika memilih figur pembantu Presiden dengan tingkat ‘trial and error‘ yang tinggi. Apalagi jika terjebak memilih orang yang salah menjadi menteri. Sebagai contoh kebijakan ‘kunci’ pemerintahan yang sudah diluncurkan di bawah komando Presiden Jokowi yaitu program Tax Amnesty (TA).
Program TA ini dicanangkan dengan target terlalu tinggi dan bahkan cenderung irasional. Bisa Kita bayangkan, target TA adalah dana repatriasi dari luar negeri atau dana yang dideklarasikan dan harus dibawa kembali dan mengendap selama 3 tahun di Indonesia sebanyak 3.500 hingga 4.000 triliun rupiah. Kalkulasi dana TA atau pengampunan pajaknya dengan tarif sebesar 4% sekitar 160 triliun rupiah. Sangat mudah kita pahami bahwa tidak mungkin ada sedemikian besar uang yang menganggur di bank asing di luar negeri milik kumpulan orang Indonesia, karena pasti sangat rugi menyimpan uang sedemikian besar dengan tingkat bunga di luar negeri yang sangat rendah. Filosofi hidup semua orang kaya sudah pasti terbiasa dengan perhitungan cost of fund, value of money dan return of investment. Sudah pasti, tidak mungkin ada dana sebesar itu yang dibiarkan sekedar menganggur atau ‘tidur’ di bank di luar negeri, serta dengan gampangnya dibawa ‘terbang’ kembali ke Indonesia. Sementara itu, target TA dari dalam negeri menjadi lebih tidak masuk akal lagi karena mengharapkan dana repatriasi sebesar 1000 triliun dan kalkulasi pengampunan pajak yang dibayarkan dengan tarif 2% sekitar 20 triliun rupiah. Logikanya, mudah sekali untuk memvalidasi dan menguji apakah benar ada dana di dalam negeri yang masih ‘gelap’ belum dikenakan pajak sebesar 1.000 triliun rupiah melalui Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta bank-bank BUMN kita.
Berdasarkan penelusuran data dan analisis yang saya lakukan dengan beberapa pakar ekonomi serta beberapa sahabat sesama analis dan pengamat intelijen, maka dapat diprediksi bahwa program TA akan gagal mencapai target yang terlalu ambisius ini. Prediksi kegagalan program TA ini karena data intelijen yang direkomendasikan kepada Presiden Jokowi ‘misleading‘ atau sesat. Kelak akan bisa dibuktikan apakah ini bagian dari operasi pembusukan untuk menjebak Presiden Jokowi, ataukah memang human error karena kesalahan tim yang merekomendasikan angka-angka dan target TA, karena tidak melakukan prosedur intelijen berupa verifikasi, validasi, serta check and recheck yang sangat ketat.
Satu hal yang pasti, saya merekomendasikan agar Presiden Jokowi segera mempersiapkan beberapa opsi atau rencana cadangan dengan kegagalan pencapaian target TA ini. Sesungguhnya Presiden Jokowi sudah mengambil langkah strategis karena menyadari ‘badai’ sudah di depan mata dengan ‘membajak’ Sri Mulyani Indrawati (SMI) pulang ke Indonesia. Untuk mengerjakan banyak pekerjaan rumah dan mencuci piring- piring kotor yang ditinggalkan oleh menteri terdahulu. Tentu tidak serampangan bagi sosok perempuan cerdas seperti SMI sampai mau kembali untuk melakukan pekerjaan ‘cleaning service‘ seperti ini. Pasti ada kesepakatan yang sangat dalam antara Presiden Jokowi dengan SMI. Tentu ada ‘kekuatan raksasa’ dibalik kembalinya SMI ini sehingga bisa membuat kaget jajaran petinggi World Bank.
Ada catatan penting yang harus disadari oleh siapapun lawan politik Presiden Jokowi, bahwa peta dan kekuatan politik seluruh negeri sudah dikonsolidasikan oleh Presiden Jokowi. Suka tidak suka, jangan pernah bermimpi bisa menjatuhkan Presiden Jokowi dengan cara-cara gerilya politik. Presiden Jokowi hanya bisa ‘jatuh’ dan harus berhati-hati dengan perangkap dan jebakan dari sektor ekonomi. Hanya kegagalan sektor ekonomi ini yang bisa menjatuhkan dan memporak-porandakan bangunan ‘kerajaan’ yang sedang didirikan oleh Presiden Jokowi.
JOHAN O SILALAHI
Pendiri Perhimpunan Negarawan Indonesia (PNI)