Friday, April 19, 2024
HomeGagasanMenggugat Kinerja BIN Dalam Kasus Archandra, Relevankah?

Menggugat Kinerja BIN Dalam Kasus Archandra, Relevankah?

IMG-20160315-WA0024

Banyak kalangan mempersoalkan peran Badan Intelijen Negara (BIN) dalam skandal Archandra Tahar. Ada yang berpendapat, BIN lalai atau lengah. Ada juga yang berpendapat, BIN tidak bertindak sesuai tagline-nya, velox et exactus alias cepat dan akurat. Sebenarnya, bagaimana posisi BIN dalam skandal ini?

Mari kita lihat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Pasal 10 ayat 1 UU itu menyebutkan bahwa BIN merupakan alat negara yang menyelenggarakan fungsi intelijen dalam negeri dan luar negeri.

Apa tugas BIN sebagai penyelenggara fungsi intelijen dalam negeri dan luar negeri? Pasal 29 UU 17/2011 menyebutkan, tugas BIN sesuai Pasal 10 ayat 1 adalah:
a. melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang Intelijen;
b. menyampaikan produk Intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah;
c. melakukan perencanaan dan pelaksanaan aktivitas Intelijen;
d. membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan/atau lembaga asing; dan
e. memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam tugas BIN di atas, ada dua hal yang boleh jadi relevan dalam konteks Archandra, yaitu pada poin huruf d dan e. Benarkah? Mari kita lihat penjelasan atas UU 17/2011 mengenai hal itu.

Penjelasan atas Pasal 29 menerangkan, tugas membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan/atau lembaga asing seperti dimaksud dalam Huruf d UU 17/2011 itu, adalah rekomendasi berisi persetujuan atau penolakan terhadap orang dan/atau lembaga asing tertentu yang akan menjadi warga negara Indonesia, menetap, berkunjung, bekerja, meneliti, belajar, atau mendirikan perwakilan di Indonesia dan terhadap transaksi keuangan yang berpotensi mengancam keamanan serta kepentingan nasional.

Lalu Huruf e menyebut tugas BIN adalah memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan. Penjelasannya merinci bahwa hal-hal yang berkaitan dengan tugas itu adalah:
1. pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat eselon I;
2. pemberian hak akses terhadap rahasia negara; dan
3. pengamanan internal yang meliputi pengamanan informasi, Personel Intelijen Negara, dan material.

Jadi, dari bunyi pasal-pasal dan penjelasan atas UU 17/2011 yang menjadi landasan operasional BIN itu, tak satupun cukup kuat dijadikan dasar untuk menuding bahwa lembaga ini telah lalai atau lengah.

Kasus Archandra ini istimewa. Dia bukan sedang mengajukan diri menjadi WNI. Juga tidak sedang dalam kaitan kegiatan yang dirinci dalam UU itu. Arcandra datang ke Indonesia karena diminta (fatsun-nya seperti itu) Presiden untuk menjadi menteri negara.

Masalahnya, Archandra tidak jujur sejak awal. Dia tidak menolak permintaan presiden. Dia bahkan tidak menyampaikan kendala kewarganegaraannya itu. Kendala yang mungkin saja bisa dibereskan secara politik dan senyap jika disampaikan di awal.

Meski untuk itu lalu saya merasa patut bertanya, seberapa luar biasanya seorang Arcandra sampai harus ada diskresi? Saya juga merasa patut bertanya, seberapa detil presiden mencermati calon menterinya? Saya juga meragukan Presiden sudah berkomunikasi intensif dengan Archandra, sebelum nama itu akhirnya menjadi pilihannya.

Kemudian benarkah BIN tidak cepat dan akurat? Jika kita menghitungnya sejak awal rumor-rumor kocok ulang kabinet itu merebak, tentu saja intel kita ini tidak velox dan tidak exactus.

Tapi sekali lagi lihat penjelasan Pasal 29 huruf e. UU 17/2011 nyatanya tidak menugaskan BIN memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi pengangkatan, pemindahan maupun pemberhentian pejabat setingkat menteri atau anggota kabinet.

Lingkup tugasnya hanya pejabat eselon 1. Itu adalah posisi Sekjen, Dirjen, Kepala Badan dan pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK). Bahkan saya meragukan BIN dilibatkan dalam penentuan eselon 1 di Polri dan TNI. UU juga tidak mengatur keterlibatan BIN dalam hal seleksi pengisian jabatan-jabatan pimpinan lembaga-lembaga penyelenggara negara, KPU, MK, MA dan KY misalnya. Artinya, mempertanyakan akurasi BIN dalam kasus Archandra, tentunya tidak relevan.

Apakah ini berarti memang sudah sewajarnya kelalaian ini terjadi? Tentu saja tidak.

Sepanjang dibutuhkan dalam rangka pengamanan penyelenggaraan pemerintahan, tentu saja BIN masih dapat berperan. Sebagai klien tunggal, Presiden dapat meminta informasi dari BIN. Mirip permintaan informasi soal integritas sejumlah nama yang diproyeksikan untuk jabatan menteri, ke KPK. Hal itu kabarnya dilakukan oleh presiden-presiden terdahulu. Meski belum ada UU yang mengatur BIN.

Nah, jika contoh praktik baik dari masa lalu sudah ada, bahkan dengan KPK pun terus dilakukan, mengapa dengan BIN tidak, apa sebabnya?  Apakah ada keraguan soal akurasi atau bahkan soal kerahasiaan? Lho, bukankah pimpinan BIN adalah persona pilihan presiden sendiri?

Sebegitu senyap dan rahasiakah proses pengisian jabatan di kabinet itu hingga bahkan untuk sekedar nama-nama kandidat hanya tim inti presiden dan Tuhan yang tahu? Ah, nyatanya bocor juga ke publik sebelum pengumuman resmi.

Jadi saya kira, Pak Sutiyoso tak salah apa-apa dalam kasus ini. BIN tidak relevan disalah-salahkan. Bahkan setelah persoalan ini tercium, BIN relatif cepat dan akurat menelusuri dan memastikan bahwa Archandra benar-benar pemegang paspor Amerika Serikat dan terdaftar sebagai pemilih dalam Pilpres mendatang.

Kalaupun masih harus dicari salahnya, ya soal menjalankan fungsi koordinasi intelijen negara. BIN gagal membangun ‘awareness’ yang baik dari fungsi intelijen Kementerian Hukum dan HAM yang dijalankan oleh Direktorat Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian. BIN sebagai fungsi intelijen luar negeri juga boleh dibilang gagal memantau diaspora Indonesia di Amerika Serikat.

Tapi agak keterlaluan juga kalau nyari salahnya sampai ke hal-hal ini. Sampai lupa bahwa urusan-urusan itu secara teknis ada pengendalinya masing-masing.

Jika soal paspor ganda dan penyalahgunaannya itu terdeteksi sejak awal (dan itu berarti pengawasan keimigrasian berjalan baik), pun soal status diasporanya (diaspora tak cuma berarti WNI yang berkiprah dan bermukim di luar negeri), skandal ini takkan ada. Karena bisa jadi takkan pernah ada Menteri ESDM bernama Archandra Tahar!

Tega betul yang membawa nama itu ke istana. Sampai-sampai pihak yang mestinya sangat teliti mengurus administrasi, lalai memeriksa dokumen sesederhana ‘KTP’ itu.

Tidakkah si pembawa nama memahami bahwa ini sangat berbahaya? Atau bisa jadi, ini memang diniatkan sejak awal. Bahwa ini membentuk stigma soal ketidakbecusan otoritas sipil! Jahat. Jahat sekali.

KHAIRUL FAHMI
Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular