Bahri. Begitu namanya. Singkat, jelas dan padat. Aku mengenal Bahri sejak Balitanya.Ia adalah putra dari seorang PEKASIH ( juru air). Ayahnya menjadi panitia acara Maulid di Mesjid. Ketika itu, aku dan suamiku diundang untuk mengisi acara di Desa Gumantar, Boyotan, Kabupaten Lombok Utara. Aku ceramah, suamiku membaca Kalam Ilahi di awal acara. Suamiku adalah qori’ internasionsl di Iran, Teheran tahun 2006). Desa Gumantar ini cukup terpencil.
Kedatangan kami ke Gumantar bukan sekali. Sering warga Gumantar mengundang kami untuk meramaikan hari-hari besar di mesjid mereka. Setiap kedatangan kami, biasanya kami akan ngaso (istirahat) di rumah panitia, di rumah Bahri.
Saat itu, kurang lebih 3 tahun usianya. Bahri kecil biasanya hanya diam, memandangi kami berdua. Tanpa sepatah katapun. Ia disebut PAKO’ (bisu) oleh seisi rumah, termasuk ayah ibunya. Dan memang, aku benar-benar tak pernah mendengar sepatah katapun terucap dari lisan Bahri.
Setiap kedatangan kami, ayahnya berseloroh, “Kelak Bahri akan mondok di sana (di Pondok Kami)”, bukan di tempat lain.”
Dalam hati, aku berbisik: ” Bagaimana mungkin kami bisa mengajarkan Al-Quran dan hafalannya pada anak yang bisu?”. Aku tak mengatakan apapun, selain tersenyum menanggapi ucapan Ayahnya.
Waktu berlalu, 6 tahun sudah terlewati. Kami masih sering ke Desa Bahri mengisi acara hari- hari besar, hinggalah tiba waktu kami mendengar kabar bahwa ayah Bahri wafat. Saat itu, Covid-19 sedang parah-parahnya. Kamipun pergi melayat. Kulihat wajah Bahri yang sendu. Menatapku penuh arti. Mungkin ia ingin mengatakan sedih, tapi tak bisa menyampaikannya. Pelupuk mataku terasa hangat. Kuusap kepala Bahri.
Kami duduk berbincang dg ibu dan saudara-saudara Bahri. Tiba-tiba Bahri membawakan kami semangkuk buah Joet yang matang. Tentu saja aku senang. Buah ini makin susah ditemukan. Di daerah lain mungkin disebut buah Jamblang. Aku mencicipi buah yang segar dan manis ini. Tiba-tiba aku teringat para santri di Pondok. Aku berniat membaginya pada mereka.
“Bahri, ini boleh saya bawa pulang? ” tanyaku. Bahri mengangguk pelan, sembari menatapku.
“Nanti saya bagi juga dengan Zahra Kakakmu,” ucapku tersenyum sembari sekali lagi mengusap kepala Bahri. Ia berlalu. Entah ke mana.
Tak lama, Bahri kembali dengan semangkuk buah Joet atau buah Jamblang yang matang. Ia memberiku dengan sorot mata berbinar dan senyum terkembang.
” Hei…ada lagi” Seruku. Kutatap Bahri.
” Ini buat Zahra?” Tanyaku. Bahri mengangguk.
” Kamu kangen kakakmu?” Tanyaku lagi.
Sekali lagi Bahri mengangguk.
Tiba-tiba aku teringat ucapan ayahnya bahwa kelak Bahri akan dipondokkan di tempat kami.
“Bahri, kamu mau nggak mondok bareng Kak Zahra?” Tanyaku sambil tersenyum.
Bahri mengangguk.
Ups…jantungku berdegup kaget dan senang.
” Nanti kamu nangis” kataku. Ia menggeleng.
Iya. Bahri bisa diajak berkomunukasi. Dia mengerti setiap ucapan, tapi tak pernah berucap sepatah katapun selain mengangguk dan menggeleng.
Kutanya berkali-kali, ia tetap mengiyakan. Ia tetap ingin mondok. Kupanggil ibunya lalu meminta beliau bertanya pada Bahri tentang kesediaannya untuk mondok. Semua yang bertanya padanya, dijawab sama. Ia tetap mengangguk. Ibunya, kakaknya, kakak iparnya, masing- bertanya pertanyaan yang sama. Ia tetap bersikukuh untuk mondok.
Akhirnya, saat kami kembali ke Pondok di Lombok Timur, kamipun membawa serta Bahri. Saat melepas Bahri, ibunya masih meragukan tekad Bahri untuk mondok.
“Bagaimana mengajari anak bisu untuk mengaji. Nanti dia menyusahkan semua orang di Pondok” kata ibunya.
Aku memberi isyarat untuk tetap tenang.
Akhirnya disepakati, kami akan memantau perkembangannya. Bila ia bisa menyesuaikan diri di pondok, maka ia tinggal langsung di pondok. Bila tidak, kami akan antar pulang kembali.
Bahripun ikut bersama kami ke Pondok. Hari pertama hingga ketiga, ia sulit diarahkan. Ia hanya mau makan dan tidur. Shalat dan mandi, ia sama sekali tidak mau. Hari ketiga itu, akupun bilang pada suami untuk segera menyiapkan kepulangan Bahri.
Betapa tidak, sejak hari pertama dia sudah merusak barang di pondok. Membuka lemari santriwati. Lalu merusak barang-barang yang ada. Zahra kakaknya, menghampiriku dengan airmata.
“Bu Guru, Bahri diantar pulang saja. Tiang malu sama teman-teman. Bahri merusak barang mereka. Dia juga nggak mau shalat dan mandi. Tiang malu,” kata Zahra lirih.
Hari ketiga, aku bertambah bingung. Saat maghrib, Bahri justru main ke jalan dan ke sawah. Duh. Aku jadi bertambah yakin untuk mengembalikan Bahri pada keluarganya.
Malam itu, aku tak bisa memejamkan mata. Sosok Bahri bergelayut di pelupuk mataku. Terngiang-ngiang ucapan ayahnya yang ingin melihatnya mondok di tempat kami. Terngiang pula ucapan ibunya yang khawatir Bahri menyusahkan banyak orang di pondok. Kekhawatiran itu memang terjadi. Bahri merusak barang-barang santriwati dan susah diarahkan.
Saat bangun tahajud, aku berbisik pada suamiku, agar shalat hajat untuk Bahri. Semoga Allah beri jalan, dia bisa menjadi anak yang normal. Mau shalat dan mengaji, juga bisa bicara. Permintaan yang sulit memang. Tapi adakah yang sulit bagi Allah? Iya, dinihari itu, kami shalat hajat untuk Bahri.
Saat Dhuha, kuminta seluruh santri berkumpul. Duduk melingkar dengan meletakkan air putih di tengah, menggunakan teko besar. Suamiku sedang bertugas di luar pondok. Jadilah aku dan seluruh santri yang “meruqyah” Bahri sebisanya. Aku memang bukan ahli ruqyah. Namun setidaknya, ini bagian dari ikhtiar kami untuk ” menyembuhkan” Bahri. Aku berharap, dengan doa kami semua dan para santri penghafal Al-Qur’an ini, juga santri-santri yatim dan piatu. Kiranya Allah memperkenankan doa kami.
Pembacaan doa ruqyah selesai kami lakukan. Aku memulai meminum air yang sudah didoakan itu. Kami sertakan juga doa agar sehat, mudah menghafal Al-Qur’an dan dijauhkan dari rasa malas ibadah dan belajar. Bahri duduk tepat di samping kiriku. Artinya, dia adalah orang terakhir yang meminum air yang didoakan itu. Syukurlah, ia nurut. Tak membantah sedikitpun saat tiba gilirannya untuk minum. Setengah gelas air itu, ia minum habis.
Setelah selesai, akupun memperbolehkan mereka untuk pergi bermain. Bahri turun dari “Berugak” (gazebo/saung) dengan riang. Aku memandanginya dari kejauhan, masih duduk di Berugak.
Aku tersentak. Tiba-tiba Bahri memandang ke arahku sambil mengatakan, “Bu Guru, ini boleh saya pinjam?” Tanyanya sambil memegang gagang argo pengangkut pasir.
Tentu saja aku kaget bukan kepalang.
Bukankah Bahri ini bisu?
Aku mengangguk mengiyakan, sembari berjalan cepat ke kamarku. Di kamar, aku tergugu, menangis penuh syukur. Bahri bisa bicara!
Tak hanya itu, sejak hari itu, Bahri nurut saat diminta untuk mandi, shalat dan belajar. Benar-benar berubah. Aku segera menyampaikan kabar baik itu saat suamiku pulang. Beliau tentu saja keheranan.
Malamnya, saat sepertiga malam, kamipun tahajud seperti biasa. Kami masih di atas sajadah hingga usai azan Subuh berkumandang, lalu terdengar bacaan shalawat dan doa jelang iqamah, menunggu jamaah yang berdatangan ke mushala. Bacaan shalawat kali ini benar-benar membuatku tersentuh. Bukan karena keindahan suaranya, tapi karena orang yang melantunkannya.
Kucolek suamiku.
“Bib…coba dengar shalawat itu. Abib tahu suara siapakah itu?” Tanyaku.
“Santri” jawab beliau enteng.
“iya. Santri. Tapi siapa?” Tanyaku. Suamiku terdiam dan menyimak seksama lalu menggeleng.
“Bahri!” Kataku setengah berteriak.
Kami berdua luruh dalam tangis. Laa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘Aliyyil ‘azhiim. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan daya dan kekuatan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
Kini Bahri ada di pondok kami. Kabar baik itu hampir tidak dipercayai oleh ibunya sendiri, sampailah aku mengirimkan video Bahri yang sedang membaca shalawat di Mushala. Maasyaa Allaah. Alhamdulillaah.
InsyaAllah, Bahri kelak bisa menuntaskan 30 juznya. Juga bisa meraih cita-citanya menjadi Prajurit TNI . Bukankah tidak ada yang mustahil bagi Allah?
Dr. NURLAILA KEMAL HASYIM, M.A
Dewan Pengasuh dan Pembina Ponpes Tahfiz Al-Furqan, Dasan Cermen, Desa Lenting, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat
(ditulis berdasarkan kisah nyata)