Thursday, February 13, 2025
spot_img
HomeGagasanMartial Law Korea Selatan, Pelajaran Bagi Indonesia

Martial Law Korea Selatan, Pelajaran Bagi Indonesia

Deklarasi darurat militer oleh Presiden Yoon Suk Yeol baru-baru ini mengejutkan publik sekaligus menandai momen krisis dalam sejarah demokrasi Korea Selatan modern. Langkah ini bukan hanya membangkitkan trauma kolektif masyarakat yang pernah hidup di bawah pemerintahan otoriter, tetapi juga memicu perdebatan sengit tentang masa depan politik negara tersebut. Dalam waktu singkat, parlemen berhasil membatalkan deklarasi ini, menunjukkan kekuatan institusi demokrasi di Korea Selatan kini tengah diuji. Peristiwa ini membuka pertanyaan mendalam tentang keseimbangan antara kekuasaan eksekutif dan pengawasan legislatif, serta dampaknya terhadap stabilitas regional dan hubungan Korea Selatan dengan Amerika Serikat yang senantiasa mempromosikan demokrasi.

Sejarah menunjukkan bahwa darurat militer sering kali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan di tengah gejolak politik. Namun dalam iklim demokrasi modern, tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran prinsip-prinsip dasar tata kelola yang transparan dan akuntabel. Muncul pertanyaan ketika deklarasi Yoon merupakan upaya terdesak menghadapi tekanan politik internal atau indikasi ketidakmampuan pemerintahannya dalam mengelola tantangan. Risiko otoritarianisme dapat terus mengintai, bahkan di negara-negara dengan demokrasi mapan seperti Korea Selatan di hadapan negara-negara Asia. Korea Selatan harus segera memulihkan kredibilitasnya sebagai tolok ukur demokrasi di Asia Timur.

John Locke dan Diskresi Cabang Eksekutif

Kekuasaan eksekutif tentu memiliki batasan yang harus diatur di dalam sebuah negara. Pada suatu kondisi memang terdapat kebijakan yang sifatnya diskresi ketika suatu negara mengalami fase darurat. Namun, masalah yang muncul adalah bagaimana menentukan suatu kondisi apakah benar-benar dalam keadaan darurat, sehingga diskresi itu dapat tercipta. Di Indonesia, misalnya, Presiden memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) apabila terdapat situasi yang mendesak dan tidak memungkinkan untuk menunggu proses legislasi normal di DPR. Namun, pertanyaan mendasar yang muncul adalah bagaimana memastikan bahwa kondisi “darurat” tersebut benar-benar obyektif dan tidak sekadar menjadi alat justifikasi politik eksekutif.

Pada teori trias politika John Locke, kekuasaan eksekutif memang memiliki ruang diskresi untuk bertindak cepat dalam situasi luar biasa. Tetapi dengan tetap tunduk pada prinsip checks and balances demi mencegah penyalahgunaan wewenang. Di Indonesia, definisi darurat sering kali menjadi area abu-abu yang rawan disalahgunakan. Misalnya, saat Presiden mengeluarkan Perppu yang mengatur aspek-aspek tertentu dengan alasan urgensi, namun kemudian mendapat kritik bahwa kondisi darurat tersebut tidak cukup jelas atau seharusnya bisa diatasi melalui jalur regulasi biasa. Dalam situasi semacam ini, batasan kekuasaan eksekutif menjadi kabur, dan potensi sentralisasi kekuasaan semakin besar apabila tidak ada pengawasan yang ketat dari legislatif atau yudikatif.

Merujuk pada ideal Locke, diskresi hanya dapat dijalankan selama tetap berpijak pada konstitusi dan tidak melanggar hak-hak dasar rakyat. Oleh karena itu di Indonesia, mekanisme pengujian terhadap Perppu oleh Mahkamah Konstitusi menjadi sangat penting sebagai batasan yuridis. Proses ini diharapkan dapat menguji keabsahan kebijakan yang diambil dalam situasi darurat. Namun, pertanyaannya tetap muncul: sejauh mana proses pengujian ini dapat menjamin independensi lembaga-lembaga negara, dan sejauh mana lembaga-lembaga negara sudah cukup kuat untuk melindungi prinsip demokrasi.

