Saturday, June 14, 2025
spot_img
HomePendidikanLiterasi vs Gadget: Anak-Anak Terancam Kehilangan Jati Diri

Literasi vs Gadget: Anak-Anak Terancam Kehilangan Jati Diri

Anak-Anak tengah asyik membaca buku di TBM Lentera Pustaka yang berada di kaki Gunung Salak, Bogor. Ini adalah TBM binaan Syarifudin Yunus. (foto: dokumen pribadi)

JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Anak-anak yang tumbuh bersama buku dinilai memiliki kemampuan imajinasi, ketahanan batin, dan kedewasaan berpikir yang lebih baik dibandingkan anak yang terlalu akrab dengan gadget. Hal ini diungkapkan oleh pegiat literasi dan Dosen Universitas Indraprasta (Unindra), Syarifudin Yunus, dalam catatan reflektifnya bertajuk Apa Hebatnya Anak Dibesarkan dengan Gadget vs Buku?” pada Sabtu (14/6/2025).

Menurut Syarifudin, ketergantungan anak pada perangkat digital secara berlebihan dapat membuat mereka tumbuh dalam dunia maya yang semu, tanpa mengenal realitas secara utuh. Anak akan lebih banyak disuguhi simulasi instan daripada proses belajar yang mendalam.

“Anak yang tumbuh bersama gadget tahu hiburan bisa didapat dalam sekejap, tapi ketika malam dan sunyi datang, ia tidak tahu harus bicara dengan siapa. Karena dia asing pada dirinya sendiri,” ungkapnya.

Sebaliknya, anak yang akrab dengan buku akan lebih mudah membangun imajinasi, memahami emosi, dan membentuk identitas diri. Buku, menurutnya, mengajarkan anak untuk tidak buru-buru menjawab segala pertanyaan, tetapi membiarkannya tumbuh menjadi pemikiran dan kesadaran diri.

“Anak yang dekat dengan buku akan belajar memahami dunia sebelum menjalaninya. Membaca bukan hanya untuk tahu, tapi untuk menemukan jati diri,” tambah Syarifudin.

Ia juga menyoroti tantangan zaman digital yang penuh dengan framing informasi, narasi sepihak, hingga manipulasi opini. Dalam kondisi tersebut, kemampuan membaca menjadi penting sebagai bekal untuk memilah informasi yang benar dan membangun nalar kritis.

Infografis. (Gambar: Tim Cakrawarta)

“Membaca adalah proses pembebasan intelektual dari doktrin dunia maya. Tanpa membaca, seseorang mudah terjebak dalam informasi yang menyesatkan,” ujarnya.

Dalam catatannya, Syarifudin menekankan bahwa membaca buku bukan sekadar aktivitas kuno, melainkan bentuk perlawanan terhadap pengaruh buruk dari lingkungan digital yang instan dan serba cepat.

“Membaca dan buku boleh saja ditinggalkan orang. Tapi tanpa membaca, anak-anak akan tumbuh kehilangan jati diri dan menjadi beban bagi dirinya sendiri maupun orang lain,” tutupnya.

Catatan ini menjadi pengingat penting bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat agar terus mendorong budaya literasi sejak dini, di tengah gelombang disrupsi digital yang semakin massif.(*)

Editor: Tommy dan Rafel

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular