Friday, March 29, 2024
HomePendidikanDisparitas Mutu Pendidikan Pusat-Daerah Menajam, Akademisi Desak Adanya Proporsi Alokasi Dana

Disparitas Mutu Pendidikan Pusat-Daerah Menajam, Akademisi Desak Adanya Proporsi Alokasi Dana

Ilustrasi. (Foto: situs resmi Presiden RI)

JAKARTA – Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas) di Indonesia sejak UUD amandemen tahun 2002 dinilai menggunakan paradigma pricing system. Hal tersebut tercermin dalam mandatory 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan dasar menengah.

Dalih misi baik tersebut adalah untuk menghadirkan peranan Pemerintah dalam Sisdiknas agar tidak self regulated dalam arus liberalisasi. Demikian disampaikan Dina Nurul Fitria, dosen Universitas Al-Azhar Indonesia kepada redaksi.

“Tapi anggaran 20% tersebut bukannya fokus pada pembangunan software infrastructure pendidikan, malah fokus pada pembangunan fisik sekolah,” ujar Dina, Minggu (12/6/2016) sore.

Menurut sosok yang juga analis kebijakan publik dan ekonomi tersebut, semestinya ada proporsi alokasi dana yang cukup untuk membangun sistem kurikulum pendidikan dasar dan menengah berdasarkan muatan lokal dan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.

Di sisi lain, dalam konteks otonomi daerah (otoda) penggunaan alokasi dana 20% tersebut tidak sepenuhnya mengalir melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Akibatnya, menurut Dina, daerah tidak bisa bergerak cepat membangun Sisdiknas di masing-masing wilayahnya.

“UU Sisdiknas tidak sinergi dengan UU Pemda dan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Outcomenya disparitas mutu lulusan antar wilayah justru makin tajam. Hal ini diperparah dengan mutu Ujian Nasional (Unas) yang mengabaikan muatan lokalitas per wilayah,” lanjut Dina.

Oleh karenanya, terkait problematika ini, Dina memberikan saran perlu adanya solusi jangka pendek dan jangka panjang roadmap Sisdiknas yang sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Untuk solusi short term harus mengandung unsur-unsur, pertama, adanya penajaman kemampuan soft skill yang tidak sepenuhnya memenuhi tuntutan pasar kerja, melainkan soft skill sebagai bekal untuk menjadi pribadi manusia Indonesia.

Soft skill yang dimaksud adalah kemampuan menyelesaikan persoalan dan tidak cepat menyerah serta percaya diri sebagai insan berbudi luhur,”

Selain itu, Dina yang juga mengajar di Universitas Trilogi ini menambahkan bahwa dakam solusi jangka pendek tersebut juga harus memiliki unsur penajaman karakter manusia Indonesia yang jujur, bertanggung jawab dan gotong royong serta mampu memanfaatkan peluang globalisasi dengan kreativitas dan inovasi sambil menjaga harmoni sebagai bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.

“Sedangkan untuk solusi jangka panjangnya, roadmap ini memerlukan revisi UU Sisdiknas dan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Disinilah kiranya perlu adanya sinergi peranan legislasi parlemen daerah DPD RI, DPRD dan DPR RI,” pungkas Dina.

(bm/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular