Di negeri tempat sinetron dan sidang paripurna kadang sulit dibedakan, pemilu semestinya menjadi festival demokrasi, bukan sirkus birokrasi. Tapi sayang seribu sayang, pada Pemilu 2024, pulpen ternyata lebih sakti daripada kotak suara. Pulpen —atau lebih tepatnya, tanda tangan di ijazah— telah mengguncang fondasi demokrasi kita.
KPU —lembaga yang kita percayai— mengaku tak punya cukup waktu untuk memverifikasi keaslian ijazah para calon legislatif dan eksekutif. Termasuk calon presiden dan wakil presiden, seperti Jokowi dan Gibran Rakabuming. Ternyata, menjaga demokrasi itu butuh lebih dari sekadar kotak suara dan kertas suara.
Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, secara jujur mengatakan, “Kadang-kadang kami juga punya kurang waktu dan kurang kewenangan juga untuk menyatakan ijazah ini asli apa tidak.” Tentu saja kita harus mengapresiasi kejujuran. Tapi di saat yang sama, kita patut bertanya: kalau bukan KPU yang punya waktu dan wewenang, siapa? Dukun?
Kalimat “kurang punya waktu” semestinya tak keluar dari institusi seperti KPU yang ditugaskan menyelenggarakan pemilu dan mengawal integritas demokrasi. Bayangkan kalau pilot pesawat mengatakan, “Kami sebenarnya nggak sempat cek bahan bakar, tapi semoga sampai.” Itu bukan kejujuran. Itu bencana yang tinggal tunggu waktu.
Inilah biang kasus dugaan ijazah palsu Joko Widodo, dan mungkin juga Gibran Rakabuming, yang berlarut-larut. Andaikan KPU sejak awal bekerja dengan benar dalam memverifikasi setiap dokumen persyaratan para peserta pemilu —termasuk keaslian atau kepalsuan ijazah— kita tak akan pernah terjebak dalam jurang kasus ijazah.
Memang, demokrasi butuh waktu. Dan rupanya, waktu adalah sesuatu yang tak dimiliki KPU. Atau tidak sempat dicari. Tapi, mari kita maklum sebentar—jumlah calon peserta pemilu memang bukan main. Untuk DPR saja ada 9.917 calon, DPD 668 orang, belum lagi yang bercita-cita jadi anggota DPRD tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
Ini belum termasuk mereka yang mengincar kursi presiden dan wakil presiden sambil sesekali main TikTok. Bahkan RT dan RW sekalian (kalau bisa ikut). Jelas, verifikasi dokumen bukan perkara sepele. Tapi justru karena itu, bukankah mestinya verifikasi jadi urusan paling awal dan paling serius?
Kita tak bicara soal kemungkinan. Kita bicara soal bukti. Kasus Trisal Tahir di Pilkada Palopo adalah contoh yang tak bisa dihapus seperti typo di Microsoft Word. MK menyatakan ijazah Paket C-nya tak bisa dibuktikan keasliannya secara meyakinkan, sehingga hasil kemenangannya sebagai bupati harus dibatalkan.
Dan kalau satu kasus bisa lolos ke tahap pemilihan—karena KPU mengaku tak punya waktu untuk memverifikasi keaslian ijazah kandidat—berapa banyak lagi yang mungkin luput dari sorotan? Demokrasi bukan undian berhadiah atau judi. Tapi dengan pengawasan seperti ini, kita tak bisa bedakan mana pemilu, mana lotre.
Ahli hukum pemilu, Titi Anggraini, seperti biasa hadir sebagai suara sehat di tengah pesta pora dalih. Ia menyebut masalah utamanya bukan waktu, melainkan ketertutupan. KPU terlalu pelit berbagi data calon atas nama “perlindungan privasi”—sebuah alasan yang terdengar mulia, tapi berpotensi menutupi kecurangan.
Ia mempertanyakan, jika demokrasi dibangun atas asas partisipasi, mengapa publik dilarang tahu siapa yang sedang mencalonkan diri dan dari mana ijazahnya berasal? Maka, ia mengusulkan agar KPU lebih terbuka dan mengajak partisipasi publik untuk ikut serta, misalnya dalam memverifikasi keaslian ijazah melalui lembaga pendidikan.
Lantas, apa yang bisa dilakukan selain mengeluh di warung kopi? Sudah cukup kita tertawa getir. Sekarang waktunya solusi. Beberapa langkah yang bisa (dan seharusnya) diambil:
Digitalisasi Verifikasi: KPU perlu menjalin kerja sama dengan lembaga pendidikan dan Kementerian Pendidikan agar ijazah bisa dicek cukup dengan klik, bukan kirim faks.
Transparansi Dokumen: Bukalah dokumen persyaratan ke publik, dengan sensor di bagian yang memang sensitif. Kalau kita bisa transparan soal LHKPN, mengapa tidak soal ijazah?
Upgrade SDM dan Anggaran: Tak cukup menyalahkan waktu. KPU perlu didukung dengan sumber daya yang relevan. Pekerjaan penting perlu dikerjakan oleh orang yang mampu, bukan yang kebetulan.
Sanksi Tegas dan Cepat: Calon dengan dokumen palsu harus dicoret tanpa ragu. Demokrasi bukan tempat rekayasa biodata. Ini bukan ajang idol—ini soal masa depan bangsa.
Walhasil, pemilu bukan cuma soal mencoblos. Ia soal kepercayaan. Dan kepercayaan tak bisa dibangun di atas ijazah palsu dan dalih “kami kehabisan waktu.” Kalau verifikasi dokumen saja gagal, bagaimana kita bisa yakin suara kita tidak disalahgunakan?
Siapa pun tahu, demokrasi dengan segala detilnya memang rumit. Sungguh rumit. Tapi jika yang rumit tidak ditangani dengan sungguh-sungguh, kita akan terus terjebak pada pesta rakyat yang dikendalikan oleh kebohongan kertas. Maksudnya, ijazah palsu.
Satu hal yang pasti: demokrasi bukan soal siapa yang punya ijazah, tapi siapa yang punya kejujuran. Ya, kejujuran sebagai fondasi demokrasi. Tapi tetap saja, ijazah yang asli adalah titik awal yang tak boleh disepelekan.
AHMADIE THAHA (Cak AT)
Wartawan Senior