Thursday, July 10, 2025
spot_img
HomeSosokKisah Dokter Ita Saat Mengabdi Pada Negeri Dengan Berlayar Bersama RSTKA

Kisah Dokter Ita Saat Mengabdi Pada Negeri Dengan Berlayar Bersama RSTKA

dr. Diah Ayu Pitaloka saat memberikan pelayanan kesehatan pada warga Nusa Tenggara Timur ketika ia menjadi Tim Relawan 17 dari program Bakti Indonesia Timur periode kedua bersama RSTKA pada Mei-Juni 2023 lalu. (foto: istimewa)

SURABAYA – Program Bakti Indonesia Timur periode kedua banyak menyisakan kisah-kisah penuh haru dan bangga tentang bagaimana misi kemanusiaan dan kesehatan memberikan wujud pengabdian mereka pada negeri. Program yang menyisir kembali wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) mendarat di 3 kota yaitu Nagekeo, Ende, dan Larantuka dan berlangsung sejak 15 Mei hingga 3 Juni 2023 lalu.

Pada misi tersebut tim relawan berjumlah 17 orang dan dibawa melalui Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) dan salah satu yang ikut dalam misi itu adalah dr. Diah Ayu Pitaloka, yang merupakan peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Dokter Ita, demikian wanita berkacamata itu biasa dipanggil. Ia mengatakan bahwa dirinya berkeinginan untuk ikut berlayar dengan RSTKA sudah sejak lama. Lalu saat mendapatkan kesempatan untuk berlayar ke NTT, ia putuskan untuk mendaftar menjadi relawan.

“Saya memang ingin mendapat pengalaman pengabdian di pulau terpencil,” katanya pada media ini.

Meskipun Dokter Ita bisa melakukan pengabdian di Surabaya dan sekitarnya, tapi rasa ingin tahunya mengenai permasalahan kesehatan di NTT menjadi motivasi tersendiri.

“Saya ingin tahu apa penyebabnya angka stunting tinggi di NTT. Padahal mereka punya kekayaan alam yang baik dan Sumber Daya Manusia yang cukup,” imbuhnya.

Dokter Ita mengisahkan bahwasanya dia dan rekan-rekannya sesama relawan yang berangkat bersama RSTKA melakukan pelayanan yang berfokus pada 2 hal yaitu deteksi dini stunting dan Penyakit Jantung Bawaan. Dokter Ita dan rekan-rekannya ditugaskan di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).

“Saat bertugas ternyata ditemukan bahwa permasalahan stunting di setiap kota itu berbeda,” ujarnya.

Selama penugasan tersebut, Dokter Ita sampai membuat catatan pada buku khusus yang dibuatnya mengenai masalah-masalah yang ditemui.

“Saya selalu buat catatan agar tidak lupa. Catatan khusus masalah yang terjadi dan apa yang perlu diatasi dulu,” paparnya.

Dokter Ita mengatakan bahwa budaya yang diterapkan di NTT dengan di Jawa ada berbagai perbedaan. Adapun perbedaan lain seperti kondisi daratan, topografi gunung, jenis tumbuhan, binatang yang bisa dikembangbiakkan menjadi asupan bahan makanan, budaya makan rendah protein, ketersediaan air bersih, sampai ketersediaan tempat sampah.

Dokter Ita dan rekan-rekannya pun memberikan pengobatan kepada anak yang membutuhkan. Pengobatan ini bisa menjadi cara awal untuk menurunkan angka stunting di sana.

dr. Diah Ayu Pitaloka (kedelapan dari kiri) bersama para nakes di NTT berfoto bersama seusai berbagi ilmu dan pengalaman selama misi kemanusiaan dan kesehatan program Bakti Indonesia Timur periode kedua Mei-Juni 2023 lalu. (foto: istimewa)

“Tata laksana pertama yang bisa dilakukan adalah mengatasi infeksi. Misalnya infeksi salurah kemih, TBC, scabies, dan lainnya. Kami berikan obat bagi kasus yang urgent dan sebagai upaya menurunkan stunting. Bahkan merujuk juga kami lakukan bila diperlukan,” jelasnya.

Hal yang tak kalah penting dalam pengabdian tersebut, lanjut Dokter Ita, adalah melakukan penyuluhan mengenai stunting serta pentingnya pemenuhan asupan gizi pada anak.

“Penyuluhan dilakukan kepada ahli gizi dan petugas kesehatan soal stunting dan bagaimana pola makan yang benar. Karena ternyata di sana kebiasaan pola makan yang terjadi, asupan karbohidrat lebih banyak dibanding protein,” terangnya.

Meski telah kembali ke Surabaya, Dokter Ita tetap menjaga komunikasi secara intens dengan ahli gizi dan petugas kesehatan di NTT. Dokter Ita berharap dengan upaya yang dilakukan ini bisa menurunkan angka stunting di NTT.

“Komunikasi dengan ahli gizi dan petugas kesehatan masih dilakukan. Meskipun sudah tidak di sana tapi tata laksana stunting masih bisa berjalan melalui komunikasi yang kita jalin,” ungkapnya.

Bagi Dokter Ita sendiri, pengalaman berlayar di lautan lepas selama berhari-hari bersama RSTKA menjadi pengalaman baru baginya. Bahkan sensasi menginjakkan kaki di NTT menurutnya merupakan pengalaman menarik dalam hidupnya. Keindahan alam dan kekayaan budaya yang ditemukan membuatnya takjub.

Dokter Ita pun mengatakan bahwa dirinya bisa menemukan keluarga baru melalui pelayaran yang ia lalui ini. Bahkan Ita siap untuk kembali ke NTT untuk melakukan misi selanjutnya bersama RSTKA.

“Saya siap bila ada kesempatan lagi kembali ke NTT,” tandasnya mengakhiri keterangan.

(mar/pkip/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular