Entah apa yang ada dalam pikiran para pejabat negara ini. Entah apa juga yang direncakan Pemerintah ini terhadap masa depan Masela yang bertabur kekayaan dan kesejahteraan di perut buminya yang meski sudah dikuasai asing dan bahkan dengan bangga kita pasrahkan diri pada penguasaan asing.
Bangsa ini terbelah sikapnya mulai dari Presiden yang tidak tegas, Wapres yang tertawa atas konflik menterinya, menteri-menteri yang gaduh bekerja untuk perut sendiri, kaum cerdik pandai cendikia larut dalam konflik dukung mendukung onshore dan offshore bukan karena ideologi kenegaraan tapi kepentingan perut yang berpihak pada teman yang berkuasa. Di iedisi akhir ada masyarakat yang juga terbelah meski tidak paham apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan cenderung terbuai mimpi janji-janji kosong bagai cerita dongeng.
Penentuan nasib Masela yang tak kunjung putus adalah cerminan sesungguhnya betapa Pemerintah ini tidak paham tentang bagaimana membangun Indonesia, tidak paham makna Pasal 33 UUD 45 asli, dan paling memprihatinkan adalah bahwa konflik ini menunjukkan bahwa Pemerintah ini memang amburadul dan tidak mampu me-manage dirinya menjadi sebuah tim kerja yang solid, kuat dan satu visi.
Presiden pernah menyampaikan bahwa tidak boleh ada visi lain, yang ada hanya visi Presiden, tapi entah kemana Presidennya dan entah apa yang terjadi pada Presiden. Kenapa Presiden mengangkat menteri yang ternyata tidak paham visi Presidennya dan ternyata punya visi sendiri. Dalam konflik Masela, ada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mungkin saja merasa sudah sesuai dengan visi Presiden karena memang tidak pernah ditegur oleh Presiden, satu lagi Menko Maritim yang merasa juga bekerja untuk rakyat tapi sudah beberapa kali kontroversial dan bahkan ditegur Presiden salah satunya terkait listrik 35 GW.
Sekarang pertanyaannya apa sebetulnya visi Presiden untuk energi terutama Blok Masela? Kenapa Presiden tidak juga tegaskan sikapnya tentang Masela agar para menterinya yang sok bekerja untuk rakyat itu paham secara gamblang keinginan Sang Presiden? Atau kalau memang salah satu dari dua menteri tersebut tidak sevisi dengan Presiden kenapa tidak diganti saja? Entahlah. Presiden kenapa tidak juga tegas sementara Wapres malah menertawakan konflik ini dan seraya tidak mengakui adanya Kemenko Maritim.
Kembali ke Masela, kajian sudah banyak beredar tentang masa depan wilayah kayak minya ini. Semua mengklaim paling benar dan lawan argumennya adalah salah dan menipu. Publik pasti heran dengan berbagai macam kajian serta opini yang timbul yang mana keduanya merasa paling benar. Untuk itu mari kita tinjau dari sudut pandang awam saja supaya kita bisa punya sikap terkait Blok Masela.
Ada beberapa indikator ringan dan mudah yang mestinya menjadi acuan bagi menentukan masa depan Masela. Yang pertama adalah faktor investasi yang lebih murah, karena investasi yang lebih murah akan memberikan keuntungan yang lebih besar. Yang kedua adalah faktor waktu mulai beroperasi, ini sangat penting karena kita butuh Masela segera memberikan hasil bagi negara, dengan demikian mana yang lebih pasti waktunya jika dibangun di darat atau di laut maka itulah yang harus dipilih. Yang ketiga, faktor hambatan, kita harus memilih hambatan mana yang kebih kecil dalam pembangunannya supaya ada kepastian yang lebih masuk akal dalam target operasinya.
Ketiga faktor tersebut ini, penulis nilai cukup menjadi faktor penentu masa depan Masela karena memang bicara tentang gas yang harus diambil dan segera dimanfaatkan dan bukan bicara tentang industri lainnya yang menjadi tanggung jawab negara.
Bagaimana dengan multiplier effect yang selama ini menjadi senjata utama pendukung onshore? Mari kita cermati seluruh wilayah di Republik ini, semua wilayah migas maupun tambang yang selalu menjanjikan kesejahteraan terutama bagi masyarakat lokal ternyata hanya isapan jempol belaka karena kebijakan pemerintah tidak mendukung kearah sana. Di sisi lain, bagi investor yang menguasai sumber daya alamnya tidak peduli dengan itu semua. Mari kita lihat Papua dengan Freeport, Kalimantan dengan Mahakam, Riau dengan Cevron, Aceh dengan Arun dan lain lain yang tidak perlu kita jelaskan satu persatu. Multiplier effect hanya janji kosong jika tanpa kebijakan kompeherensif. Kepulauan Maluku tentu akan bangkit jika diputuskan untuk membangun industri lainnya berbahan baku gas yang diambil dari Masela, terlepas itu dari FLNG atau OLNG. Darat akan hidup jika industrinya dibangun secara real dan bukan dengan janji kosong bagai dongeng. Kalau hanya mengharapkan warung yang tumbuh, ya sama saja kita ini sangat culas hanya berharap warung yang tumbuh jika Masela dibangun di darat.
Jika demikian, untuk apa segala perdebatan yang ada ini menjadi konsumsi publik dan membuat gaduh? Sangat tidak perlu apabila Presiden segera putuskan paket kebijakan tentang Masela yang lengkap dan kompeherensif. Bangun Masela di darat atau dilaut sekaligus dengan rencana pembangunan industri lainnya didarat. Mari bijak, jangan ikut bodoh dan menjual diri hanya karena dukung mendukung teman atau sahabat. Ini negara bukan kumpulan arisan pertemanan. Kami minta Presiden segera bersikap tegas atau bangsa ini akan menjadi bangsa lelucon. Jangan biarkan Masela hanya sebagai ladang yang memproduksi pertikaian, tapi jadikan Masela sebagai ladang yang mampu mengangkat derajat hidup negara terutama kawasan Maluku.
FERDINAND HUTAHAEAN
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia