Friday, March 29, 2024
HomeGagasanMengenang KH. Agus Sunyoto

Mengenang KH. Agus Sunyoto

Profil KH Agus Sunyoto
(foto: nahdlatul ulama)

 

 

Jawa itu tiada tanpa India, demikian yang tertancap di benak orang-orang seusia saya, sebab demikianlah pelajaran sejarah yang saya terima sejak SD hingga SMA. Seandainya, Ajisaka tidak hadir, maka pulau Jawa masih menjadi pulau primitif yang diperintah raja lalim pemakan daging manusia yang bernama Dewata Cengkar. Tidak hanya untuk Jawa, bahkan Nusantara secera keseluruhan. Jika saja peradaban India tidak datang, maka bangsa ini masih menjadi bangsa tuna sejarah. Sebab pergantian dari era pra sejarah ke era sejarah ditandai dengan dipahatnya prasasti Kutai Kertanegara oleh Mulawarman. Sejak itulah nenek moyang kita memasuki fase sejarah.

Bayangan saya sebagai anak kecil saat itu, moyang orang Indonesia sebelum kedatangan Ajisaka adalah bangsa yang baru pada fasse berburu dan meramu. Bahkan eranya Fred dan Wilma keluarga Flinstone pun belum, jadi masih leluhur Flinstone yang kemana-mana membawa tombak batu untuk berburu dan meramu.

Sesuatu yang tentu saja tidak nyambung, ketika saya belajar pertanian dan menemukan bukti bahwa nusantara adalah peradaban tua yang bercorang agraris. Tradisi menanam padi, menurut M.M. Sukarto K. Atmodjo dalam The Agrarian History sudah dikenal bangsa ini sejak 4.000 tahun yang lalu. Pada era peradaban Neolithicum, jauh sebelum ada pengaruh kebudayaan India. Temuan berupa benda purbakala berupa cangkul batu dan alat penumbuk padi di daerah Sunda dan Sulawesi Selatan menunjukkan tanaman padi telah dibudidayakan dengan baik.

Mengapa budidaya padi merupakan penanda hadirnya sebuah peradaban ? Tanaman Padi dalam jumlah yang besar, tidak mungkin tumbuh tanpa proses budi daya . Akrabnya beras beserta produk produk turunannya, terutama nasi, dapat dilihat dari sisi linguistik yang sudah ada sejak jaman dahulu kala. Ungkapan mencari nasi di negeri orang, menunjukkan kedudukannya yang tinggi sebagai pengganti kata rejeki. Nasi habis budi bersua, menunjukkan hilangnya nasi berarti masa kesusahan sehingga bisa diketahui siapa teman sejati saat kesusahan. Ada ungkapan lain, nasi sama ditanak, kerak dimakan seorang, artinya pekerjaan yang dilakukan bersama, tetapi keuntungan dinikmati sendiri.

Selain itu, menurut Prof. Dr. Tatiana A. Denissova , pakar sejarah Melayu dari Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur Malaysia, kepulauan Melayu adalah salah satu pusat kebudayaan manusia yang amat purba. Dengan mengutip R. Braddel, F.W. Douglas dan banyak peneliti lain, menyebutkan bahwa para pelaut yang perama kali datang ke kepulauan ini adalah bangsa Sumero-Arkadians (4.000 – 3.000 tahun sebelum Masehi). Sejak saat itu, kepulauan Melayu menjadi terkenal di peradaban-peradaban besar seperti Mesopotamia, Mesir Purba dan Babylon.

Artefak-artefak yang ditemukan di Johor menunjukkan pada abad ke 7–5 SM, para saudagar Phoenicians pernah singgah. Wilayah lain yang juga menjalin perdagangan dengan alam Melayu adalah kerajaan Sheba dan Hadramaut . Hal ini dikarenakan kepulauan Melayu sudah memulai tradisi pembuatan dari berbagai peralatan logam dalam sebuah cultural revolution pada mas 1.000 tahun sebelum Masehi .

Kalau para penulis di atas menguraikan bahwa nusantara bukanlah wilayah primitif yang tidak mengenal peradaban dan terisolir dari dunia luar, maka yang menarik dari atlas walisongonya KH. AGus Sunyoto adalah, bahwa manusia nusantara itu juga sudah punya sistem keagamaan tersendiri yang berbeda dengan Hindu Buddha. Agama purba manusia nusantara adalah Kapitayan.

Dalam buku Atlas Walisongo, Kyai Agus Sunyoto menuliskan bahwa penduduk di kepulauan Nusantara menganut agama kapitayan. Secara sederhana, Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan utama yang disebut Sanghyang Taya, yang bermakna Hampa, Kosong, Suwung atau Awang-Uwung. Taya bermakna yang absolut, yang tidak bisa difikir dan dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancaindra. Orang Jawa mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat, “tan kinaya ngapa” alias “tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya”. Kata Awang-Uwung berarti ada tetapi tidak ada, tidak ada tetapi ada. Penguasa semesta itulah yang disebut Tu Hyang, yang dipuja dalam ritus Sembah Hyang. Tu Hyang yang merupakan penguasa alama semesta juga menugaskan para penguasa kecil sebagai penjaga wilayah-wilayah terbatas yang disebut Da Hyang.

Membaca uraian Kyai Agus Sunyoto tentang kapitayan, saya ingat paragraf pendek dalam bukunya Karen Amstrong, Sejarah Tuhan. Karen Amstrong dengan mengutip Wilhelm Schmidt menyebutkan adanya monoteisme kuno yang mendahului kepercayaan terhadap dewa-dewa . Kepercayaan ini begitu kuat melekat, sehingga ketika klan-klan politik yang kalah dalam pertarungan di India Selatan migrasi ke kepulauan Nusantara, agama Hindu yang berkembang , kata teman saya, adalah Syiwaisme. Yang mempunyai konsep ketuhanan monoteistik.

Itupun hanya terbatas di kalangan wong njero, lingkaran dalam istana, kata Kyai Agus Sunyoto. Hindu menyentuh masyarakat kebanyakan hanya pada sisi estetis bukan falsafahnya, demikian kesimpulan Syed Naquib al-Attas. Untuk konsep Tuhan, masyarakat kebanyakan, masih tetap dalam kapitayan. Itulah sebabnya, bahkan di era peradaban Hindu Buddha di Indonesia, orang lebih akrab pada persembahan kepada para Da Hyang daripada kepada dewa-dewa Hindu. Tradisi Hindu Buddha hanya kuat di wilayah-wilayah tertentu. Oleh karena itu, kebijakan larangan menyembelih sapi yang dikeluarkan para wali hanya berlaku di Kudus dan tidak pernah ada di daerah lainnya.

Penjelasan tentang kapitayan inilah, menurut saya, yang menjadi salah satu kontribusi besar Kyai Agus Sunyoto, untuk membuka kembali selubung sejarah yang dibuat oleh para indolog kolonial, bahwa peradaban kita adalah sekedar derivat peradaban India. Tanpa India, kita tidak pernah mengenal Tuhan dan agama. Kagem Kyai Agus Sunyoto … al Fatihah ..

 

ARIF WIBOWO

Pegiat Laboratorium Dakwah (Labda) Ki Ageng Henis

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular