KOMPAS edisi Jumat 2 Juni 2017 menyajikan headline Rakyat Merayakan Pancasila. Lalu ada subjudul UKP PIP Menjadi Awal yang baik. Sementara di kolom OPINInya, ada 2 tulisan yakni pertama “Negara Pancasila dan Khilafah” oleh Helmy Faishal Zaini Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan kedua adalah “Pancasila dan Paradigma Pembangunan” oleh Prof. Emil Salim.
Helmy menyatakan bahwa wacana yang belakangan muncul mengenai posisi Islam, Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah kemunduran. Helmy menganggap bahwa negara-bangsa adalah konsep yang paling modern dan memungkinkan demokrasi sementara khilafah atau negara Islam adalah utopis. Sementara itu Prof. Emil Salim ekonom alumni UC Berkeley Amerika Serikat (AS) menawarkan Pancasila sebagai paradigma pembangunan baru. Tulisan Prof. Emil Salim sebagai salah satu arsitek Orde Baru (Orba) tentang Pancasila semoga tidak membuktikan bahwa beliau adalah seorang mualaf Pancasila -sebuah istilah baru yang diajukan oleh Hersubeno Arif-.
Bahwa Wacana Pancasila sebagai paradigma baru yang diusulkan oleh Prof. Emil Salim sendiri membuktikan bahwa selama ini paradigma pembangunan yang diadopsi oleh Pemerintah RI bukan Pancasila jika tidak bisa disebut pseudo-Pancasila. Para teknokrat ekonom selama Orba dan sesudahnya menganggap bahwa Pancasila adalah sesuatu yang utopis, sehingga mereka terpaksa mengadopsi paradigma lain. Hasil dari adopsi peradigma lain ini sudah kita rasakan dan lihat bersama: ketimpangan sosial dan kesenjangan spasial yang makin buruk serta keterjajahan ekonomi. Realitas ini mempertanyakan mana yang utopis: Pancasila atau liberalisme kapitalisme. Ketimpangan dan kesenjangan ini bukan khas Indonesia, tapi terjadi di seluruh permukaan planet ini.
Helmy keliru ketika memahami bahwa khilafah itu adalah NKRI tanpa Pancasila. Konsep khilafah dicurigai sebagai utopis dan mengancam Pancasila dan NKRI. Perlu dipahami bahwa khilafah itu bukan negara Islam dalam perspektif negara-bangsa. Nasionalisme dan negara-bangsa dilahirkan sebagai instrumen Barat untuk mencegah kebangkitan khilafah Islam, namun sekaligus untuk melanggengkan khilafah alternatif yaitu kapitalisme global di bawah adikuasa Barat. Sementara itu Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) hanyalah boneka khilafah Barat. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, khilafah adalah sebuah kenyataan karena niscaya. Masalahnya adalah kita mau memilih sebuah khilafah yang adil atau yang bathil.
Khilafah adalah tata dunia, melampaui negara-bangsa yang dilahirkan atas perkenan penjajah selama seratus tahun terakhir ini. Perang Dunia I adalah awal keruntuhan khilafah Turki Ottoman dan kemudian Perang Dunia II praktis melahirkan khilafah AS dan PBB.
Harus dicermati bahwa kelahiran negara-bangsa yang berhasil memerdekakan diri secara politik itu tidak diikuti kemerdekaan secara ekonomi. Penjajahan ekonomi itu berlangsung hingga hari ini, bukan oleh negara tapi oleh korporasi multi-nasional dan sistem keuangan global ribawi lintas-negara. Bukti penjajahan nekolim itu ada dalam praktek kehidupan sehari-hari sejak Orba dan dipuncaki oleh amandemen UUD 1945 menjadi UUD 2000 -oleh beberapa pihak disebut UUD 1945 yang diamandemen-. Praktek kehidupan berbangsa dan bernegara kita selama reformasi ini sudah makin jauh dari falsafah Pancasila.
Pancasila adalah nilai-nilai kehidupan bersama yang tumbuh subur di Nusantara selama dunia di bawah pengaruh khilafah Islam. Ini terjadi selama ratusan tahun. Pancasila hidup di Nusantara memerlukan lingkungan global yang cocok. Lingkungan nekolim selama seratus tahun terakhir ini terbukti tidak sesuai, bahkan merusak Pancasila. Jadi kegagalannya bukan pada konsepsi Pancasila tapi pada prakteknya dalam pembangunan bangsa. Pancasila tidak hidup di ruang dan ekosistem yang hampa ideologi.
Sementara itu Pancasila harus dipahami sebagai falsafah negara, bukan falsafah pribadi dan ormas yang secara alamiah bhinneka. Pancasila itu menunggalkan yang bhinneka itu. Setiap warga negara bebas mengekspresikan aspirasi keyakinan dan agamanya dalam kehidupan bersama itu. Ini dijamin oleh UUD 1945. Sedangkan untuk kehidupan bernegara itu Pancasila menjadi platform bersama dalam keragaman. Hanya para mualaf Pancasila yang mematikan dan mencurigai keragaman dan ekspresi keberagamaan.
Kekecewaan Helmy Faishal atas wacana mutakhir kebangsaan kita bisa dipahami namun hemat saya itu bukan sebuah kemunduran. Ini adalah bagian dari ketegangan kreatif agar semua anak bangsa boleh (merasa) memiliki Pancasila. Warga muda generasi baru tidak boleh hanya diminta “mewarisi Pancasila” begitu saja tanpa mengunyahnya. Pada saat Xi Jinping mempertanyakan Tata Dunia yang tidak adil saat ini dan Markel serta Macron meragukan kepemimpinan Trump, maka agenda kita ke depan bukan mengganti Pancasila dan melikuidasi NKRI, bukan hanya kembali ke UUD 1945, tapi juga memperjuangkan Tata Dunia baru yang adil, yang memungkinkan praktek Pancasila oleh Republik ini agar kembali diberkati Allah seperti saat diproklamasikan.
Surabaya 2 Juni 2017
DANIEL MOHAMMAD ROSYID
Guru Besar dan Pelaku Peradaban, Tinggal di Surabaya