
Dalam sejarah panjang militer di negara-negara maju, satu hal yang selalu berubah adalah peran dan fungsinya. Militer bukan sekadar alat perang, tetapi juga bagian dari strategi pertahanan yang lebih luas. Undang-Undang TNI yang baru saja ditetapkan di Sidang Paripurna DPR/MPR RI, Kamis (20/3/2025), pun berada dalam konteks yang sama—menyesuaikan peran TNI dengan tantangan zaman, tanpa mengubah prinsip dasar supremasi sipil dan profesionalisme tentara.
Budisatrio Djiwandono, Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI, sudah pula menegaskan hal itu. Dengan gamblang dia bilang, bahwa revisi UU TNI tetap berlandaskan pada prinsip supremasi sipil dan semangat reformasi. Dipastikan bahwa revisi ini tidak bertentangan dengan demokrasi, melainkan bertujuan untuk menyesuaikan tugas TNI dengan kebutuhan strategis pertahanan nasional.
Menarik memang membincangkan UU TNI yang terlahir di sela-sela demonstrasi massa di Senayan itu. Salah satu poin revisi yang banyak disorot adalah Pasal 3 yang menegaskan bahwa TNI berada di dalam koordinasi Kementerian Pertahanan, bukan di bawahnya. Ini bukan sekadar perbedaan kata, melainkan bentuk penguatan prinsip bahwa TNI memiliki kewenangan dalam aspek strategis pertahanan, sementara Presiden tetap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sesuai Pasal 10 UUD 1945.
Dalam praktiknya, ini sejalan dengan model di negara-negara maju. Amerika Serikat, misalnya, memiliki Departemen Pertahanan (DoD) yang mengoordinasikan militer, tetapi keputusan strategis tetap menjadi ranah angkatan bersenjata. Begitu pula di Prancis, di mana kebijakan sipil berjalan berdampingan dengan otonomi profesional militer.
Pada Pasal 7 tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP) didasarkan pada alas pikir bahwa tantangan pertahanan tidak lagi sekadar invasi bersenjata. Serangan siber, ancaman terorisme lintas negara, serta keselamatan WNI di luar negeri kini menjadi prioritas baru. Oleh karena itu, UU TNI terbaru menambahkan dua tugas baru dalam OMSP:
1. Menanggulangi ancaman siber – Seiring meningkatnya serangan siber terhadap infrastruktur strategis, peran TNI dalam memperkuat keamanan digital negara menjadi semakin relevan.
2. Melindungi WNI dan kepentingan nasional di luar negeri – Dalam beberapa kasus, operasi militer diperlukan untuk menyelamatkan warga negara atau aset strategis Indonesia di luar negeri.
Negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat sudah lama menyesuaikan peran militernya dalam menghadapi ancaman non-konvensional. Indonesia tidak bisa tinggal diam jika ingin tetap memiliki sistem pertahanan yang tangguh dan adaptif.
Terkait Pasal 47 yang paling memicu perdebatan adalah terkait penempatan prajurit aktif di Kementerian/Lembaga.
Saat ini, ada 10 kementerian/lembaga (K/L) yang dapat ditempati prajurit aktif, termasuk Kemenko Polhukam, BIN, BSSN, dan Lemhanas. Seperti diketahui Revisi UU TNI menambah 5 K/L baru:
1. BNPB – Untuk memperkuat koordinasi dalam penanggulangan bencana.
2. BNPT – Dalam rangka meningkatkan sinergi dalam penanganan ancaman terorisme.
3. Bakamla – Memastikan keamanan maritim, terutama di wilayah-wilayah rawan perompakan dan penyelundupan.
4. BNPP – Menjaga stabilitas perbatasan negara.
5. Kejaksaan Agung (Jampidmil) – Mengisi posisi Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer.
Beberapa pihak menilai ini sebagai tanda “militerisasi birokrasi.” Namun, praktik serupa terjadi di berbagai negara. Amerika Serikat menempatkan perwira militer di NSA dan Departemen Luar Negeri, sementara Inggris juga menugaskan personel militernya di berbagai instansi keamanan nasional. Yang terpenting, mekanisme pengawasan tetap dijalankan oleh DPR untuk menjaga prinsip supremasi sipil.
Kemudian Pasal 53 UU TNI mengatur pula usai pensiun prajurit dari Bintara hingga Perwira dengan alas pikir sebagai bentuk apresiasi atas Pengabdian mereka. Dengan meningkatnya harapan hidup dan kesiapan fisik prajurit, revisi ini menyesuaikan batas usia pensiun:
– Bintara dan tamtama: 55 tahun
– Perwira hingga kolonel: 58 tahun
– Perwira tinggi bintang 1: 60 tahun
– Perwira tinggi bintang 2: 61 tahun
– Perwira tinggi bintang 3: 62 tahun
– Perwira tinggi bintang 4: 63 tahun (dapat diperpanjang hingga 65 tahun)
Langkah ini tidak cuma soal memperpanjang masa dinas, tetapi juga memberikan kepastian bagi prajurit yang telah mengabdikan hidupnya bagi negara. Negara-negara seperti Jepang dan Jerman telah lebih dulu menyesuaikan usia pensiun militer mereka agar tetap selaras dengan kebutuhan pertahanan.
Sejatinya revisi UU TNI ini diniatkan bagi peningkatan profesionalisme dan adaptasi dalam pertahanan modern.
Revisi UU TNI ini harus dipahami bukan sekadar perubahan administratif, tetapi bagian dari upaya memastikan bahwa Indonesia memiliki militer yang tangguh, modern, dan siap menghadapi ancaman masa depan. Tidak ada upaya mengembalikan dwifungsi TNI, dan DPR tetap memiliki peran pengawasan untuk memastikan supremasi sipil tetap terjaga.
Seperti kata Jenderal Kerajaan Prussia, Carl von Clausewitz (1780-1831), “Perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain.” Di era modern, pertahanan bukan hanya soal medan perang dan adu kecanggihan senjata, tetapi juga diplomasi, teknologi, dan strategi yang lebih luas. Dengan revisi ini, TNI bukan hanya akann lebih kuat, tetapi juga lebih relevan dalam menjaga kedaulatan negara di tengah dinamika global yang terus berubah. ***
JAFAR G BUA
Tenaga Ahli Anggota DPR RI, alumni Asia Journalism Fellowship – AJF – Singapura 2019