Thursday, October 9, 2025
spot_img
HomeGagasanLiputan KhususMengapa Helikopter Tak Digunakan dalam SAR Rinjani?

Mengapa Helikopter Tak Digunakan dalam SAR Rinjani?

(foto: Yat Lessie)

Kematian tragis Juliana Marins, seorang pendaki asal Brasil yang terjatuh ke jurang dalam di kawasan Gunung Rinjani, memunculkan gelombang simpati dari publik. Namun bersamaan dengan itu, muncul pula pertanyaan sinis dan bahkan cemoohan terhadap kinerja tim SAR. Pertanyaan paling sering muncul, dan paling emosional, adalah “Kenapa tidak pakai helikopter saja? Bukankah itu lebih cepat, lebih efisien, dan menyelamatkan waktu?”

Ini pertanyaan yang manusiawi. Dalam kondisi krisis, kita sering berharap pada solusi instan, dan helikopter selalu terlihat sebagai simbol pertolongan dari langit. Namun dalam konteks nyata operasi SAR di medan ekstrem seperti Rinjani, justru kehadiran helikopter bisa menjadi mimpi buruk berikutnya.

Antara Logika dan Imajinasi Teknologi

Di tengah derasnya informasi media sosial, imajinasi tentang helikopter kerap terbang terlalu tinggi, melampaui batas realita teknis. Banyak yang membayangkan helikopter SAR dapat dengan mudah mengangkut tim penyelamat ke punggungan, menurunkan mereka ke lokasi kejadian, lalu mengangkat jenazah korban dari dasar jurang hanya dalam hitungan menit.

Namun kenyataannya tak sesederhana itu. Helikopter memang alat hebat, tetapi bukan dewa penolong. Ia bekerja di bawah hukum fisika, aerodinamika, dan batasan mesin. Dalam dunia nyata, apalagi di ketinggian gunung berapi seperti Rinjani yang berlokasi di atas 3.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), segala sesuatu menjadi jauh lebih kompleks.

Posisi IGE. (foto: Yat Lessie)

Fakta Tennis yang Tak Bisa Diabaikan

Basarnas memiliki armada helikopter yang mumpuni untuk misi penyelamatan, antara lain AW139 dan AS365 Dauphin. Kedua jenis ini dirancang untuk misi SAR berat, lengkap dengan sistem winch untuk pengangkatan vertikal dan peralatan navigasi canggih. Namun keduanya tetap tunduk pada batasan teknis. Pertama, Hover Out of Ground Effect (OGE): Helikopter harus mampu melayang tanpa bantuan pantulan udara dari tanah. Untuk AW139, batas OGE adalah 8.130 kaki atau sekitar 2.478 mdpl. Sedangkan lokasi insiden berada di ketinggian lebih dari 3.000 mdpl. Kedua, Efek Tipisnya Udara. Pada ketinggian 3.500 mdpl, kerapatan udara tinggal 75% dari kondisi normal. Ini membuat rotor helikopter harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan daya angkat yang sama, dan risiko kerusakan mesin meningkat drastis.

Ketiga, Winch Terbatas. Panjang tali winch helikopter hanya sekitar 100 meter. Sedangkan posisi korban berada di dasar jurang berkedalaman sekitar 600 meter. Artinya, mustahil menurunkan tali dari atas punggungan tanpa turun ke dalam jurang.

Keempat, Medan Tak Ramah Hovering. Punggungan Rinjani sempit, miring, dan berpasir. Helikopter yang mencoba melayang di atasnya akan menimbulkan badai debu dari tekanan rotor. Debu ini bisa masuk ke mesin dan menyebabkan kerusakan fatal, bahkan kecelakaan.

Posisi OGE. (foto: Yat Lessie)

Risiko Lebih Besar Bila Memaksa

Mari kita bicara tentang skenario terburuk, jika helikopter tetap dipaksa turun di punggungan atau jurang. Debu vulkanik dan pasir bisa menyumbat intake mesin, mengganggu aliran bahan bakar, hingga menyebabkan mesin mati di udara. Jika helikopter itu membawa 10 orang tim SAR dan dua pilot, lalu jatuh ke jurang, maka jumlah korban bisa melonjak menjadi 13 jiwa.

Begitu pula jika helikopter dipaksa turun ke dalam jurang yang curam, lerengnya bisa longsor akibat hembusan rotor. Akibatnya bukan hanya jenazah korban yang terseret lebih jauh, tapi juga para rescuer yang sedang berusaha mengevakuasi.

Dalam konteks ini, keputusan untuk tidak menggunakan helikopter bukanlah kekurangan, melainkan pilihan sadar yang penuh perhitungan, dan keberanian.

Prinsip Utama SAR: Jangan Tambah Korban

Inilah prinsip utama dalam setiap operasi pencarian dan penyelamatan “selamatkan terlebih dahulu para penyelamat”. Operasi SAR bukan ajang heroik yang membabi buta. Ia adalah upaya sistematis yang menyeimbangkan keberanian dengan kehati-hatian.

Dalam kondisi ekstrem seperti di Rinjani, justru metode manual yang paling aman. Maka tak heran jika tim SAR memilih berjalan kaki selama delapan jam, memikul peralatan, lalu mengangkat jenazah secara manual dari kedalaman jurang. Memang melelahkan, lambat, dan penuh risiko, tapi aman untuk semua yang terlibat.

SAR Bukan Soal Teknologi, Tapi Kemanusiaan

Operasi penyelamatan bukan semata-mata demonstrasi kecanggihan alat. Lebih dari itu, ia adalah ekspresi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kasus Juliana, tim SAR memilih untuk tetap mengevakuasi jenazah meskipun tahu tak ada nyawa yang bisa diselamatkan.

Kenapa? Karena setiap manusia berhak untuk dimakamkan dengan layak. Karena tak ada orang tua yang pantas dibiarkan bertanya-tanya di mana anaknya dikuburkan. Tak ada pasangan yang pantas hidup tanpa tahu makam kekasihnya. Tak ada anak yang pantas kehilangan hak untuk menabur bunga di pusara orang tuanya.

Sesederhana dan seagung itu misi dari setiap operasi SAR yakni mengembalikan martabat yang tersisa dari nyawa yang telah tiada.

Posisi OGE. (foto: Yat Lessie)

Belajar untuk Percaya pada Proses

Publik tentu berhak bertanya. Tapi sebagai masyarakat yang tercerahkan, kita juga punya tanggung jawab untuk memahami batas-batas dunia nyata. Teknologi bukan solusi universal untuk semua masalah. Kadang, yang dibutuhkan bukan helikopter, tetapi kaki yang kuat, hati yang tabah, dan keputusan-keputusan sunyi yang tidak terlihat kamera.

Tim SAR bukan pahlawan film laga. Mereka manusia biasa yang bekerja dalam tekanan, dalam bahaya, dan dalam kesunyian. Keputusan mereka untuk tidak menggunakan helikopter adalah bentuk keberanian dalam arti sesungguhnya: menolak jalan pintas demi keselamatan semua.

Akhirnya, Kita Hanya Bisa Menghormati

Kita boleh bersedih, berduka, dan kecewa atas kehilangan yang terjadi di Rinjani. Tapi jangan biarkan duka itu berubah menjadi tudingan yang tidak berdasar. Sebab di balik setiap keputusan lapangan, ada ratusan pertimbangan teknis, tanggung jawab moral, dan nyawa yang dipertaruhkan.

Semoga para penyintas diberi ketabahan. Semoga keluarga yang ditinggalkan menemukan kedamaian. Dan semoga kita semua belajar, bahwa dalam dunia yang penuh teknologi ini, keputusan paling bijak kadang justru adalah menapaki tanah dengan perlahan, bukan terbang tinggi melawan akal sehat. Salam untuk yang di gunung. Sejahteralah yang di bumi.

 

YAYA HIDAYAT (YAT LESSIE)

Pegiat SAR

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular