Friday, March 29, 2024
HomeGagasanNeokolonisasi Jakarta Pesisir Bumi Nusantara

Neokolonisasi Jakarta Pesisir Bumi Nusantara

Indra Jaya Piliang
(foto: istimewa)

 

Hari ini, Selasa, 22 Juni 2021, sejumlah penggiat berlatar beragam profesi bergabung bersama dalam organisasi Forum Budaya Jakarta Pesisir (For Baja Pesisir). Pasar Seni Taman Impian Jaya Ancol adalah lokasi deklarasi. Organisasi ini dipersiapkan dalam waktu singkat. Satu kali pertemuan. Tanpa saling tahu siapa saja yang datang pada Senin, 14 Juni 2021 lalu. Tepat seminggu.

Bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang ke-494. Hari kekalahan pendudukan armada Portugis oleh pasukan Fatahillah.

Fatahillah adalah deputi dari Panglima Armada Gabungan Kesultanan Demak Pati Unus dalam perang mengusir Portugis di Malaka pada 1521. Dalam usia 25 tahun, pada 1513, Pati Unus memimpin ekspedisi Demak dalam membantu Sultan Mahmud Syah merebut kembali Malaka yang diduduki Portugis sejak 24 Agustus 1511.

Dalam ekspedisi pertama, Pati Unus gagal, namun berhasil kembali ke Demak. Kedua kalinya, Pati Unus tewas. Dipuja dengan nama Pangeran Sabrang Lor.

Fatahillah yang kalah di Malaka, diangkat Syarif Hidayatullah sebagai Panglima Armada Gabungan Demak. Butuh waktu lima tahun bagi Fatahillah menyusun, melatih, hingga memimpin armada Demak. Buah pengalaman tempur di laut bersama Pati Unus mengubah jalannya perang. Armada Portugis yang menduduki Sunda Kelapa dihancurkan. Sebagian kembali Malaka lewat ke Bintan, pangkalan militer yang direbut dari Mahmud Syah setahun sebelumnya.

Walau tanpa dokumen yang sahih tentang tanggal dan bulan, 22 Juni, terdapat kesepakatan sejarawan terkait tahun. 1527, Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta. Hampir satu abad Jayakarta bertahan dalam kejayaan Kesultanan Demak. Belanda mengubah nama Jayakarta menjadi Stad Batavia pada 1621.

Kalah di Sunda Kelapa, tak membuat Portugis jera. Sunda Kelapa bukan hulu dari Jalur Rempah Nusantara, tetapi pelabuhan transit menuju Malaka, Goa (India), hingga Terusan Suez (Mesir), hingga bermuara di Eropa. Fransico Serrao, nahkoda kapal yang ikut menaklukkan Malaka bersama armada d’Alburquerque pada 1511, berlabuh di Ternate pada 1512.

Susul-menyusul, eskpedisi Portugis lain berdatangan. De Brito yang meneropong puncak Gunung Gamalama pada 1521, berhasil meraih kesepakatan dengan Ternate mendirikan Benteng Noestra Seiiora del Rosario di Gam Lamo. Dalam waktu setengah abad, kekayaan bumi Kepulauan Maluku berpindah ke kota-kota di Portugis. Maluku adalah hulu dari keseluruhan Jalur Rempah Nusantara yang bermuara pelabuhan-pelabuhan Eropa.

Sultan Baabullah mengakhiri era ‘blut en eisen’ (darah dan besi) armada Portugis pada 1575.

*

Rangkaian kisah dari wikipedia yang multi-sumber itu tentu terlalu singkat. Namun, mampu membantah sejumlah hoax besar dalam sejarah kolonialisme di Indonesia. Angka tiga setengah abad langsung patah, apabila diambil tahun kedatangan De Brito di Ternate. Bahkan, angka 370 tahun terpapar, apabila diambil waktu pembebasan kepulauan Maluku hampir secara menyeluruh oleh Sultan Baabullah pada 1575.

Area pesisir dari Kepulauan Indonesia tercabik-cabik kolonialisme multi-negara. Kolonialisme tidak berlangsung hingga ke pedalaman, terkecuali di sejumlah daerah. Belanda membangun dua buah benteng di kota pegunungan Bukit Barisan di Sumatera Barat, yakni Fort de Kock di Bukittinggi dan Fort van Der Capellen di Batusangkar lebih berbau penaklukan area pedalaman, ketimbang keseluruhan cerita kolonialisme lain yang menyasar pesisir.

Ketika membawa angka tiga setengah abad ke dalam ruang-ruang kelas pelajaran sejarah, anak-anak Indonesia tentu dihinggapi mentalitas sebagai bangsa inlander. Kekalahan demi kekalahan bakal terukir dalam jiwa. Bertumpuk menjadi penyakit kejiwaan yang berusia lebih lama ketimbang hantaman pandemi Covid-19.

Untuk itu diperlukan metodologi berbeda dengan tujuan menegakkan kepala anak-anak Indonesia. Penelusuran muara-muara sungai, area paling mudah bagi keberadaan pelabuhan-pelabuhan alam tempat armada kapal melempar sauh, adalah bagian dari arus balik itu. Kota-kota bandar yang terbentuk di pelabuhan itu menyimpan kekayaan dan kejayaan bumi nusantara, terutama keuanggulan, keberanian, dan kewaspadaan manusianya.

Kehadiran For Baja Pesisir menjadi tetes pemikiran kearah itu. Tetes yang menjadi riak dan gelombang yang membuka banyak lembaran lain. Selama berabad-abad, ilmuwan, ideolog, dan propagandis dari universitas-universitas di Eropa telah menanam ranjau-tanjau di area pesisir, pulau, dan laut bumi nusantara. Bukan berupa bahan peledak, tetapi mistisisme yang menjauhkan anak-anak bangsa Indonesia dari area yang menyimpan sejumlah keunggulan nenek moyang yang bangsa pelaut.

Teknologi perkapalan yang menjadi sabuk pengaman terdepan, ditutupi pedagogi hitam kolonial. Perempuan-perempuan perkasa seperti Ratu Kalinyamat dari Jepara, digantikan dengan hantu dan siluman yang tiap bulan purnama menyeret lelaki-lelaki perjaka ke kedalaman. Struktur, tekstur, dan arsitektur benteng-benteng kejayaan kolonial tak dipelajari, dibiarkan digerogoti air laut dan ditutupi sampah, akibat teror temurun semiotika : tempat jin buang anak.

Dalam struktur demografis, deklarator For Baja Pesisir mayoritas dihuni Generasi X. Kelompok yang termasuk paling rentan dalam berhadapan dengan virus Covid-19. Lapisan terbanyak berusia kepala lima, segelintir di bawah itu. Kelompok yang sempat belajar berenang secara otodidak, tatkala semakin banyak kanak-kanak kini yang tewas tenggelam di kubangan jalan berlubang.

Manjadda Wajada!!!

Kemayoran, 22 Juni 2021

INDRA JAYA PILIANG
Deklarator  Forum Budaya Jakarta Pesisir (For Baja Pesisir)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular