Archandra Tahar sudah diberhentikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, kehebohan telah terjadi begitu dahsyat beberapa hari terakhir ini. Pertama, sepanjang sejarah Indonesia merdeka, ada warna negara asing menjadi menteri. Kedua, orang terkuat dan terdekat Jokowi, pak Luhut Binsar Panjaitan (LBP) mengancam akan mem-buldoser siapapun yang berani mengganggu Arcandra Tahar. Ketiga, terjadi kecerobohan fatal dalam proses rekrutmen elit negara di republik ini. Apakah peristiwa ini mempunyai makna yang perlu kita bicarakan?
Tentu kita perlu mendiskusikan beberapa catatan penting yang terkait dengan isu di atas. Ada 3 hal yang penting untuk dibicarakan. Pertama, soal nasionalisme kita. Kedua tentang pertentangan politik dalam lingkungan kekuasaan. Ketiga tentang masa depan rezim Jokowi.
Orang Padang dan Nasionalisme
Ketika ditanya apakah dia, Archandra Tahar, seorang warga negara Amerika Serikat saat dtanya oleh wartawan tentang status kewarganegaraannya, dirinya menyatakan bahwa dia orang Padang. “Lihat wajah saya, Padang kan”, kata Archandra Tahar. Pertanyaan wartawan itu sebagian orang mempersepsikan tidak dijawab dengan semestinya. Masalahnya adalah apakah pernyataan sebagai orang Padang itu punya konstruk yang kuat dalam nasionalisme kita
Menurut Smith dalam National Identity (1991), sebuah bangsa itu adalah sebuah konsep yang menekankan aspek Civic and Territory atau lainnya, yang menekankan aspek etnis. Yang pertama lebih muncul di Barat, sedangkan yang terakhir di negara non-Barat. Dalam buku yang sama, Smith mengatakan bahwa negara negara bekas jajahan umumnya muncul dari aspek etnik. Sehingga disebut “nation or nationalism based on ethnicity“.
Dalam perspektif ini, Archandra Tahar menegaskan identitasnya sebagai komponen dasar dalam membentuk sebuah bangsa, yang resultant-nya adalah bangsa Indonesia. Sebab, etnis Padang itu merupakan bagian etnis asli pembentuk bangsa, bukan etnis pendatang.
Posisi Archandra mengalami kontestasi antara dia sebagai orang Padang, dalam hal ini tidak bisa dihilangkan dari dirinya, versus status kewarganegaraan bangsa dan negara Indonesia yang otomatis hilang karena adanya Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 2006 yang tidak membolehkan adanya dwi kewarganegaraan baginya.
Apakah lebih kuat identitas ke-Padang-an Archandra sebagai jaminan identitasnya sebagai bangsa Indonesia dibanding gelar kewarganegaraan Indonesia yang hilang darinya? Yang pertama adalah masalah sosiologis, sedang yang terakhir adalah masalah civic.
Hal ini perlu dilihat mengingat adanya cara pandang yang berbeda tentang konsep Indonesia. Yakni, pertama, ada yang memaknai Indonesia adalah sebuah kumpulan bangsa bangsa, seperti Inggris, eks Soviet, eks Yugoslavia dan kedua, ada yang memaknainya sebagai kumpulan suku-suku. Jika kita mengambil yang pertama, maka Padang mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada Indonesia itu sendiri. Sebab, Indonesia bersifat derivatif. Sedangkan, jika yang kedua, maka tentu berlaku sebaliknya. Artinya, identitas Indonesia itulah yang utama.
Menguatnya identitas dan hak politik Aceh, Papua dan Jogyakarta, saat ini, di satu sisi, serta sejarah Indonesia yang merupakan atau berisi kerajaan-kerajaan independen di masa lalu, sebenarnya lebih condong menempatkan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang bersifat derivatif. Apalagi pasca diamandemennya UUD 1945 yang asli dimana justru menghilangkan pasal-pasal ‘sakral’, seperti pasal 6 tentang Presiden harus orang “Indonesia asli” dan pasal 33, tentang nasionalisme ekonomi. Kederevatifan ini semakin kuat.
Dalam situasi seperti ini, kita bisa melihat fenomena Eropa saat ini, juga eks Yugoslavia dan Soviet. Ketika paspor dan kewarganegaraan Eropa, misalnya, tidak menghilangkan kebangsaan masing-maaing negara nasional mereka.
Dalam perspektif teoritik, Smith memang menganut konsep modernitas, seperti pakar lainnya semisal Anderson dan Hobsbwam. Bagi mereka, nation, nasionality dan nationalism bukanlah sesuatu yang sakral melainkan hanya sebuah proses atau produk modernisme semata.
Namun, pikiran mereka memberi ruang bagi adanya konsep post-national, akibat adanya globalisme dan tuntutan jaman ke arah dunia yang semakin pipih dan terkoneksi.
Rezim Jokowi Ke Depan
Istilah akan mem-buldoser lawan politiknya, merupakan istilah yang keras dan sangar. Istilah LBP ini mirip kerasnya dengan istilah “libas” yang dikeluarkan Panglima TNI Faisal Tanjung dan istilah “gebuk” oleh Pak Soeharto di masa lalu. Mengapa LBP mengeluarkan ancaman itu? Kepada siapa itu ditujukan?
Siapakah yang akan mengganggu Archandra dalam misinya di kementerian ESDM?
Berspekulasi atas siapa yang dituju cukup sensitif saat ini. Namun, kita harus melihat bahwa reshuffle kabinet jilid 2 ini merupakan reshuffle yang tidak sempurna alasannya. Pertama, menteri-menteri yang dilengserkan tidak mengetahui nilai rapornya sehingga layak diganti atau dimutasi. Menteri-menteri ekonomi bahkan telah berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua 2016. Bahkan, mereka baru bekerja selama kurang dari setahun, sejak reshuffle sebelumnya.
Pergantian ini tentu menciptakan sakit hati atau kekecewaan. Hal ini berpotensi menjadi kelompok ancaman bagi rezim Jokowi. Kedua, pergantian ini memasukkan kelompok partai politik yang tidak mendukung Jokowi-JK dalam Pilpres lalu. Hal ini tentu mengurangi porsi kekuasaan partai pendukung utama. Hal ini berpotensi menggoyang stabilitas rezim Jokowi, karena didorong ketidakpuasan mereka.
Ketiga, Jokowi memasukkan Sri Mulyani, menteri Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebuah rezim yang dikecam Jokowi dalam tulisannya berjudul “Revolusi Mental”, di sebuah koran ternama nasio. karena alasan beda ideologis. Hal ini berpotensi merusak semua konsep dan implementasi programNawacita dan Trisakti.
Dengan ketiga alasan tersebut, melengserkan Archandra dapat membuka celah adanya reshuffle jilid 3, yang bisa lebih kompromistis antara Jokowi dan stake holder, pendukungnya yang utama.
Namun, bisa saja ancaman buldoser LBP ini lebih ditujukan kepada kelompok yang membocorkan Archandra sebagai warga negara asing ke publik. Sebab, pemerintah terkesan ingin menutupi aib ini awalnya.
Tentang buldoser dan reshuffle yang tidak sempurna ini kelihatannya menimbulkan spekulasi yang dalam di mata publik dan pasar. Pertama, terjadi konflik yang dalam dan parah diantara elit-elit strategis pendukung kekuasaan Jokowi. Kedua, tidak terjadi prinsip governance, khususnya, kehati-hatian dalam urusan yang sangat vital pada administrasi pemerintahan saat ini. Untuk hal yang pertama, Jokowi harus tampil lebih tegas agar mampu mengendalikan keutuhan organisasinya. Sedangkan yang kedua, Jokowi harus membiasakan pelibatan semua institusi pemerintah terkait, dalam pengambilan keputusan negara.
Begitupun demikian, akibat kasus Archandra ini, yang pasti kepercayaan rakyat terhadap Jokowi dan pemerintahannya pasti semakin buruk. Untuk itu, diperlukan suatu kesadaran bangsa mengantisipasi perubahan besar ke depan terkait konsep nasionalisme dan tentang kepemimpinan nasional.
DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
Asian Institute for Information and Development Studies