Friday, March 29, 2024
HomeGagasanLRT di Mata Wakil Presiden

LRT di Mata Wakil Presiden

(foto: antara)

 

LRT atau Light Rail Transit atau dalam bahasa Indonesianya Lintas Rel Terpadu adalah salah satu sistem Kereta Api Penumpang yang beroperasi di kawasan perkotaan yang konstruksinya ringan dan bisa berjalan bersama lalu lintas lain atau dalam lintasan khusus, disebut juga trem.

Prinsipnya LRT, sama saja dengan MRT dan KRL, hanya perbedaan pada kemampuan mengangkut penumpang. LRT hanya 3 gerbong (sekitar 600 penumpang), MRT dapat sampai 6 gerbong (1.200 penumpang) dan KRL bisa mencapai 10 gerbong (sekitar 2.000 penumpang). Sedangkan lebar rel yang digunakan ukurannya sama supaya dapat tersambung antara ketiga moda transportasi tersebut.

Untuk KRL, umumnya beroperasi diatas tanah, dibawah tanah, dan jika masuk kota dapat berupa elevated, untuk mencegah traffic jump di persimpangan jalan. MRT ada dua pilihan yaitu elevated dan di bawah tanah. Untuk LRT karena umumnya beroperasi di dalam kota lintasannya secara elavated. Tetapi jika beroperasi ke arah luar kota (pinggiran kota) wilayah urban, akan lebih efisien jika diatas tanah (at grade) karena tanah yang relatif murah dan masih ada lahan kosong, dan pada lokasi-lokasi tertentu dapat menggunakan lintasan elavated.

LRT Jabodetabek

Saat ini sedang dibangun lintasan LRT Jabodetabek. Saya sebagai penduduk yang bermukim di daerah Cibubur, setiap hari ke Jakarta melalui Tol Jagorawi mengikuti tahapan dan perkembangan pembangunan LRT Jakarta–Cibubur.

Pengamatan saya, pembangunan LRT tersebut memang dibutuhkan, untuk mengurai beban jalan Tol Jagorawi yang sudah semakin padat pagi, sore dan malam hari. Dengan LRT, penduduk sekitar Cibubur yang bekerja di Jakarta, akan sangat senang mengandangkan mobilnya di rumah.

Tetapi ada pertanyaan yang membatin sejak dibangunnya LRT, yaitu terlalu tingginya rail layang yang dibangun (elevated). Pikiran sederhana saya adalah kalau LRTnya mogok, apa tidak stress penumpang di ketinggian tersebut. Apa lagi kalau situasi hujan lebat dan angin kencang dan padam listrik.

Pengamatan mata saya, tiang-tiang penyanggahnya “agak kurusan” apa cukup kokoh untuk menopang bentangan lintasan LRT tersebut. (tapi hanya perasaan saya saja tidak perlu dihiraukan, tentu konsultannya sudah memperhitungkan kekuatan kontruksi LRT tersebut).

Pertanyaan berikutnya yang juga muncul di kepala saya, adalah kenapa dibuat model elevated dengan menjulang tinggi, kenapa tidak diatas tanah (at grade) yang saya lihat tanahnya cukup lebar di sebelah kiri dan kanan tol Jagorawi yang kosong dan tentunya milik Pemerintah. Kalaupun ada pembebasan tanah di beberapa titik tertentu. Berikan ganti untung, dan ditembok rapi, pasti warga tidak keberatan.

Contoh yang pernah saya lihat adalah beberapa kota di Turki, LRTnya berendeng dengan jalan–jalan utama, dan tertata dengan baik. Membawa 3 gerbong hilir mudik, mengangkut penumpang.

Mahalnya Biaya LRT

Apa yang saya pikirkan tentang besarnya biaya LRT dalam lintasan elevated Cawang-Cibubur, sudah mendapatkan perbandingan dengan pembangunan LRT Palembang. Untuk jarak 23,5 KM, diperlukan biaya sekitar 10,9 triliun. Berarti untuk setiap 1 KM, diperlukan biaya sebesar Rp 465 miliar atau Rp 465 juta per meter.

Semula info yang diperoleh biaya LRT tersebut adalah 12,5 triliun dengan 13 stasiun, dan jarak 24 kM (Rp 520 miliar per 1 KM) tetapi ada upaya penghematan sekitar Rp 55 miliar per 1 KM). Apakah penghematan ini terkait dengan tudingan Pak Prabowo adanya mark up LRT Palembang, hanya Pemerintah yang dapat menjawabnya.

Waktu itu (Juni 2018), Pemerintah membantah adanya mark up, bahkan LBP, sebagai Menko Maritim akan mencium kaki Fahri Hamzah yang mendukung tudingan Pak Prabowo adanya mark up. LBP pasang badan dengan menyatakan hitungan biaya sudah benar tidak ada yang salah.

Kemarahan Wakil Presiden

M. Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI, yang setia mendampingi Presiden Jokowi selama 4 tahun pemerintahan, memberikan komentar yang mengangetkan tentang pelaksanaan pembangunan LRT Jabodetabek.

Kegundahan pemikiran yang selama ini mengendap dalam benak saya, setiap melihat jejeran tiang beton lintasan LRT di pinggir jalan Tol Cibubur-Cawang kembali mencuat setelah membaca berita Pak JK marah-marah karena terlalu mahalnya nilai pekerjaan lintasan LRT Jabodetabek dengan nilai biaya Rp 500 Miliar per 1 KM.

“Jangan asal bangun saja,” ujar JK di hadapan para konsultan dalam pembukaan Rapat Koordinasi Pimpinan Nasional Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat, 11 Januari 2019.

Menurut JK, inefisiensi bisa dilihat dari keputusan pembangunan rel secara melayang. Padahal, harga tanah yang tidak terlalu mahal di perbatasan Jakarta dan wilayah-wilayah di luar Jakarta bisa membuat pembangunan rel reguler dilakukan dengan lebih murah.

“Kalau di luar kota, lahan masih murah kok. Masa, penduduk tidak ada, kenapa mesti (dibangun) elevated di luar kota?” ujar JK.

“Buat apa elevated kalau hanya berada di samping jalan tol?” ujar JK menunjuk keanehan yang terjadi.

“Bangun LRT ke arah Bogor dengan elevated. Ya buat apa elevated kalau hanya berada di samping jalan tol. Dan biasanya itu tidak dibangun bersebelahan dengan jalan tol, harus terpisah,” kata dia di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (11/1), dikutip dari detik.com.

JK juga menegaskan bahwa model elevated dinilai juga memakan biaya konstruksi yang sangat mahal mencapai Rp 500 miliar/kilometer sehingga dinilai tak efisien dan membuat waktu pengembalian modal yang lebih lama.

“Siapa konsultannya ini yang bikin ini, sehingga biayanya Rp 500 miliar per kilometer. Kapan kembalinya (modalnya)? Kalau dihitungnya seperti itu,” tandas dia.

Menurut rencana, lintasan LRT ini akan memiliki panjang 43,3 kilometer yang akan membelah Cawang-Cibubur (14,3 kilometer), Cawang-Bekasi Timur (18,5 kilometer) dan Cawang-Dukuh Atas (10,5 kilometer). Sementara untuk pembangunannya diperkirakan akan memakan dana sampai dengan Rp 29,9 triliun.

Kalau menggunakan hitungan biaya di atas, berarti biaya per KM bukan lagi Rp 500 miliar tetapi lebih besar lagi yaitu Rp 690.531.177.829 (Rp 690 miliar lebih).

Dari apa yang disampaikan JK, ada persoalan pokok yang memang perlu digali lebih lanjut. Yaitu siapa sebenarnya yang mengarahkan dan memerintahkan sehingga konsultan perencananya menyusun rencana lintasan LRT Jabodetabek dengan model elevated, sehingga memerlukan biaya yang besar untuk komponen konstrtuksi.

Jika dibangun dengan rel diatas tanah (at grade) di pinggir sepanjang jalan Tol yang masih milik pemerintah, tentu biaya konstruksi akan lebih murah, termasuk teknologinya, waktu pelakanaan, dan resiko konstruksi yang lebih minimal. Kalaupun ada pembebasan tanah dibeberapa lokasi-lokasi tertentu saja.

Pihak PT Adhy Karya rupanya tidak mau disalahkan, dan membantah kemahalan biaya lintasan LRT tersebut. Direktur Operasional Adhi Karya Punjung Setya Brata menyebut, biaya proyek yang digarap oleh perseroannya masih kompetitif dibandingkan negara lain.

“Kalau bicara per kilometer Rp 500 miliar, dibandingkan dengan MRT dan sebagainya, apalagi dibandingkan di Singapura, harga kami cukup kompetitif,” kata Setya, di Pabrik Precast LRT Jabodebek, Pancoran Jakarta Selatan, Senin (14/1/2019).

Selain itu, kata Setya, harga tersebut wajar sebab proyek LRT menggunakan konstruksi jalan layang atau elevated di beberapa wilayah. Pemilihan jenis konstruksi ini didasarkan pada pertimbangan ketersediaan lahan.

Beberapa wilayah yang tidak bisa dibangun secara at grade atau di atas timbunan tanah, kata Setya, adalah lintas Cibubur-Cawang-Dukuh Atas serta lintas Cawang-Bekasi Timur.

Khusus untuk lintas Cibubur-Cawang, dalam pengamatan saya sehari-hari, seharusnya bisa dilakukan dengan at grade, karena tiang elevated yang dipancangkan berada diatas tanah milik pemerintah, yang cukup lebar di kiri-kanan jalan. Ada kesan alasan terlalu mengada-ngada dan tidak sesuai dengan fakta dilapangan.

Hal yang berbeda, dan seperti membenarkan kejengkelan JK, disampaikan oleh LBP. Menko ini membenarkan bahwa proyek LRT memang mahal. Karena itu, kata dia, untuk LRT fase II yang menghubungkan Jakarta-Cibubur-Depok-Bekasi diusahakan untuk ditekan agar biayanya lebih murah.

Sebab, rute tersebut akan dibangun normal seperti kereta dan tidak menggunakan lintasan layang atau elevated melainkan di atas permukaan tanah (at grade).

“Pembangunan LRT Cibubur, Depok akan [dibangun] di bawah, harganya akan di bawah Rp 500 miliar per kilometer. Kami belum tahu pasti bisa lebih dari setengah,” kata Luhut.

Soal mahal atau tidaknya biaya pembuatan lintasan LRT memang memerlukan kajian dan hitungan yang mendalam oleh mereka pihak yang merencanakan dan menghitung satuan biayanya.

Dari berbagai sumber data yang diperoleh, biaya konstruksi di beberapa negara berbeda. Di Ethiopia misalnya, LRT yang digunakan dikenal dengan nama Addis Ababa Light Rail yang berlokasi di Addis Ababa. Dengan panjang 31,6 km, LRT ini dibangun dengan biaya USD 475 juta atau sekitar Rp 6,65 triliun. Jadi per 1 KM memakan biaya Rp 210 miliar.

Sementara itu, di China, LRT Xijiao Line di Beijing dengan panjang 8,8 km dibangun dengan biaya RMB 1 miliar atau sekitar USD 153,69 juta atau Rp 2,15 triliun jika dikonversi lagi ke rupiah (kurs Rp 14.000). Dengan jumlah tersebut, maka biaya pembangunan LRT Xijiao Line berkisar USD 17,46 juta/km atau Rp 244 miliar per KM.

Jerusalem Light Rail di Israel sepanjang 13,9 km yang dibangun dengan biaya USD 1,1 miliar atau sekitar Rp 15,4 triliun (kurs Rp 14.000). Dengan total biaya tersebut, maka biaya pembangunan Jerusalem Light Rail setiap kilo meternya mencapai USD 79,9 juta.atau sekitar Rp 1,1 triliuun per KM. Biaya pembangunan yang fantastis untuk jarak sependek itu pun sempat menimbulkan banyak protes. Pembangunan Jerusalem Light Rail dimulai 2002 dan baru dioperasikan penuh pada 2011.

Sedangkan di Amerika Serikat, The Tide Light Rail di Virginia, Amerika Serikat juga menggunakan sistem light rail. Dengan jalur sepanjang 12 km, konstruksinya menelan biaya USD 318 juta atau sekitar Rp 4,45 triliun (kurs Rp 14.000). Total biaya sekitar US$ 26,5 juta. atau sama dengan Rp. 371 miliar per KM.
Sebagai informasi tambahan, di seluruh Amerika Serikat, kecuali Seattle, biaya pembangunan LRT rata-rata sebesar US$22 juta per km atau Rp 308 miliar per KM.

Ada pula Taiwan. Circular LRT di Kaohsiung sepanjang 22,1 km yang dibangun dengan biaya TWD 16,5 miliar atau sekitar USD 545 juta atau sekitar Rp 7,63 triliun (kurs Rp 14.000). Setiap km nya memerlukan biaya USD 24,6 juta, atau sama dengan Rp 344 miliar per KM.

Untuk Spanyol ada Granada Metro. Panjangnya mencapai 15,9 km dan membutuhkan biaya pembangunan sebesar 502 juta euro atau sekitar USD 584 juta atau Rp 8,17 triliun (kurs Rp 14.000). Total biayanya mencapai US$ 36,72 juta/km atau Rp 514 miliar per KM.

Terakhir ada Rio de Janeiro Light Rail di Brazil. Proyek sepanjang 28 km biaya pembangunannya mencapai US$ 351 juta atau sekitar Rp 4,91 triliun (Rp 14.000). Biaya setiap km nya mencapai USD 12,53 juta. Atau sekitar Rp 175 miliar per KM.

Dari 7 negara tersebut diatas, ada 2 negara yang biaya konstruksi LRT melampui Indonesia, yaitu Israel dan Spanyol (diatas Rp 500 miliar per KM,), selebihnya jauh di bawah Rp 500 miliar yaitu terendah Brasil Rp 175 miliar dan tertinggi Amerika Serikat Rp 371 miliar

Dari negara-negara tersebut, tidak didapat informasi berapa persen dari panjang jalan yang menggunakan konstruksi elevated atau menggunakan at grade.

Ada hal yang menarik dengan kejengkelan atau kemarahan Wakil Presiden dengan kebijakan pemerintah membuat model elevated LRT Jabodetabek, (yang seharusnya dapat dilaskukan dengan model at grade) yang mengakibatkan dua hal yaitu tingginya biaya konstruksi dan terkesan adanya kemahalan satuan harga per KM dibandingkan dengan standar biaya dunia.

Hal menarik bagi saya, Wakil Presiden merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri. Berarti ada perbedaan pandangan antara Presiden dengan Wakil Presidennya. Sebab kita tidak ada mendengar kemarahan yang sama dari Pak Jokowi yang menempatkan pembangunan infrastruktur menjadi keunggulan pemerintahnya.

Kedua, kenapa kemarahan Pak JK baru sekarang diungkapkan. Pembangunannya sudah berjalan 2 tahun, apakah selama ini tidak terlibat atau dilibatkan dalam rapat-rapat kabinet terkait pembangunan infrastruktur.

Ketiga adalah adanya kesan “membantah” dari Direksi PT. Adhy Karya atas tegoran Wakil Presiden. Secara struktur organisasi atasan Direksi adalah Menteri BUMN. Kenapa Menteri BUMN tidak cepat merespon. Yang cepat merespon adalah LBP , Menko Maritim. Apakah Menteri BUMN berlindung dibalik badan LBP. Dan LBP dengan senang hati siap pasang badan.

Dan yang keempat, apa yang disampaikan Pak JK, saya sependapat dan sejalan dengan yang saya amati dan pikirkan setiap hari bolak-balik melintasi Tol Jagorawi. Sambil menikmati pemandangan bentangan tiang-tiang elevated LRT seakan-akan berada di halaman rumah raksasa yang di kelilingi pagar-pagar beton.

Semoga pihak BPKP dan atau BPK segera melskukan audit forensik terhadap kementerian terkait (Menteri BUMN, Menteri Perhubungan serta Direksi PT.Adhy Karya) untuk mendapatkan penilaian yang obyektif mulai dari proses kebijakan perencanaannya, penetapan satuan harga, proses pelaksanaannya, serta proses monitroing dan evaluasinya.

Hasil audit forensik tersebut, segera diberitahukan di ruang publik, agar masyarakat menjadi mengerti dan dapat mencegah tumbuh suburnya hoax disekitar persoalan pembangunan infrastruktur.

 

Dr. CHAZALI H. SITUMORANG

Pemerhati Kebijakan Publik

RELATED ARTICLES

Most Popular