JAKARTA – Jelang 25 tahun Reformasi pada Mei 2023 mendatang, keresahan melanda sejumlah Aktifis 98 yang sudah berdiaspora di berbagai sektor profesi. Masih maraknya praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi salah satu alasan mereka berefleksi dalam diskui bertajuk “Bacapres dalam Pusaran KKN”. Kegiatan ini merupakan rangkaian Konsolidasi Demokrasi Aktifis98 (KDA98).
Salah satu tagline yang disimpulkan dalam diskusi yang digelar di markas Jokowi Mania (Joman) di bilangan Kebayoran Baru (16/2/2023) ini adalah reformasi gagal karena KKN masih marak.
Dalam diskusi yang menghadirkan aktifis 98 yang kini aktif mendukung bacapres, yakni Sukma Widyanti aktifis KBUI yang kini mendukung Anies Baswedan, Dadi Palgunadi Aktifis Front Jakarta kini aktif di Gema Puan Maharani Nusantara (GMNP) dan Teguh Eko Prastyono aktifis dari kampus ISTN yang mendirikan Ganjar Pranowo untuk Rakyat (GUNTUR).
Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Febby Lintang aktifis 98 dari kampu IISIP Jakarta, para pendukung bacapres tersebut sepakat kalau praktik KKN masih marak. Mungkin makin merajalela.
Menurut Dadi, salah satu sebab maraknya KKN adalah mahalnya biaya politik. “Ini akibat dari sistem elektoral yang masih berciri popularisme. Sehingga untuk mengejar popularitas para calon harus merogoh kocek yang dalam,” ujarnya. Dia juga menuding lembaga survey sebagai salah satu pemicu politik mahal ini.
Sementara menyikapi adanya sinyal KKN di pusaran bacapres, Teguh akrab disapa Gus Tep meminta agar publik berpegang pada fakta hukum dan praduga tak bersalah. “Kalau Pak Ganjar disebut terlibat korupsi eKTP, buktikan dong di pengadilan. Kan sudah dijelaskan oleh KPK dan Novel (Baswedan) kalau dia (Ganjar) tidak menerima apa-apa,” ujarnya.
Hal serupa juga disampikan oleh Sukma, terkait tudingan Anies terlibat dugaan korupsi Formula E. Sukma yang pernah aktif di Dewan Riset Daerah (DRD) DKI Jakarta saat Anies menjadi Gubernur ini justru menyebut Anies telah membuat kebijakan pencegahan korupsi sejak dirinya menjadi Rektor Paramadina hingga penerapan good governance di pemda DKI. Karenanya upaya untuk menyeretnya dalam kasus Formula E terkesan sangat dipaksakan.
Tantangan kepada para pendukung bacapres ini justru datang dari salah satu peserta diskusi Nico Adrian aktifis 98 dari kampus UKI. Dia menekankan, apakah aktifis 98 yang menjadi pendukung bacapres ini mampu menjadi faktior determinan atau sekedar remah-remah saja.
“Kita pakai saja IKN sebagai batu pijak, apakah dari kalian(pendukung bacapres) berani memberi masukan untuk menolak pembangunan IKN. Setidaknya memberikan catatan sisi sisi negatif IKN. Karena, kalau ini dipaksakan untuk diteruskan bakal berpotensi jadi ladang mega-korupsi,” tandasnya.
Seluruh peserta berkomitmen bahwa proses demokrasi harus terus dijalankan dengan tidak membuka ruang bagi perpanjangan masa jabatan Presiden dan atau merevisi batasan jabatan dua periode.
Kegiatan ini ditutup dengan puisi karya dan sekaligus dibawakan oleh moderator Febby Lintang. Salah satu bait dalam puisi tersebut berbunyi, “25 tahun lalu kami menuntut pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme | Tapi kini malah korupsi merajalela dan nepotisme berubah menjadi trah politik kaum darah biru”.
(rils/bm/bus)