Sadarkah Anda bahwa di dalam bis atau gerbong kereta yang penuh sesak, ada kelompok orang yang sedang berjuang untuk berdiri dan bertahan diatas rasa nyeri tapi tak tampak sakit? Mereka adalah orang dengan autoimun seperti lupus, rheumatoid arthritis atau Sjogren syndrome yang mungkin walaupun sudah berupaya berdamai dengan sistem kekebalan tubuhnya masih memiliki keterbatasan dalam hal mobilitas misalnya naik turun bis atau berdiri terlalu lama. Gejala ketaktampakan seolah membutakan mata publik bahwa ada kelompok disabilitas lain yang berhak mendapatkan pengakuan dan penghormatan.
Lalu kepada siapa disabilitas tak tampak harus berlindung, sementara undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas sebagai payung hukum yang diharapkan dapat meminimalisir rintik diskriminasi, hanya menarasikan disabilitas sebagai orang dengan keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik?
Pengakuan vs Pengingkaran
Memang, mengungkapkan “Aku sakit” atau “aku tidak mau orang lain tahu kalau aku sakit” kepada orang lain menjadi konflik normatif bagi penyandang disabilitas tak tampak. Orang dengan disabilitas, ditandai dengan ketidakmampuannya dalam mobilisasi sehingga memerlukan tongkat atau kursi roda. Tapi bagaimana disabilitas tak tampak mengungkapkan identitas mereka sementara simbol-simbol yang ada bis kota misalnya, tidak mewakili ketidakmampuan mereka? Lalu bila simbol itu tak ada apakah berarti mereka tak layak menempati kursi prioritas?
Disinilah pengakuan dan pengingkaran berubah menjadi ketegangan. Artikel Javaid & Yusuf (2024) tentang invisible disability menekankan bahwa disabilitas tak tampak sering kali memunculkan stigma sosial dan krisis legitimasi. Kondisi dimana masyarakat cenderung memberi label sehat hanya dari tanda fisik yang tampak membuat penyintas menghadapi paradoks visibilitas dengan berbagai konsekuensi. Pengungkapan berisiko mendapat label “lemah” atau diskriminasi di ruang publik seperti sekolah, kampus, maupun tempat kerja. Sebaliknya bila mengingkari, mereka akan kehilangan akses dukungan dan akomodasi. Dari sini, kita bisa melihat bahwa apatisme terbesar justru bukan berasal dari kondisi medis, melainkan tatapan sinis dan penolakan dari lingkungan sekitar yang kurang memahami keberagaman gejala serta dampak penyakit autoimun bagi penderitanya.
Di Indonesia, penggunaan istilah “disabilitas tak tampak” menguat di ruang publik sejak 1 Juni 2025 kala Perhimpunan Reumatologi Indonesia (PB IRA) secara resmi meluncurkan lanyard bunga matahari (sunflower), sebagai penanda bahwa pengguna adalah penyintas autoimun dengan disabilitas tak tampak. Sunflower mulai dipopulerkan di Inggris sebagai simbol yang mewakili kondisi difabel yang tidak terlihat secara kasat mata (Safira, 2025). Walaupun istilah disabilitas tak tampak belum masuk kedalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tapi setidaknya simbol itu dapat memberikan isyarat kepada masyarakat bahwa pengguna memiliki keterbatasan fisik walaupun terlihat tidak sakit. Peluncuran lanyard itu juga sebagai momentum awal edukasi disabilitas tak tampak kepada masyarakat dengan konsekuensi pengungkapan identitas sakit untuk mendapatkan rekognisi kursi prioritas. Mengenakan lanyard adalah pilihan antara secara aktif dan sadar mengirimkan rekap medis kepada PB IRA untuk memvalidasi bahwa mereka memang menderita autoimun atau menutup rapat-rapat identitas dan bertahan dalam ruang ketaktampakan yang intoleransi.
Pertempuran filosofis dan sosial terjadi karena identitas disabilitas tak tampak tidak terkonfirmasi oleh kursi roda atau tongkat bahkan seringkali dianggap fiktif dan mengada-ngada. Stigma terlanjur berakar pada apa yang disebut sebagai “normalisme”, sebuah ideologi yang menetapkan tubuh “komplit” sebagai satu-satunya ukuran eksistensi yang sah sehingga disabilitas direduksi menjadi kegagalan biologis yang harus tampak. Maka ketika muncul identitas baru dari apa yang selama ini diyakini, para pejuang validasi sosial itu harus menjelaskan penderitaan yang tak terlihat demi mendapatkan rekognisi.
Eksploitasi Konsensus yang Memenjarakan
Jetstar, low-cost carrier dari Australia dalam laman resminya menegaskan, walaupun mengenakan lanyard tapi tidak berarti penyandang disabilitas tak tampak akan didampingi “secara pribadi” di bandara namun dapat meminta bantuan bila diperlukan. Artinya, hidden disability harus mengatakan, “aku tak mampu” maka baru akan mendapatkan bantuan. Untuk menganalisis konstruksi sosial yang memarjinalkan disabilitas tak tampak, kita dapat merujuk pada konsep hegemoni Gramsci (1971) yang menjelaskan mengapa kita membiarkan diri kita dimarjinalkan. Ada eksploitasi konsensus yang memenjarakan pandangan kita dan membuat kita merasa bersalah
saat mengambil hak yang telah dijamin oleh hukum yang telah ditetapkan. Dalam konteks ketidakmampuan, hegemoni visual mendidik masyarakat untuk memvalidasi disabilitas yang tampak jelas seperti pengguna kursi roda. Sementara penyandang disabilitas tak tampak dianggap sebagai pribadi manja, mengada-ada bahkan berupaya untuk mengambil keuntungan. Masyarakat dieksploitasi oleh sebuah konsensus tingkat tinggi sehingga semuanya menjadi subordinat yang aktif mendukung cara pandang atau konstruksi persepsi terhadap disabilitas. Dalam sebuah hegemoni, sesuatu terlihat sempurna alamiah (Gunawan, 2020). Konsensus yang berpelukan erat dengan ideologi normalisme merupakan bentuk diskriminasi terselubung karena penyandang disabilitas tak tampak dipaksa berperan menjadi subordinat yang aktif dan mendukung stigma yang berkembang di masyarakat. Keberadaan dan pengakuannya pun ditangguhkan karena aturan main hegemoni yang mensyaratkan bukti visual.
Berangkat dari penjelasan illness narrative yang sangat melelahkan, maka inisiatif untuk mengenakan lanyard menjadi solusi nyata perlawanan memecah hegemoni visual walaupun pengakuan hanyalah sebatas simbol individu dan belum menjadi simbol keterwakilan di ruang publik. Pengakuan resmi “disabilitas tak tampak” dalam regulasi dan kebijakan publik sejatinya diharapkan mampu mengubah “akal sehat” masyarakat bahwa dalam kerumunan ada kelompok disabilitas yang tidak terlihat dan memerlukan bantuan. Petugas transportasi umum juga perlu diberikan pelatihan khusus untuk mengakui dan memprioritaskan penyandang disabilitas tak tampak tanpa perlu interogasi rinci. Perjuangan penyintas autoimun sebagai disabilitas tak tampak untuk mendapatkan hak setara di transportasi umum adalah perjuangan filosofis untuk memperoleh pengakuan atas penderitaan nyata yang tak terlihat dan penghormatan atas keterbatasan tersembunyi.
CAMELIA ARIESTANTY
Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Airlangga