
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Rendahnya biaya tenaga kerja (labour cost) dan murahnya penghargaan terhadap jasa pekerja di Indonesia menjadi perhatian Ritz Chandra. Alumnus Universitas Airlangga (UNAIR) itu menilai kondisi tersebut berpotensi menghambat pengembangan talenta nasional, terutama di bidang teknologi berbasis artificial intelligence atau akal imitasi (AI).
Ritz Chandra kini menjabat Direktur Utama PT Sekreativ Inspirasi Indonesia, perusahaan media dan agensi yang berfokus pada pengembangan solusi kreatif berbasis AI. Perusahaan tersebut ia dirikan pada 2021, ketika masih menempuh pendidikan di UNAIR.
Ia bercerita, gagasan membangun PT Sekreativ Inspirasi Indonesia muncul di tengah pembatasan aktivitas akibat pandemi Covid-19. Situasi itu mendorong berbagai kegiatan beralih ke ruang daring. “Saat itu saya melihat peluang besar di sektor digital. Dari kondisi yang serba terbatas, justru terbuka ruang baru untuk berinovasi,” ujarnya.
Pada awal berdiri, PT Sekreativ Inspirasi Indonesia bergerak di bidang kreatif. Seiring perkembangan teknologi dan kebutuhan pasar, perusahaan tersebut kemudian bertransformasi menjadi AI Creative Media. Menurut Ritz, perubahan itu merupakan respons atas dinamika industri kreatif global yang kian bergantung pada teknologi kecerdasan buatan.
Dalam perjalanannya, ia juga menghadapi kekhawatiran para pekerja kreatif terhadap kehadiran AI generatif. Banyak yang merasa teknologi tersebut akan menurunkan nilai jasa kreatif manusia. Ritz menilai anggapan itu perlu diluruskan.
“AI seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai alat. Kami ingin memastikan para pelaku industri kreatif justru bisa memanfaatkan AI untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing mereka,” katanya.
Meski demikian, Ritz menyoroti persoalan yang lebih mendasar, yakni kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia. Ia menilai rendahnya labour cost membuat keahlian, termasuk di bidang teknologi tinggi seperti AI, sering kali tidak dihargai secara layak.
Ia menambahkan, Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat penggunaan AI yang tinggi secara global. Namun, tingginya jumlah pengguna tersebut belum diimbangi dengan ekosistem yang mendukung pengembangan dan penghargaan terhadap talenta.
“Banyak talenta yang sudah memahami potensi AI justru memilih berkarier di luar negeri karena penghargaan terhadap keahlian di dalam negeri masih rendah,” ujar alumnus Program Studi Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan itu.
Karena itu, Ritz berpesan khususnya pada mahasiswa aktif dimanapun kampusnya untuk menekankan pentingnya penguatan kemampuan berpikir kritis sebagai fondasi utama. “Critical thinking harus dibangun sejak awal, salah satunya dengan banyak membaca dan memperluas literatur,” katanya.
Ia juga mendorong mahasiswa untuk tidak hanya bergantung pada kurikulum formal. Menurutnya, jalur belajar mandiri atau otodidak menjadi penting karena perkembangan teknologi, terutama AI, berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan pembaruan kurikulum pendidikan formal.(*)
Kontributor: Khefti PKIP
Editor: Abdel Rafi