Pengalaman Korea Selatan memberikan pelajaran penting bagi negara-negara Asia tentang bahaya yang mengintai ketika kekuasaan eksekutif menggunakan dalih kedaruratan untuk memperkuat kontrolnya. Martial law yang diterapkan oleh Presiden Korea Selatan menunjukkan bagaimana istilah “darurat” dapat dengan mudah digunakan untuk menangguhkan kebebasan sipil, mengurangi transparansi, dan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. Tindakan ini tidak hanya membahayakan tatanan demokrasi namun juga membuka jalan bagi otoritarianisme yang terbungkus dalam legitimasi hukum.

Di Asia, yang sejarahnya dipenuhi dengan tantangan terhadap demokrasi dan kekuasaan yang cenderung otoriter, kasus ini memberikan suatu pelajaran penting. Demokrasi yang sehat tidak hanya membutuhkan institusi yang kuat, tetapi juga masyarakat yang waspada terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan eksekutif. Tanpa pengawasan ketat dan kontrol dari lembaga legislatif, peradilan, dan masyarakat sipil, istilah kedaruratan dapat menjadi alat yang ampuh untuk membungkam oposisi, mengendalikan media, dan bahkan melibatkan militer dalam ranah sipil. Pengalaman Korea Selatan seharusnya menjadi pengingat bahwa demokrasi, betapa pun mapannya, selalu rentan terhadap erosi jika prinsip-prinsip dasarnya diabaikan atas nama stabilitas atau keamanan nasional.

Refleksi Indonesia

Pengalaman Korea Selatan memberikan pelajaran penting bagi Indonesia tentang perlunya batasan tegas terhadap kekuasaan eksekutif dalam konteks kedaruratan. Ketika istilah “darurat” digunakan tanpa pengawasan yang memadai, potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi semakin besar, terutama di negara yang masih menghadapi tantangan dalam memperkuat demokrasi. Indonesia, dengan sejarah pemerintahan otoriter dan transisi demokrasi yang relatif baru, harus waspada terhadap bahaya sentralisasi kekuasaan di tangan eksekutif atas nama stabilitas atau keamanan nasional.

Penting bagi Indonesia untuk memperkuat mekanisme pengawasan terhadap kebijakan darurat, seperti Perppu, agar tidak menjadi alat politik yang mengancam demokrasi. Mekanisme ini harus melibatkan DPR sebagai pengawas utama dan memastikan Mahkamah Konstitusi tetap independen menguji dasar hukum kebijakan. Masyarakat sipil dan media harus diberdayakan untuk memantau serta mengkritisi setiap langkah eksekutif yang berpotensi melemahkan institusi demokrasi. Seperti yang terjadi di Korea Selatan, kewaspadaan publik dan transparansi institusi menjadi kunci untuk mencegah kembalinya pola otoritarianisme yang dapat merusak demokrasi.

Indonesia harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang mengatasnamakan kedaruratan benar-benar didasarkan pada kepentingan rakyat, bukan sekadar digunakan sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan. Demokrasi yang sehat hanya dapat terwujud jika kekuasaan eksekutif tetap berada dalam pengawasan ketat lembaga-lembaga negara yang independen, serta diimbangi oleh nalar kritis dan partisipasi masyarakat. Pembelajaran dari Korea Selatan seharusnya mendorong Indonesia untuk tidak hanya menjaga demokrasi, tetapi juga memastikan bahwa meski dalam situasi darurat nilai-nilai dasar dalam tata kelola pemerintahan tidak dapat diganggu gugat. Semoga saja.

 

PROBO DARONO YAKTI

Dosen Hubungan Internasional FISIP UNAIR

Direktur CNDSS

Deputi Direktur Program Emerging Indonesia Project

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular