Wednesday, April 24, 2024
HomeSudut PandangKontestasi Demokrasi Tanpa Politik Identitas?

Kontestasi Demokrasi Tanpa Politik Identitas?

 

Sebenarnya politik identitas itu adalah sesuatu yang alamiah. Diferensiasi tertua di dunia, ya identitas. Toleransi justru hadir sebagai wujud kesadaran kita atas adanya identitas yang berbeda, yang beragam.

Banyak orang mengaitkan identitas ini dengan fenomena post-truth, karena kemudian sering digunakan untuk memompa ketidaksukaan dan kebencian satu sama lain. Padahal itu sebenarnya sekadar pseudo-problem.

Post-truth sudah eksis sejak awal peradaban. Seperti dikatakan Yuval Noah Harari, sejak dulu umat manusia sudah membuat fiksi, berdongeng. Dulu bahkan parah. Tidak ada metode untuk menguji dongeng. Sekarang perkembangan media justru telah memungkinkan pengujian itu.

Apakah bisa mengganggu keamanan dan ketertiban pelaksanaan Pemilu 2024? Kontestasi elektoral seperti Pemilu ini kan prinsipnya adalah bagaimana para kontestan meraup suara sebanyak-banyaknya dan mengungguli kontestan lain.

Ada politik identitas atau tidak, potensi gangguan keamanan dan ketertiban selalu hadir karena perebutan suara pemilih memang sangat memungkinkan terjadinya gesekan dan benturan. Mana ada kontestan yang berencana kalah dengan memilih tidak berebut suara?

Lalu apakah isu politik identitas dan polarisasi bisa dihapus? Menurut hemat, ide menghapus politik identitas itu tidak masuk akal. Identitas itu digunakan sebagai sarana identifikasi target, asosiasi dan menjadi preferensi konstituen.

Bahkan slogan dan program yang dikampanyekan oleh kandidat itu adalah bentuk penebalan dan penguatan identitas juga. Jadi yang harus dihapus itu adalah politisasi identitas untuk memompa ketidaksukaan dan kebencian terhadap kontestan atau kelompok lain.

Penulis tidak sepakat dan menganggap sesat nalar jika Pemilu 2024 khususnya Pemilihan Presiden dikatakan bahwa dengan diikuti lebih dari dua peserta maka politik identitas dan polarisasi bisa dicegah.

Seperti penulis sebutkan sebelumnya, penggunaan identitas adalah upaya menunjukkan diferensiasi. Maka berapapun kontestannya, masing-masing pasti akan menebalkan identitasnya untuk menunjukkan perbedaan dengan kontestan-kontestan lain dan membantu pemilih menentukan pilihannya.

Selain itu, guliran wacana tiga calon untuk mencegah politik identitas, menurut saya justru merupakan bentuk “cipta kondisi” yang berpotensi mengancam proses demokrasi itu sendiri.

Sepanjang hadir dari proses komunikasi politik dan akomodasi yang sehat, atas dasar kesadaran untuk tidak memompa kebencian, maka apakah akan ada dua, tiga atau lebih kontestan, penulis kira tidak masalah.

Pun sebaliknya, mau tiga calon atau lebih, jika memompa kebencian kemudian menjadi bagian dari strategi pemenangan, maka potensi kekerasan, gangguan keamanan dan perbuatan melawan hukum lainnya akan selalu hadir dalam Pemilu.

Namun penulis sendiri sepakat harus ada perlakuan imparsial dan penegakan hukum yang tegas dan adil bagi para pengguna black hat marketing dalam sosialisasi dan kampanye. Misalnya tim kampanye atau tim pemenangan maupun relawan yang menggunakan buzzer (pendengung) untuk menyebar informasi palsu, mengolok-olok, memfitnah dan memompa kebencian.

Pemilu 2019 lalu diwarnai polarisasi yang tajam dan ketegangan bukan karena politik identitasnya, melainkan karena penebalan identitas dibumbui oleh maraknya penyebaran kebohongan dan informasi palsu, penyesatan informasi, aksi saling olok, saling fitnah dan pemompaan kebencian satu sama lain.

Hal itu kemudian menjadi berbahaya karena adanya pembiaran, perlakuan yang cenderung tak imparsial terhadap para pelaku perbuatan melawan hukum dan kelemahan regulasi yang membatasi praktik black hat marketing dalam politik, khususnya Pemilu.

Agar terhindar dari bahaya, solusinya tentu bukanlah dengan mengatur atau membatasi jumlah kontestan. Yang pertama harus dilakukan adalah membangun komitmen bersama entah dengan kesadaran atau dengan paksaan (perangkat regulasi), agar para peserta pemilu tidak mempraktikkan black hat marketing dan memompa kebencian dengan berbagai cara yang tidak patut. Yang kedua, menghadirkan penegakan hukum yang imparsial dan berkeadilan, bagi para pelaku dan korban kebencian. Siapapun mereka. Darimanapun asalnya.

Dalam pemilihan Ketua Rukun Tetangga (RT) sekalipun, identitas akan dipolitisasi dan digunakan sebagai pembeda. Para pemilih akan terkelompokkan sebagai sesama warga Gang I atau sesama warga pendatang, dan lain sebagainya. Untuk meningkatkan potensi menang masing-masing, mereka akan berebut suara pada kelompok-kelompok di luarnya maupun pada calon pemilih yang belum menentukan pilihan.

Apakah damai-damai saja? Belum tentu. Perkelahian tetap mungkin terjadi. Tapi kenapa setelahnya, friksi bisa relatif teredam? Karena adanya keteladanan, adanya komitmen bersama dan adanya norma yang memaksa, agar warga kembali bergandeng tangan memajukan kampung.

Nah, sebenarnya kekhawatiran atas perpecahan itu muncul sebagai akibat dari kebencian yang diproduksi, dipelihara dan dieksploitasi. Ibarat pesta, setelah usai tak ada pihak yang mau merapikan arena. Dibiarkan berantakan. Jadi, narasi tiga calon atau lebih itu lebih tampak sebagai “cipta kondisi” bukan solusi.

KHAIRUL FAHMI

Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular