BLITAR – Poniyem adalah wanita paruh baya yang tengah dirundung duka. Ironisnya, warga Dusun Maguan RT 01 RW 01 Desa Soso Kecamatan Gandusari sudah 8 bulan menderita sakit kanker payudara. Poniyem selain tidak bisa melihat indahnya dunia karena merupakan seorang tunanetra juga hidup dalam keterbatasan ekonomi ini hanya berdua saja dengan Kasemi ibunya.
Menurut keterangan Kordinator Gerakan Sedekah Bebarengan (GSB), Teddy Lesmana, Poniyem menderita kanker di payudara kirinya dan belum pernah satu kalipun menerima penanganan medis karena keterbatasan biaya.
“Selama ini ia hanya diberi obat-obatan ala kadarnya saja. Seringkali tidak diobati karena uangnya hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari,” demikian keterangan yang diberikan Teddy Lesmana kepada redaksi cakrawarta.com, Sabtu (15/7/2017).
Teddy Lesmana menambahkan, melalui keterangan yang didapat relawan GSB di daerah Blitar, tenaga Kasemi juga makin rapuh karena faktor usia. Dirinya kebingungan untuk merawat anaknya itu.
“Kanker payudara yang diderita anak saya itu awalnya hanya seperti gatal-gatal biasa saja yang akhirnya tumbuh bintik kecil. Lalu membesar dan pecah,” imbuh Teddy Lesmana mengutip keterangan dari Kasemi.
Pria yang mengambil program doktornya di Amerika Serikat ini mengatakan, di Jawa Timur kasus serupa kerap ditemukan dan mayoritas memang kaum dhuafa. Pihak GSB selama ini bekerja sama dengan pihak kepolisian dan TNI untuk membantu program-program filantropi yang menjadi unggulan GSB.
“Saya sudah berkordinasi dengan relawan GSB di Polres Kediri yang menangani Blitar juga. Dari saya sudah meminta agar Ibu Poniyem segera dibantu terutama pengurusan pendaftaran kepesertaan BPJS agar bisa ditangani medis dengan baik,” paparnya.
Untuk diketahui, GSB merupakan program filantropis yang sebagian besar relawannya adalah aparat TNI dan Polri dan sudah melakukan banyak kegiatan sosial seperti membantu orang sakit dan butuh biaya, pembangunan masjid dan rumah kaum dhuafa, memberikan beasiswa dan bantuan modal bagi yang membutuhkan. Gerakan ini dirintis oleh seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Teddy Lesmana.
(bus/bti)