
“Kehendak kita ada dua macam: sebagian diarahkan kepada kebaikan, sebagian lagi kepada kebenaran; dan jiwa tidak pernah lebih hidup daripada ketika ia ingin mengetahui apa yang benar.” -Rene Descartes (1596-1650), Les Passions de l’âme (The Passions of the Soul, 1649; IRCiSoD 2022)
Fenomena yang terjadi dalam drama gelar perkara Polda Metro Jaya(16/12/2025) atas tuduhan ijazah palsu Presiden Joko Widodo atau Jokowi (2014-2024) menghadirkan sebuah refleksi psiko-kognitif yang menarik sekaligus mengganggu.
Apa yang disebut sebagai “penunjukan ijazah” berlangsung kurang dari sepuluh menit, di tengah forum yang sudah melewati lebih dari enam jam diskusi melelahkan.
Puluhan kepala dipaksa berbagi pandangan atas selembar kertas “ajaib” yang disebut ijazah, tanpa diberi kesempatan menyentuh, meraba, atau menguji keasliannya bak menenggang uang palsu dengan metode 3D.
Inilah yang oleh dr. Tifa disebut sebagai permainan “ilusi transparansi”, sebuah pertunjukan seolah-olah keterbukaan, padahal yang terjadi hanyalah manipulasi persepsi.
Dalam kerangka psikologi kognitif, ilusi ini bekerja melalui keletihan mental. Ketika otak sudah jenuh oleh diskusi panjang, kemampuan kritis melemah, dan sebuah simbol yang ditampilkan sekilas dapat diterima begitu saja sebagai bukti.
Edward Shield (1910-1995), sosiolog dan intelektual asal Amerika Serikat, dalam gagasan tentang pseudo-curiosity dalam The The Academic Ethic (1984; YOI 1993), menyinggung bagaimana rasa ingin tahu yang dipaksa tanpa ruang penelitian sejati justru melahirkan kepatuhan semu (pseudo-compliance).
Apa yang terjadi di ruang drama gelar perkara itu adalah contoh nyata dari rasa ingin tahu publik yang dialihkan menjadi tontonan singkat, bukan proses verifikasi ilmiah.
Sementara, G.W.F. Hegel (1770-1831) dalam System of Science: The Phenomenology of Spirit (1807; AHI 2024) menekankan bahwa kesadaran manusia bergerak melalui dialektika antara ilusi dan realitas.
Transparansi yang hanya berupa penampakan tanpa substansi adalah bentuk kesadaran yang terjebak pada tahap fenomenal, belum mencapai roh objektif.
Merujuk Sigmund Freud (1856-1939) dalam Die Zukunft einer Illusion (1927; atau Masa Depan Sebuah Ilusi, Circa 2019), menambahkan bahwa manusia sering kali terperdaya oleh janji-janji yang tampak rasional, padahal hanyalah proyeksi kebutuhan psikologis.
Dalam konteks ini, janji menunjukkan ijazah di pengadilan berubah menjadi sekadar penampakan di forum internal, sebuah pengalihan yang menenangkan sebagian orang tetapi tidak menyelesaikan substansi.
Goethe (1749–1832), penyair, novelis, dan filsuf Jerman, melalui tokoh fiksi Mepistopheles, sang raja diabolus dunia gaib, dalam drama Dr. Faust (Alihbasa: Goethe Institut & Kalam 1999), sainstis abad pertengahan, menggambarkan bagaimana manusia bisa diperdaya oleh permainan simbol dan kata-kata.
Faust yang haus pengetahuan akhirnya terjebak dalam kontrak yang menipu dari Mepistopheles yang menyerukan:
“Aku adalah bagian dari kekuatan yang secara kekal menghendaki kejahatan dan secara kekal mengerjakan kebaikan.“
Begitu pula publik yang haus kejelasan tentang dokumen akademik seorang pemimpin, akhirnya diberi sekilas tontonan yang tidak bisa diuji bagai hidup Faust di bawah kendali dunia gaib Mepistopheles.
Ilusi transparansi bekerja seperti sihir yang menghadirkan bayangan keterbukaan, padahal menutup ruang penelitian sejati bahkan realitas kehidupan seluruh publik. Ironis sekaligus fantastis!
Dr. Tifa, epideminolog alumni UGM dan S3 neuro-politika dari UI, menegaskan bahwa ini bukan soal asli atau palsunya ijazah, karena penelitian berbasis sains telah dilakukan dan menghasilkan kesimpulan.
Yang dipertaruhkan adalah konsistensi. Para penuduh trio sainstis, RRT, yang di-TSK-kan, konsisten dengan hasil penelitiannya.
Sementara pihak Jokowi, dengan pembela dan seluruh pendukungnya, pun konsisten dengan narasi yang dianggap kebohongan, the pack of lies (1994), menurut J.A. Barnes (1918-2010).
Ijazah bukan dokumen tunggal; ia terkait dengan transkrip nilai, skripsi, KKN, kartu registrasi, dan ratusan dokumen lain yang disita.
Menampilkan selembar kertas tanpa membuka keseluruhan jaringan dokumen adalah reduksi yang menyesatkan.
Ilusi transparansi ini harus dibaca sebagai strategi psiko-kognitif: mengendalikan persepsi publik dengan simbol, waktu, dan keletihan.
Masyarakat perlu waspada agar tidak terjebak dalam permainan ini.
Sebab transparansi sejati bukanlah penampakan sesaat, melainkan proses panjang yang memberi ruang observasi, penelitian, dan pengujian.
Tanpa itu, yang tersisa hanyalah bayangan transparansi, sebuah ilusi yang memperdaya, seperti janji Mepistopheles kepada Faust, indah di permukaan tetapi menutup jalan menuju kebenaran.
#coversongs: Allegra Miles (22) dikenal sebagai penyanyi pop yang pernah tampil di The Voice (season 18) dan American Idol (season 20).
Lagu “Lies” dirilis pada 22 Juli 2021. Berkisah tentang pengalaman pribadi Allegra yang merasa ditipu dan dimanipulasi dalam hubungan daring (catfishing).
Aku lirik lagu ini bersikap obsesif dan posesif tanpa pernah benar-benar bertemu, sehingga semua janji yang diberikan ternyata hanyalah kebohongan.
REINER EMYOT OINTOE (ReO)
Fiksiwan



