Tuesday, December 16, 2025
spot_img
HomeSosokMayjen TNI Farid Makruf: Dari Medan Operasi ke Pelukan Orang Tua

Mayjen TNI Farid Makruf: Dari Medan Operasi ke Pelukan Orang Tua

Momen ketika Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, MA pulang dan bertemu sang ayah di tanah kelahirannya, Bangkalan Madura, beberapa waktu lalu. (foto: Sarifah Latowa)

BANGKALAN, CAKRAWARTA.com – Di medan operasi, Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, M.A. adalah jenderal yang tegas. Ia pernah memimpin ribuan prajurit, menembus hutan Sulawesi memburu kelompok bersenjata, hingga berdiplomasi di forum internasional. Namun setiap akhir pekan, sosok keras itu berubah. Ia menempuh ratusan kilometer dari Jakarta ke Madura, hanya untuk pulang sehari semalam. Bukan untuk tugas, bukan untuk seremonial, melainkan untuk menjadi anak bagi ayah dan ibunya.

“Setinggi apapun jabatan, di depan orang tua kita hanya seorang anak,” ucapnya lirih.

Kursi Roda dan Operasi Militer

Tahun 2020, Farid menjabat Danrem 132/Tadulako. Ia turun langsung ke hutan Poso memimpin Operasi Madago Raya, memburu kelompok teroris MIT pimpinan Ali Kalora. Hari-harinya penuh strategi, patroli, dan risiko nyawa.

Namun setiap akhir pekan, dari medan yang keras itu, ia pulang ke rumah sederhana di Petrah, Tanah Merah, Madura. Di sana, ia mendorong kursi roda ayahnya yang terkena stroke. Tangannya yang biasa memegang peta operasi kini bergerak hati-hati, memastikan roda kursi tak tersandung kerikil halaman rumah.

Di ruang tamu, ia duduk bersila di lantai, tertawa kecil sambil bercanda dengan sang ayah. Wajahnya yang keras di barisan prajurit, luluh menjadi anak penuh kelembutan.

“Pintu surga saya ada pada kedua orang tua,” katanya.

Gempa Lombok dan Dapur Ibu

Pada 2018, Lombok diguncang gempa besar. Sebagai Komandan Satuan Tugas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad), Farid memimpin pembangunan 47.000 rumah bagi warga. Ia terbiasa memberi perintah tegas, memacu pasukan bekerja cepat di bawah tekanan.

Namun setiap kali pulang ke Madura, ia tak segan berdiri di dapur, menemani ibunya yang renta menyiapkan makanan. Tubuh tegapnya kontras dengan sosok sang ibu yang kecil namun cekatan. Ia memperhatikan setiap gerakan tangan ibunya, kadang menepuk lembut punggungnya.

Kebahagiaan Mayjen TNI Dr Farid Makruf bersama sang ibunda di rumahnya yang sederhana namun asri dan hangat di Bangkalan Madura beberapa waktu lalu. (foto: I Made Wisuda Sari)

“Kalau pulang, Farid itu tidak pernah minta dilayani. Malah sering membantu saya,” ujar ibunya dengan senyum haru.

Di dapur sederhana itulah, jenderal itu kembali menjadi anak.

Misi Perdamaian dan Lagu Kenangan

Pada 2003–2004, saat berpangkat Kapten, Farid dikirim ke Sierra Leone dalam misi perdamaian PBB (UNAMSIL). Ia menyaksikan langsung luka perang: desa-desa yang hancur, anak-anak kehilangan orang tua. Dari sana ia belajar arti kemanusiaan.

Kini, setiap kali pulang ke Madura, ia sering memutarkan lagu-lagu kesayangan ayahnya. Nada sederhana itu menjadi penawar. Jika di Sierra Leone ia belajar mengobati luka orang lain, di rumah ia berusaha mengobati sunyi ayahnya.

Gelar Doktor dan Sehari Semalam

Tahun 2024, Farid menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Tadulako hanya dalam 1 tahun 11 bulan 5 hari, dengan IPK 3,99. Rekannya di kampus sering heran, bagaimana ia bisa belajar sekeras itu sambil menjalankan tugas berat.

“Bapak itu kalau belajar sangat disiplin, waktunya diatur ketat. Tapi tiap akhir pekan tetap pulang. Belajar boleh keras, tapi bakti pada orang tua tidak pernah ditinggalkan,” kata seorang rekan kuliahnya.

Bagi Farid, pulang sehari semalam adalah janji batin. Janji untuk merawat akar, untuk tidak melupakan siapa dirinya.

Saat ini, Farid menjabat Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sumber Kekayaan Alam Lemhannas. Pangkat dan jabatan terus datang silih berganti. Namun di atas semua itu, ia tahu ada sesuatu yang lebih abadi: doa orang tua.

“Saya berdiri di sini bukan karena keajaiban, tapi karena kerja keras dan doa orang tua,” ujarnya.

Itulah sebabnya, setiap akhir pekan, ia selalu pulang. Menempuh perjalanan panjang demi sehari semalam yang tak ternilai.

Di medan operasi, ia adalah jenderal. Di ruang kuliah, ia doktor. Tetapi di rumah Petrah, Farid hanyalah anak. Anak yang tak ingin kehilangan doa orang tua.

“Pangkat dan jabatan itu sementara. Tapi pelukan orang tua, itulah kemenangan yang sesungguhnya,” tegasnya mengakhiri keterangan. (*)

Kontributor: Sarifah Latowa

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular