Saturday, April 20, 2024
HomeEkonomikaLogika Harga di Pasar Indonesia

Logika Harga di Pasar Indonesia

IMG-20160613-WA0004

Warga Indonesia pasti pernah merasakan kenaikan harga setiap kali memasuki bulan Ramadan. Selalunya dua minggu sebelum bulan Ramadhan harga sudah naik dan akan semakin naik harganya setelah bulan Ramadhan dan menjelang hari lebaran. Tahun ini (2016), Pemerintah yang sudah berjanji akan menetapkan harga daging Rp 80.000,- per kilogram, nyatanya harga daging masih di atas Rp 120.000,-/kg.

Pertanyaannya apakah benar kebutuhan daging meningkat? Apakah benar daging sapi langka? Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI), Asnawi, mengatakan persediaan stok daging sapi hingga Idul Fitri mendatang masih mencukupi (Republika, 06 Juni 2016).

Begitu juga, saat diumumkannya kenaikan gaji pegawai negeri dan kenaikan harga bahan bakar. Gaji dan bahan bakar baru diumumkan akan naik (belum naik) harga sudah naik lebih dahulu. Peristiwa kenaikan harga ini memang tidak tersedia logika ekonominya sedikitpun.

Dua informasi di atas menunjukan harga di pasar di Indonesia bukan semata-mata ditentukan oleh biaya produksi dan kebutuhan pasar. Pasar di Indonesia ditentukan budaya pasar. Geertz (1978) antropolog mengingatkan bahwa budaya pasar di Indonesia bersifat hirarkis. Pasar di Indonesia dibentuk oleh pranata pasar yang berada dalam struktur besar. Terdapat pedagang/pengumpul yang sangat besar yang menempatkan posisi hirarkis tertinggi sebagai suatu mekanisme modal.

Pedagang yang ada di pasar merupakan pedagang kecil yang terikat hutang kepada pedagang lebih besar, pedagang yang lebih besar terikat hutang pada pedang yang lebih besar lagi, hirarkis ini berakhir di posisi tertinggi. Pedagang besar mempelopori pembagian resiko dengan memberi ruang kepada pedagang kecil berjualan secara hutang. Hutang merupakan mekanisme pertukaran untuk mendapat status pedagang eceran sekaligus mekanisme pembagian resiko. Pembayaran secara kontan dilakukan setiap perputaran barang dagangan. Pembagian resiko ini bisa memastikan bahwa pedagang besar tidak pernah mengalami kerugian walau dengan untung yang tidak begitu besar, kerugian selalu diderita oleh pedagang eceran di pasar-pasar. Oleh sebab itu pedagang kecil/eceran berupaya semaksimal mungkin meningkatkan keuntungan dengan menentukan berdasarkan penawaran (negosiasi) pada saat transaksi, sehingga harga barang di pasar bukan dihitung berdasarkan nilai produksi tetapi berdasarkan margin dengan pedagang besar melalui mekanisme tawar menawar.

Sementara hirarkis tersebut juga berlaku di perdesaan dimana pedagang besar yang menempati hirarkis tertinggi berfungsi sebagai pengumpul sekaligus distributor. Hirarkis berakhir pada tauke atau nama lain di desa sebagai pedagang pengecer melalui hutang sekaligus bertindak sebagai pengumpul seluruh hasil rumah tangga petani dan sekaligus sebagai penjamin konsumsi dasar keluarga petani di pedesaan.

Baik sebagai pengumpul maupun sebagai distributor, otoritas penentuan harga berada ditangan pemegang hirarkis tertinggi tadi. Pedagang eceran yang membeli hasil produksi petani menentukan harga berdasarkan margin harga dari hirarkis tertinggi. Misalnya, pedagang besar menentukan harga cabe 10.000 rupiah per kilo, maka harga tersebut semakin berkurang tiba di petani, semakin panjang hirarkis semakin murah harga cabe ditingkat petani, bisa-bisa harga di petani hanya Rp 1.000,-/kg saja.

Kondisinya akan terbalik, jika cabe dijual di pedagang besar yang menempati hirarkis tertinggi Rp 20.000,- maka di pedangan eceran bisa mencapai Rp 100.000,- berdasarkan panjang pendeknya hirarkis. Kelangkaan maupun melimpahnya barang di pasar merupakan otoritas pedagang besar. Pedagang besar juga mempunyai otoritas menolak barang-barang yang masuk tanpa melalui jaringan hirarkisnya.

Sama dengan pedagang eceran di pasar yang tidak bisa melepaskan diri dari hirarkis pranata pasar, petani di perdesaan juga tidak bisa lepas dari tauke (atau nama lainnya) sehingga hanya menjual hasil pertaniannya ke tauke dengan harga ditentukan tauke karena hutang dan jaminan konsumsi. Jaminan konsumsi sangat penting bagi keluarga petani ketika musim kemarau dan musim penghujan, ketika perayaaan dan anak sekolah. Tauke menjamin semua kebutuhan konsumsi keluarga petani pada musim-musim tersebut. Sebab itu, bagi rumah rumah tanga petani harga bukan pertimbangan utama dalam berstransaksi, melainkan terpenuhinya jaminan konsumsi.

Instrumen pasar murah yang diadakan Pemerintah tidak berdampak kepada pedagang pada hirarki tertinggi karena beban resiko sudah diambil oleh pedangang eceran. Dampak yang dirasakan adalah pada pedagang eceran yang sudah pasti meningkatnya jumlah hutang ke pedagang besar. Maka jika Pemerintah berkeinginan memutuskan mata rantai struktur pasar harus mempertimbangkan pedagang eceran yang terikat hutang. Pemerintah Malaysia misalnya membangun kedai pemerintah di desa-desa dengan harga jual yang lebih murah dan membeli produksi pertanian keluarga petani lebih mahal. Mereka tidak menghancurkan tuake tetapi memberi pilihan kepada warga.

Nah, saran saya Pemerintah Indonesia perlu memberi pilihan ke petani dan pedangan eceran untuk mendapat harga terbaik dan menjual dengan harga terbaik di pasar.

M. RAWA EL-AMADY

Doktor Antropologi Ekonomi dan Pengajar Etnografi STIKES Hangtuah Pekanbaru

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular