
SURABAYA – Permasalahan polusi udara di wilayah DKI Jakarta tengah mencuat belakangan ini. Banyak masyarakat yang mengeluhkan kondisi tersebut. Tak tinggal diam, pemerintah pun terus berupaya untuk segera menangani isu tersebut, salah satunya dengan menurunkan hujan buatan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengklaim hujan hasil Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dapat menekan polusi udara di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Oleh sebab itu, sejumlah titik di kawasan Jabodetabek sempat diguyur hujan akhir-akhir ini.
Menurut Pakar Pengendalian dan Teknologi Polusi Udara, upaya modifikasi cuaca efektif untuk mengurangi polusi udara. Hal itu disebabkan karena proses modifikasi cuaca dapat menghasilkan deposisi basah akibat adanya hujan.
“Menurut hasil penelitian Inggris menyimpulkan semakin sering hujan turun di hari kerja dibandingkan di hari libur, maka akan menghasilkan penurunan dampak polusi dari kegiatan industri. Namun yang lebih baik adalah mengurangi polusi dari sumber seperti halnya lebih baik mencegah daripada mengobati,” imbuhnya.
Dwi Ratri menjelaskan, pada dasarnya modifikasi cuaca adalah sebuah rekayasa buatan manusia untuk mengendalikan sumber daya air di atmosfer atau awan pembawa hujan. Modifikasi cuaca ini bertujuan untuk meminimalisasi risiko bencana alam akibat cuaca di daerah tertentu.
“Jika ada suatu daerah yang mengalami kebakaran atau kekeringan berarti kita harus memodifikasi cuaca agar hujan segera turun di sana. Namun, jika ada daerah banjir maka kita harus memodifikasi cuaca agar hujan tidak turun di sana,” ujarnya.
Ia mengatakan, modifikasi cuaca ini berkaitan erat dengan aktivitas presipitasi air menjadi awan. Bentuk umumnya adalah cloud seeding atau penyemaian awan. Cloud seeding ini dilakukan dengan menyebarkan serbuk AgI (perak iodida) di atas awan yang berpotensi menjadi pembawa hujan di daerah tersebut. Nantinya, penyebaran serbuk Agl akan dibantu oleh pesawat atau drone.
Ada Dampak Negatif

Dwi Ratri mengatakan upaya modifikasi hujan tentu memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya, negara bisa mendapatkan cuaca seperti yang diharapkan. Sedangkan, dampak negatifnya adalah dampak akibat penggunaan kristal garam AgI yang berlebih dapat mempengaruhi ekosistem tanah dan air.
“Jika rekayasa ini sering dilakukan juga akan mungkin ada dampak terhadap iklim ke depannya,” pungkas wanita yang juga Dosen Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga itu.
(pkip/mar/bti)