JAKARTA – Pengumuman mengenai pembukaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN dan RB) Asman Abnur dinilai melebihi kapasitasnya. Seperti dimuat oleh cakrawarta pada 12 Juli 2017 lalu dimana pendapat tersebut keluar dari pengamat politik nasional Rahman Sabon Nama.
Menurut Rahman Sabon, beberapa waktu yang lalu pemerintah melalui Kepala Biro Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian PAN dan RB, Herman Suryatman mengatakan bahwa pemerintah masih memberlakukan moratorium Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri terkait penundaan penerimaan CPNS.
Karenanya, Rahman Sabon mendesak Menteri PAN dan RB untuk segera mengklarifikasi pernyataannya pada Selasa (11/7/2017) terkait penerimaan 19.210 CPNS. Argumentasi Rahman Sabon adalah maraknya informasi terkait dibukanya seleksi penerimaan CNPS dari tahun 2016 hingga kini yang banyak beredar melalui sosial media yang telah menimbulkan keresahan dan pertanyaan dari masyarakat, terutama yang ingin melamar menjadi PNS.
“Padahal Menteri PAN dan RB kan jelas tidak bisa membatalkan moratorium hanya dengan Permen (Peraturan Menteri) tetapi harus melalui Kepres dari Presiden Joko Widodo dan setahu saya belum ada Kepres untuk pembatalan moratorium itu. Tolong perjelas hal ini. Jangan sampai masyarakat dirugikan,” ujar Rahman Sabon Nama kepada redaksi cakrawarta, Jumat (14/7/2017) siang.
Pria kelahiran Nusa Tenggara Timur ini justru mempertanyakan apakah kasus ini menunjukkan bahwa Asman Abnur sebagai menteri gagal paham atau memang malah ada motif politik tertentu untuk memperburuk kepercayaan publik pada pemerintahan presiden Jokowi-JK.
Karenanya, menurut Rahman Sabon, pernyataan Asman Abnur selaku Menteri PAN dan RB sangat menyesatkan dan justru menjadi kontradiktif dengan pernyataan Herman Suryatman selaku bawahannya sendiri.
Pria yang juga pengurus pusat DPP HKTI ini mengaku menerima keluhan dari seorang pendeta dari Kalimantan Selatan yang datang menemuinya karena adanya isu terkait info penerimaan CPNS tersebut. Sang pendeta berkeinginan membantu jemaat gerejanya dengan merekrut mereka menjadi CPNS tetapi tertipu oleh mafia sehingga dirinya harus mengembalikan uang puluhan miliar yang telah diterimanya untuk biaya perekrutan calon PNS tersebut.
Ia juga mengaku menerima keluhan mengenai nasib dari tenaga honorer di kantor Kementerian Agama Kabupaten Jombang. Bahkan ada beberapa guru honorer dan tenaga kesehatan kesehatan dari Nusa Tenggara Timur yang mengeluhkan nasibnya pada dirinya bahwa mereka hanya menerima honor sebesar Rp 150.000 per bulan.
“Ini kan sangat memprihatinkan. Dimana honor mereka justru sama nilainya dengan ongkos membayar uang parkir menginap di Jakarta,” imbuh Rahman Sabon dengan nada prihatin.
Lebih jauh, pria yang juga menjadi Ketua Umum APT2PHI ini, mengaku menerima keluhan masyarakat yang hampir putus asa karena telah mengabdi dan hampir pensiun tetapi belum juga diangkat menjadi PNS oleh pemerintah. Hal serupa datang dari Aceh dan Jawa Barat khususnya dari tenaga penyuluh pertanian.
“Setahu saya kan Pemerintah akan mengangkat 1,879 juta orang tenaga pegawai honorer yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia untuk menjadi PNS. Lah ini kok malah membuka lowongan CPNS baru. Nasib tenaga honorer justru terbengkalai. Nasibnya kian tak jelas. Bukankah lebih baik jika mereka didahulukan untuk diangkat. Saya kira Menteri PAN dan RB wajib lakukan klarifikasi. Jika tidak, citra pemerintahan Jokowi-JK akan makin buruk,” tandasnya.
(bm/bti)